Reza

Gudang tua di tepi pelabuhan utara Jakarta itu menggema oleh sorakan penonton yang haus akan pertumpahan darah. Cahaya lampu gantung berkedip-kedip, menciptakan bayangan panjang yang menari di lantai beton yang penuh noda darah lama. Aroma besi berkarat bercampur dengan bau keringat dan tembakau memenuhi udara, menambah kesan liar dan brutal dari arena pertarungan bawah tanah ini.

Di balik keramaian, Adrian melangkah santai menuju ruang transit sebelum memasuki ruang gantinya yang terpisah di sisi lain gudang. Malam ini dia tidak bertanding lagi. Pertarungannya sudah selesai, dan kini dia hanya ingin menuju ruang gantinya untuk beristirahat. Tatapannya tajam, penuh kewaspadaan, seolah mampu menembus kegelapan yang menyelimuti arena ini. Dia bukan sekadar penonton atau sekadar pengelola pertarungan—dia adalah penguasa. Pelabuhan ini, meskipun secara legal dikelola oleh perusahaan swasta, sesungguhnya berada dalam genggaman tangannya. Para direktur dan pemegang saham resmi hanyalah boneka yang tunduk pada kekuasaannya, sementara di balik layar, Adrian dan Naga Besi-lah yang mengendalikan segalanya.

Pelabuhan ini bukan hanya jalur utama penyelundupan barang-barang bernilai tinggi—mulai dari elektronik canggih, emas batangan, hingga senjata api—tetapi juga rumah bagi perjudian kelas atas melalui pertarungan brutal. Tidak ada aturan baku, tidak ada hakim yang menghentikan pertandingan. Satu-satunya hukum yang berlaku adalah hukum rimba: yang kuat bertahan, yang lemah dihancurkan. Banyak petarung yang masuk ke arena ini tak pernah keluar dengan cara yang sama. Yang kalah seringkali tidak hanya kehilangan uang dan kehormatan, tetapi juga nyawa. Kematian mereka? Dianggap sebagai kecelakaan—kecelakaan kerja, kecelakaan di jalan, atau bahkan sekadar hilang ditelan laut. Semua sudah diatur oleh tim bayangan yang bekerja di balik layar, menghapus jejak secepat mereka mengatur pertandingan berikutnya.

Bagi yang menang, menjadi kaya raya dalam semalam bukan sekadar kemungkinan—itu adalah kepastian. Nilai pertaruhan di arena gelap ini telah meroket, menyaingi kejuaraan seni bela diri campuran resmi di tingkat Asia, Eropa, dan Amerika. Sebagai perbandingan, ajang MMA seperti ONE Championship di Asia memiliki valuasi bisnis lebih dari 1 miliar dolar, sementara UFC di Amerika bernilai lebih dari 12 miliar dolar. Di Eropa, Cage Warriors dan KSW juga memainkan angka jutaan dolar dalam setiap event mereka. Namun di pelabuhan utara Jakarta ini, uang yang berputar dalam pertarungan gelap sudah setara dengan panggung resmi MMA di Asia—jumlah yang cukup untuk membeli loyalitas, mengendalikan geng-geng lokal, bahkan menyuap pejabat korup yang membiarkan bisnis ini tetap berjalan.

Tapi ini bukan sekadar perjudian jalanan atau pertarungan ala preman kelas teri. Ini adalah Colosseum modern, di mana darah dan keringat dihargai lebih mahal dari emas. Promotor yang berkuasa di balik layar mendatangkan petarung dari seluruh dunia—mantan atlet MMA yang kecewa dengan sistem, prajurit bayaran yang bosan dengan perang, hingga kriminal internasional yang mencari uang dan pelampiasan hasrat membunuh mereka. Seorang kickboxer brutal dari Rusia, dengan bekas luka perang di pelipisnya, bertarung melawan seorang mantan juara Muay Thai dari Thailand yang dibuang dari dunia profesional karena membunuh lawannya di ring. Di sudut lain, seorang jagoan Lucha Libre dari Meksiko, bertopeng dan bertelanjang dada, bersiap menghadapi monster gulat dari Jepang yang memiliki teknik bantingan cukup kuat untuk menghancurkan tulang punggung manusia dalam sekali hempasan. Para petarung ini datang bukan hanya demi uang—bagi mereka, ini soal harga diri, soal menunjukkan siapa yang paling layak berdiri ketika semuanya telah tumbang.

Dan di atas semuanya, ada Adrian. Pemilik arena ini, dalang di balik pertarungan-pertarungan kejam ini—tapi juga raja tak terkalahkan di dalamnya. Tidak ada pertarungan yang berlangsung tanpa satu laga khusus untuk dirinya. Bukan karena ego, bukan sekadar pertunjukan, tapi karena inilah cara dia bernafas, cara dia memastikan bahwa tidak ada satu pun yang bisa menantangnya di ranah kekuasaan yang dia bangun sendiri. Gudang besar yang menjadi arena ini telah dimodifikasi untuknya—di sisi paling ujung, jauh dari para petarung lain, berdiri sebuah ruang ganti pribadi yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang kepercayaannya. Itu bukan sekadar ruang persiapan, tapi benteng pribadi—dengan peralatan latihan, senjata tajam, dan dinding yang penuh bekas pukulan tangannya.

Bagi Adrian, arena ini bukan sekadar bisnis—ini adalah taman bermainnya, laboratoriumnya, tempat dia menguji batas kekuatannya sendiri. Dan hingga saat ini, belum ada satu pun yang mampu menjatuhkannya.

Dari balik pintu ruang transit, seorang pria berpenampilan rapi menyambut Adrian dengan seringai kecil.

"Seperti biasa, belum pernah kalah, ya?" Suara khas pria itu terdengar santai namun tajam. Namanya Reza, salah satu orang kepercayaan Adrian sejak mereka masih kuliah. Meski tampil sebagai seorang akuntan dan konsultan keuangan, Reza juga tangan kanan Adrian dalam mengatur keuangan Naga Besi, memastikan uang mengalir tanpa hambatan, mencuci dana kotor dengan begitu rapi hingga tak ada yang bisa menelusuri asalnya. Gelar Ph.D. di bidang keuangan membuatnya lebih dari sekadar ahli angka—dia adalah perisai bagi Adrian dari segala kemungkinan celah hukum.

Adrian bukan sekadar gangster yang belajar dari jalanan. Meski menguasai dunia hitam, ia memiliki pendidikan yang tidak rendah. Setelah menyelesaikan S1 bersama Reza, Adrian tetap melanjutkan pendidikannya di Jakarta, mengambil magister di bidang ilmu manajemen. Keputusannya ini bukan tanpa alasan. Ia memahami bahwa kekuatan sejati dalam dunia kriminal bukan hanya soal kekerasan, tetapi juga strategi, pengelolaan sumber daya manusia, logistik, dan keuangan. Itulah sebabnya, meski Naga Besi adalah kelompok gangster, mereka beroperasi dengan efisiensi luar biasa—mereka memiliki sistem distribusi yang rapi, manajemen sumber daya yang solid, dan jalur logistik yang membuat mereka lebih dari sekadar kelompok jalanan biasa. Di dunia bawah, Naga Besi bukan sekadar pemain, mereka adalah kekuatan yang diperhitungkan.

Adrian tertawa kecil, melirik sahabat lamanya. "Mungkin aku belum menemukan lawan yang cukup kuat," balasnya ringan, namun ada nada percaya diri yang tajam di dalamnya.

Keduanya berjalan perlahan di sepanjang lorong gudang, suara gemuruh dari arena semakin mengeras di belakang mereka. Lampu-lampu kuning temaram memantulkan bayangan panjang di lantai beton yang basah.

"Bos, besok aku harus ke Thailand. Ada beberapa urusan yang harus diselesaikan—pekerjaan rutin kantor. Mungkin paling lama aku baru balik minggu depan," ujar Reza tanpa basa-basi.

Adrian mengangguk, menepuk bahu sahabatnya. "Selesaikan pekerjaanmu. Tapi sekalian, temui Thanom. Dia yang mengurusi pengiriman berlian mentah dari Thailand." Suaranya lebih pelan, namun penuh makna. "Pastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Sebagian barang akan kita arahkan ke Timor Leste."

Reza mengerutkan kening, berpikir sejenak. "Kita masih pakai jalur laut?"

Adrian mengangguk. "Ya, kapal kecil lewat jalur perairan selatan. Dari situ, barang akan dipindahkan ke kapal kargo yang berangkat dari Dili ke Hong Kong. Tapi aku juga ingin kau cek jalur darat. Ada beberapa opsi lewat perbatasan Myanmar yang bisa kita manfaatkan untuk distribusi ke Eropa."

Reza menghela napas, tangannya menyelipkan sebatang rokok di bibirnya sebelum menyalakannya. "Myanmar bisa jadi pilihan, tapi butuh biaya lebih untuk suap di perbatasan. Kalau kita tetap pakai jalur Timor Leste, biaya lebih murah, tapi kita bergantung pada stabilitas politik di sana. Kalau ada masalah dengan pemerintah lokal, pengiriman bisa tertunda."

Adrian mengangguk pelan, matanya menatap kosong ke depan, mencerna informasi itu. "Kalau begitu, kita diversifikasi jalur. Sebagian besar tetap ke Timor Leste, tapi pastikan ada jalur cadangan lewat Myanmar. Aku tak mau semua bergantung pada satu rute."

Reza menghembuskan asap rokoknya. "Oke, aku akan atur semuanya. Aku juga akan pastikan tidak ada kebocoran informasi soal pengiriman ini. Aku sudah siapkan beberapa perusahaan front untuk mencatat transaksi seolah-olah ini ekspor batu permata legal."

Adrian menepuk bahu sahabatnya lagi, kali ini dengan sedikit senyum. "Bagus. Pastikan semuanya berjalan mulus. Kita tidak bisa mengambil risiko sekecil apa pun."

Reza terkekeh. "Seperti biasa, kau selalu berpikir lima langkah ke depan."

Adrian hanya tersenyum tipis. Dalam permainan ini, satu kesalahan bisa berarti kehancuran. Dan dia tidak akan membiarkan itu terjadi.

Reza menghela napas, lalu tersenyum tipis. "Kau memang tak pernah berhenti merencanakan sesuatu yang besar."

Adrian menatapnya tajam. "Di dunia ini, Reza, yang berhenti bergerak hanya tinggal menunggu waktunya untuk dihancurkan."

Reza hanya menggeleng kecil sebelum melangkah pergi, meninggalkan Adrian yang kini bersiap menuju ruang gantinya sendiri. Di arena yang dia ciptakan, dia bukan hanya penguasa bisnis, tetapi juga raja di medan laga. Dan malam ini, meski dia sudah usai bertanding, namanya tetap menggema di seluruh penjuru pelabuhan.