Rafael

Kembali ke arena. Suara sorakan menggema seperti gelombang yang menghantam dinding-dinding beton. Makian bercampur dengan dentuman musik elektronik yang memompa adrenalin. Lampu sorot menyorot tajam ke tengah ruangan, menampilkan sebuah oktagon besi dengan pagar kawat berduri yang berdiri kokoh, menyerupai ring UFC—namun lebih kelam, lebih liar, lebih brutal.

Di sekeliling arena, para petaruh berdiri dan berteriak liar, tangan mereka mengepal tiket taruhan, wajah mereka penuh gairah, haus akan darah dan kemenangan. Di sisi lain, meja VIP memancarkan aura yang berbeda. Orang-orang berkuasa duduk santai di balik gelas-gelas kristal berisi minuman mahal, mata mereka menikmati pertarungan seperti seorang raja yang menonton gladiator bertarung demi hiburan mereka. Di kursi paling depan, Rafael Durnovo dan Selene Vasquez masih duduk dengan tenang.

Rafael, pria di penghujung usia 30-an, tampak maskulin dengan tubuh tegap dan proporsional. Celana jeans gelapnya jatuh sempurna di pinggang, sementara kaos hitam ketat membalut otot-ototnya dengan pas. Sepasang sepatu kets putih bersih melengkapi penampilannya—sederhana, tapi penuh perhitungan. Tatapan matanya tajam, menilai setiap gerakan di dalam oktagon dengan penuh minat.

Di sampingnya, Selene Vasquez menyilangkan kakinya dengan anggun. Wanita awal 30-an itu adalah perwujudan sensualitas yang mematikan. Gaun hitam dari satin tipis jatuh mulus di tubuhnya, mengikuti lekuknya dengan sempurna. Belahan dadanya yang rendah memperlihatkan kulit mulus dan belahan kecil namun menggoda. Rok pendeknya hanya mencapai pertengahan paha, memberikan pandangan jelas pada kaki jenjang yang berotot halus. Dia menyeruput anggur merah dari gelasnya dengan elegan, bibirnya melengkung tipis saat pertarungan dimulai kembali.

Di dalam arena, dua petarung berdiri berhadapan. Salah satunya, seorang pria bertubuh ramping namun berotot, mengenakan celana pendek hitam longgar. Otot-ototnya lentur, pergerakannya ringan namun terkalkulasi. Dialah pendekar pencak silat. Di seberangnya, pria berbadan lebih besar, namun gerakannya tetap lincah, dengan sikap khas wing chun—kuda-kuda rendah, tangan terbuka siap menyerap dan mengalihkan serangan.

Gong tanda dimulainya pertarungan berbunyi. Pria pencak silat melesat lebih dulu, tubuhnya seperti bayangan, menghilang dalam kelincahan yang hampir tak terlihat. Dengan satu putaran, kakinya menghantam ke arah dada lawannya. Namun, pria wing chun bereaksi cepat, lengannya menangkis serangan dengan gerakan cekatan, mengalihkan tenaga pukulan ke samping.

Pria pencak silat tak kehilangan momentum. Kakinya mendarat, dan dengan sekali dorongan, dia melemparkan tendangan sabit ke kepala lawannya. Pria wing chun sedikit mundur, membiarkan tendangan melintas hanya beberapa inci dari wajahnya, lalu dengan kecepatan kilat, tangannya bergerak, menghujam dada lawannya dengan pukulan rantai. Satu, dua, tiga pukulan berturut-turut. Sang pendekar silat bergeming, namun langkahnya sedikit goyah.

Sorakan menggema. Para penonton di kursi biasa berteriak riuh, sementara para VIP hanya menonton dengan mata tajam, menilai. Rafael mengangkat alis sedikit, menikmati tarian maut di hadapannya.

Sang pendekar silat mengatur napas, lalu bergerak lebih hati-hati. Dia merendahkan tubuhnya, menyeimbangkan pusat gravitasinya. Lalu, dalam sekejap, dia meluncur maju dengan gerakan khas harimau—menyapu kaki lawannya dengan tendangan rendah. Pria wing chun tersentak, kehilangan keseimbangan, dan saat itulah sang pendekar silat melompat, melayangkan lututnya ke arah wajah lawannya.

Sebuah benturan keras terdengar. Darah berhamburan ke lantai. Pria wing chun jatuh terduduk, napasnya tersengal. Tapi dia belum menyerah.

Selene tersenyum, mengangkat gelasnya ke arah Rafael. "Sepertinya kita punya pemenang baru malam ini."

Rafael hanya tersenyum miring, matanya masih terpaku pada arena. "Belum tentu, sayang. Pertarungan baru saja dimulai."

Selene menggeser duduknya sedikit lebih dekat ke Rafael. "Ada sesuatu yang harus kau lakukan untukku," katanya dengan suara lembut namun tajam.

Rafael meliriknya dengan ketertarikan. "Apa itu?"

"Siska. Mahasiswa itu. Aku ingin kau menyelidikinya," bisik Selene, matanya bersinar penuh keyakinan.

Rafael mengernyit tipis. "Kenapa dia?"

Selene menyeruput anggurnya sebelum menjawab. "Aku yakin dia bukan hanya sekadar mahasiswa yang melakukan penelitian di sini. Instingku jarang salah. Ini akan berguna bagi kita."

Rafael mengangguk pelan. "Baiklah. Aku akan mengurusnya."

Dengan gerakan tenang, Rafael berdiri dan berjalan keluar, mengeluarkan ponselnya untuk mengoordinasikan timnya. Sementara itu, di dalam arena, pertarungan semakin menggila.

Napas kedua petarung terdengar berat, menggema di antara suara sorakan liar penonton yang haus darah. Cahaya lampu industri yang redup menyorot tubuh mereka yang kini penuh luka—kulit lebam, darah merembes dari pelipis, dan napas tersengal di dada yang naik turun. Tapi tak ada yang mundur. Tak ada yang menyerah.

Pria Wing Chun mengangkat tubuhnya perlahan, tubuhnya bergetar menahan nyeri. Matanya masih menyala, penuh tekad. Meskipun salah satu bahunya tampak sedikit turun—tanda bahwa ia telah mengalami cedera serius—ia tetap berdiri, menolak tunduk pada rasa sakit.

Dia mengubah taktik, mulai bermain defensif. Tangan-tangannya bergerak ringan, seolah melayang di udara, membaca ritme serangan lawan. Setiap pukulan dan tendangan dari pendekar Silat ditepis dengan teknik yang nyaris tak terlihat—seperti ranting kecil yang membelokkan aliran sungai. Gerakannya luwes, namun sorot matanya menyiratkan kehati-hatian. Dia tahu, satu kesalahan kecil bisa berarti akhir dari segalanya.

Pendekar Silat melihat celah. Kali ini, ia mengubah pola serangan, tak lagi hanya menghantam langsung. Ia menunggu, memancing, lalu tiba-tiba, dengan kecepatan kilat, ia menangkap pergelangan tangan Wing Chun dengan cengkeraman besi.

Seketika, pria Wing Chun tersentak. Namun, alih-alih panik, ia berputar cepat, membalas dengan siku ke arah pelipis pendekar Silat. BRAK! Benturan keras terdengar, membuat pendekar Silat sedikit terhuyung. Darah kini mengalir dari sudut bibirnya.

Sorakan penonton semakin liar. Ini bukan pertarungan biasa—ini perang ketahanan, perang kebanggaan.

Pendekar Silat menggeram. Dia tak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Saat pria Wing Chun mencoba memanfaatkan momentumnya, pendekar Silat menyelinap ke dalam jangkauan, melilitkan kakinya di pergelangan lawan, lalu menariknya dengan brutal ke tanah.

Mereka bergumul di lantai. Pukulan dan serangan siku bertebaran tanpa ampun. Pria Wing Chun masih berusaha bangkit, memukul, menendang, bahkan dengan satu tangan yang mulai kehilangan fungsinya. Ia bertarung seperti binatang buas yang terluka—mengamuk, berusaha bertahan.

Namun, pendekar Silat sudah memperhitungkan semuanya. Ia meringkus tubuh Wing Chun, memelintir lengannya dengan teknik yang sempurna.

Lalu—BRAK!

Sebuah hantaman telak menghantam sikunya. Terdengar bunyi retakan mengerikan. Pria Wing Chun menggertakkan giginya, menahan teriakan, menolak memberi kepuasan kepada para penonton.

Dia mencoba bangkit. Lututnya menyentuh lantai, matanya masih menyala dengan semangat bertarung yang tak padam.

Tapi tubuhnya tak lagi bisa diajak kompromi.

Ia tumbang.

Tapi dia tumbang dengan kepala tegak.

Wasit segera melompat masuk, mengangkat tangan pendekar Silat tinggi-tinggi, mengumumkan pemenang.

Di meja VIP, Selene menyaksikan semuanya dengan senyum tipis, seperti seorang ratu yang baru saja melihat pertarungan gladiator yang memuaskan. Ia menyandarkan tubuhnya, mengetuk bibirnya dengan jari rampingnya, lalu berbisik pelan:

"Seperti yang kuduga."

Dan di bawah sana, di lantai yang kini berlumuran darah, pria Wing Chun terkapar bukan sebagai pecundang, tetapi sebagai pejuang yang memberikan segalanya sampai detik terakhir.