Erna Hardy adalah anak yang baik, yang tumbuh menjadi seorang wanita terhormat. Dan kini, tibalah saatnya baginya untuk menjadi seorang istri yang baik. Balasan atas surat panjang yang ia terima begitu tak terduga. Dalam surat itu, ia diberi kesempatan untuk menjadi istri yang baik bagi pria itu.
"Tidak masuk akal." Erna mencibir, melemparkan surat itu dengan kasar ke atas meja setelah membacanya berulang kali. "Ini benar-benar konyol!" serunya dengan kesal.
Ia bangkit dari kursinya dan melangkah menuju jendela. Meskipun hujan turun di luar, matahari musim semi tetap bersinar terang, meski cahayanya tertutup awan badai.
Dengan sebuah decitan halus, Erna membuka jendela, lalu duduk di ambang, merapatkan lutut ke dadanya. Dari tempatnya di rumah besar di Jalan Baden, yang terletak di atas bukit, ia dapat melihat seluruh desa.
Pandangan Erna perlahan menyapu kebun apel yang tengah dipenuhi bunga, mengikuti aliran sungai kecil, lalu menelusuri lereng lembut yang diselimuti bunga primrose kuning, sebelum akhirnya berhenti pada sebuah kursi tua yang lapuk di sisi lain taman, terletak di bawah pohon abu yang besar.
Dunia tak pernah peduli pada kesengsaraan satu orang.
Begitu nyatanya kenyataan itu, hingga hanya menyisakan kepahitan di hati Erna.
Bahkan ketika seseorang kehilangan orang yang dicintai, atau berada di ambang terusir dari tanah kelahirannya, dunia tetap berputar. Musim semi tetap hadir dengan segala keindahannya—kejam dalam ketidakpeduliannya. Bagaimana mungkin dunia yang menciptakan keelokan ini juga mampu menyayat hati begitu dalam?
Kakek hanya akan tertawa dan melontarkan komentar ringan yang sarat dengan sinisme:
"Lalu, seberapa beruntung dirimu?"
Hatinya terasa nyeri saat mengingatnya.
"Nona Erna! Nona Erna!"
Suara nyaring nyonya rumah tangga, Nyonya Greve, menggema dari ujung lorong, membuyarkan lamunan Erna seketika.
Tampaknya sudah waktunya makan siang.
"Ya, ya! Aku segera turun!" sahutnya cepat, sebelum tergesa-gesa turun dari jendela. Dengan gerakan kikuk, ia menyembunyikan surat tak masuk akal itu ke dalam laci, memastikan tak seorang pun dapat melihatnya. Ia kemudian merapikan dirinya secepat mungkin.
"Aku baik-baik saja," gumamnya lirih, hampir seperti doa, saat melangkah menuju ruang makan di lantai pertama.
"Semuanya akan baik-baik saja."
***
"Erna, apakah kau pernah bertemu dengan seorang pengacara?"
Baroness Baden, yang sejak tadi sibuk memperdebatkan cuaca sambil menyusun kepingan puzzle, akhirnya membuka topik utama saat makan siang hampir usai. Ia berusaha mempertahankan sikap tenangnya, tetapi kegelisahan dalam sorot matanya tak dapat disembunyikan.
"Belum, Nenek. Belum pernah." Erna menjawab cepat dengan nada mantap. "Aku akan memastikan untuk menemuinya sebelum akhir pekan ini."
Sinar matahari yang masuk melalui jendela jatuh tepat pada Erna, yang duduk tegak dengan postur sempurna, sebagaimana seharusnya seorang wanita terhormat. Namun, seberapa keras jantungnya berdebar? Ia dapat merasakan bibirnya mengering, jemarinya gemetar dan gelisah di atas pangkuannya.
Untungnya, jika Baroness Baden menyadarinya, ia memilih untuk tidak mengajukan pertanyaan lebih lanjut.
"Ya, itu luar biasa. Aku harap kau dapat menemukan jalan keluarnya." Balas sang Baroness dengan nada sopan.
Sebuah helaan napas pelan menggema di dalam ruang makan yang terlalu sunyi.
Erna mengangkat pandangannya dari kedua tangan yang terlipat di pangkuannya, lalu menatap wanita tua di hadapannya. Dalam waktu kurang dari sebulan, sang Baroness tampak jauh lebih tua dan lemah dibanding sebelumnya. Ia baru saja kehilangan suaminya dan harus menyerahkan seluruh hartanya kepada seorang kerabat yang bahkan tidak pernah dikenalnya—dan semua itu terjadi dalam satu hari.
Lantas, bagaimana mungkin ia dapat mengatakan yang sebenarnya?
Erna memperbaiki posturnya, duduk dengan tegap, dan menelan kembali kegelisahan yang mulai menguasai dirinya. Bibirnya terkatup rapat dalam sebuah janji yang keras kepala—ia tidak akan pernah mengungkapkan kebenaran.
Sejujurnya, ia telah menemui seorang pengacara beberapa waktu lalu. Jawaban yang diterimanya tidaklah berbeda dari apa yang telah ia ketahui sejak awal. Jika seorang baron meninggal tanpa seorang putra, maka seluruh hartanya akan diwariskan kepada keponakannya.
Erna telah lama menyadari keberadaan hukum yang tidak masuk akal itu.
Hal ini memang menyedihkan dan tidak adil, tetapi jika tidak ada jalan untuk mengubah hukum, maka ia harus mencari cara lain. Sejak saat itu, ia mulai bekerja lebih giat, sedikit demi sedikit, menyisihkan uang yang dapat ia kumpulkan. Semua itu dilakukan demi suatu hari nanti, agar ia bisa membeli kembali rumah ini—sebelum jatuh ke tangan orang lain.
Namun, siapa sangka bahwa suatu hari nanti itu datang lebih cepat dari yang ia duga? Dan jumlah uang yang berhasil ia tabung masih terlalu sedikit, jauh dari cukup.
"Maafkan aku, tapi hukum warisan memang seperti ini, Nona Hardy. Tidak ada yang bisa kau lakukan."
Itulah satu-satunya jawaban yang diberikan pengacara setiap kali ia memohon bantuan untuk menemukan cara lain agar rumah dan harta peninggalan Baron Baden tidak jatuh ke tangan orang lain.
"Untuk saat ini, yang terbaik adalah menjelaskan situasinya kepada Tuan Baden dan memohon kebaikannya."
Setelah memberikan nasihat yang hambar itu, sang pengacara kembali meletakkan pipa di bibirnya, menghembuskan asap dengan santai.
Betapa tidak sopannya ia—namun, Erna memilih untuk menahan diri. Tidak banyak pengacara yang bersedia melayani atau bahkan sekadar mendengarkan klien yang berada dalam kesulitan finansial dan tidak mampu membayar biaya konsultasi.
Siang itu, Erna menulis surat kepada Thomas Baden.
Sebanyak apa pun ia memikirkannya, sulit baginya untuk menemukan solusi yang lebih baik selain mengikuti saran dari pengacara terbaik yang berhasil ia temui. Dan hari ini, balasan dari Thomas Baden telah tiba—surat yang segera meremukkan harapannya menjadi serpihan kekecewaan dan amarah.
"Semuanya akan baik-baik saja, Nenek. Jangan terlalu mengkhawatirkannya," ucapnya dengan lembut, menenangkan wanita tua itu dengan kebohongan yang ia ucapkan tanpa ragu.
Ia lalu bangkit dari kursinya, meraih celemek, dan mengenakannya sebelum mulai membantu Nyonya Greve yang perlahan menghampiri untuk merapikan meja. Dengan terampil, mereka berdua mulai membersihkan sisa-sisa hidangan makan siang.
Aku tidak baik-baik saja.
Sambil mencuci peralatan makan, pikirannya dipenuhi kenyataan yang selama ini ia coba abaikan.
Rumah besar ini, yang berdiri di tanah yang tenang di pedesaan, adalah satu-satunya harta peninggalan Baron Baden—seorang bangsawan yang telah jatuh miskin. Namun, segera setelah Baron meninggal, kepemilikan rumah ini akan berpindah ke tangan Thomas Baden, pewaris sah dari semua asetnya.
Dan Erna tahu, tanpa sedikit pun keraguan, bahwa pria itu akan menjual tanah ini secepat mungkin.
Ia menarik napas panjang, berusaha menekan amarah yang perlahan membara dalam dirinya. Busa sabun yang terciprat dari gerakan tangannya yang kasar menodai ujung lengan bajunya yang tergulung serta celemeknya.
Dalam suratnya, Thomas Baden mengatakan bahwa ia memahami sepenuhnya keinginan Erna. Namun, ia juga harus mempertimbangkan keadaannya sendiri, dan ia tidak bisa menunda penjualan rumah ini hingga Baroness Baden wafat.
Seandainya ia menolak dengan lebih tegas, mungkin hatinya tidak akan terasa sesakit ini.
Setelah mencuci piring, Erna berjalan ke halaman belakang dengan celemek yang sudah tergulung dan terikat di tangannya. Matanya mulai memanas, air mata menggenang di pelupuknya saat ia duduk di kursi milik kakeknya—kursi yang ditempatkan di bawah pohon ash yang indah.
Jawaban yang absurd itu masih terngiang di kepalanya. Thomas Baden telah menawarkan sebuah kompromi. Jika ia setuju untuk menjadi istrinya, maka pria itu akan bersedia menerima segala persyaratan yang sebelumnya ia ajukan.
Pemandangan musim semi yang seharusnya indah kini tampak kabur di matanya, tetapi Erna hanya bisa berkedip, menahan air mata yang ingin tumpah.
Ia tidak mau menangis karena orang itu.
Tidak ada air mata yang pantas disia-siakan untuk seseorang yang tega memperlakukan keluarganya sendiri dengan begitu kejam, mendorong mereka ke dalam situasi tanpa jalan keluar.
Ia sangat mengingatkannya pada seseorang. Ayahnya.
Pria lain yang bahkan tak mampu bersikap seperti lelaki dewasa.
"Ayah…" gumamnya tanpa sadar. Itu adalah panggilan untuk seseorang yang telah lama dilupakan, tetapi Erna tahu pasti bahwa pria itu masih ada di suatu tempat.
Ya! Ayahnya!
Matanya membelalak, seketika tersadar akan sesuatu. Tanpa pikir panjang, Erna melompat dari kursinya. Tali celemek yang jatuh berayun-ayun mengikuti embusan angin musim semi sebelum akhirnya menyentuh tanah.
***
Kebisingan dari luar jendela yang tertutup rapat dan gorden tebal masih cukup nyaring untuk terdengar, bahkan ketika Bjorn berusaha meredamnya dengan bantal. Sorak-sorai dan teriakan yang dimulai dari sungai di sebelah kediaman Grand Duke terdengar semakin lantang, menembus kamar tidur yang redup.
Ia mencoba kembali tidur dengan kepala terkubur di bantal dan tumpukan bantal kecil di atasnya, tetapi pada akhirnya, ia menyerah dan membuka matanya.
"Bajingan-bajingan gila, penuh tenaga," gerutunya pelan sebelum akhirnya bangkit dari tempat tidur.
Begitu ia membuka tirai jendela di sisi barat, pemandangan di seberang sungai langsung tertangkap matanya—sekelompok orang yang sedang berlatih mendayung.
Setiap musim panas, Sungai Arbit, yang mengalir dari kota hingga ke laut, selalu menjadi tuan rumah untuk kompetisi dayung di kalangan kaum bangsawan. Dengan musim panas yang terlalu panjang untuk hanya diisi dengan pesta dan gosip, mencari aktivitas lain bisa menjadi hal yang melelahkan, tetapi juga menyenangkan bagi mereka.
Namun, masalahnya adalah sungai itu berada terlalu dekat dengan kediaman Grand Duke. Dari musim semi, ketika latihan penuh mulai dilakukan, hingga musim panas saat kompetisi berakhir, mustahil untuk terbebas dari kebisingan mengganggu ini.
Bersandar lesu di ambang jendela, Bjorn menatap mereka dengan ekspresi malas. Ia menatap para pemuda itu dengan intens, seolah-olah jika ia menatap cukup tajam, mereka akan diam dengan sendirinya.
Jika mereka tidak bisa mengendalikan energi mereka yang berlebihan, kenapa tidak sekalian saja tidur dengan seseorang?!
"Orang-orang gila." Ia mendengus geli dalam hati.
Berhubungan badan jauh lebih bermanfaat dibanding berkeringat tanpa tujuan di atas perahu sempit itu.
Dalam skenario terburuk, mereka akan berakhir dengan seorang anak. Setidaknya, itu akan menjadi kontribusi kecil bagi peningkatan populasi kerajaan—sesuatu yang lebih berarti dibanding kompetisi konyol ini. Tentu saja, bagi dirinya pribadi, hal semacam itu hanya akan menambah masalah. Namun, jika ada orang tolol yang tak mampu mengendalikan dirinya, itu bukan urusannya.
Bjorn mengambil gelas air yang sudah menjadi suam-suam kuku di meja, menyesapnya dengan malas. Begitu ia berbalik dan menyisir rambutnya yang berantakan dengan jari, pintu kamar terbuka.
Greg, kepala pelayan, masuk dengan langkah teratur, membawa jubah Bjorn di tangannya, sebelum membunyikan lonceng panggilan.
"Saya mohon maaf, Yang Mulia."
Greg berbicara dengan nada datar, tetapi profesional seperti biasanya. "Meskipun kita tidak memberikan izin untuk penggunaan tanah pribadi istana, kami juga tidak bisa mencegah mereka menggunakan area di sekitarnya, terutama dengan adanya izin dari balai kota Schuber."
Bjorn menghela napas, menyandarkan punggung ke jendela dengan ekspresi tidak terhibur.
Lonceng di kediaman grand duke biasanya dibunyikan menjelang siang—tanda bahwa ia harus segera menyelesaikan urusan hariannya.
"Tahun ini, jumlah tim yang berpartisipasi juga bertambah, jadi mungkin akan lebih kacau daripada sebelumnya," lanjut Greg.
Bjorn tertawa kecil, tanpa rasa senang sedikit pun. Semakin banyak peserta berarti semakin berisik. Menjengkelkan.
"Bagaimanapun juga, Leonit Denyister pasti akan menang." Bjorn menggerutu sinis. "Jadi untuk apa para badut berwarna-warni itu berusaha begitu keras?"
Greg hanya diam sejenak sebelum bertanya, "Apakah Anda ingin memindahkan kamar tidur?"
"Tidak. Tidak perlu."
"Baik, kalau begitu, kami akan segera menyiapkan hidangan Anda."
"Bawa ke balkon," Bjorn memberi perintah tanpa melihat kepala pelayannya. "Dan hanya buah-buahan!" serunya saat Greg mulai berjalan pergi.
Setelah percakapan singkat dengan Greg, Bjorn melangkah ke kamar mandi dan menyalakan pancuran air panas. Ia membiarkan dirinya berendam lama, membiarkan uap panas menenangkan pikirannya yang sedang jengkel.
Begitu selesai, ia berjalan ke balkon, tempat meja sudah disiapkan. Ia meraih gelas berisi whiskey soda dingin, lalu memandang pemandangan di sekelilingnya.
Air mancur besar yang terkenal di Istana Schuber memancarkan air sejernih kristal. Patung emas yang menghiasi sisi air mancur bersinar di bawah matahari musim semi, sementara buih-buih air yang jatuh tampak berkilauan.
Tatapan Bjorn beralih dari air mancur ke tangga batu yang menghubungkan kediaman Grand Duke dengan taman, hingga akhirnya ke sungai yang menjadi sumber aliran air tersebut.
Bahkan dari sini, ia masih bisa mendengar sorak-sorai dari Sungai Arbit.
Terlalu keras.
Saat ia menaruh kembali gelas di atas meja, suara langkah mendekat, diikuti dengan suara Greg.
"Yang Mulia, Putra Mahkota telah tiba."
Bjorn menghela napas pelan, menyeka jari-jarinya dengan serbet sebelum mengambil apel dan menggigitnya. Tak lama setelah Greg pergi, Leonit Denyister memasuki ruangan dengan langkah santai, lalu duduk di kursi di hadapan Bjorn tanpa banyak basa-basi.
Bjorn menatapnya sekilas—dahi basah oleh keringat, pipi sedikit memerah. Jelas ia baru saja berlari ke sini setelah latihan dayungnya.
"Selamat datang, Putra Mahkota," ucap Bjorn, posturnya tetap santai dengan kaki bersilang, tetapi nada suaranya tetap sopan.
Leonit menggeleng pelan, tetesan air jatuh dari ujung rambut platinum-nya. Ia tampak penuh semangat, seperti biasa.
Namun, meskipun adiknya duduk di hadapannya dengan mata berbinar, Bjorn tetap menatap ke bawah—ke arah air mancur di taman. Ia menggigit apel sekali lagi, membiarkan rasa manisnya memenuhi mulut, sementara aroma bunga musim semi yang segar mengisi udara.
"Ada urusan apa kau datang kemari hari ini?" tanyanya akhirnya.
Para pelayan datang membawa teh dan menyajikannya di meja, tetapi begitu mereka pergi, Bjorn langsung mengalihkan tatapannya kembali ke Leonit.
Schuber, tempat kediaman Grand Duke berada, adalah kota resor para bangsawan Lechen.
Meskipun masih awal musim, Putra Mahkota, yang terobsesi dengan urusan istana, selalu lebih dulu datang ke Istana Schuber. Sayangnya, kehadirannya di sini lebih sering menjadi pengganggu bagi Bjorn dibanding sesuatu yang menyenangkan.
Leonit menghela napas, tetapi tak menggubris sambutan dingin kakaknya. Sebagai gantinya, ia meletakkan sebuah koran di atas meja.
Bjorn meliriknya sekilas. Tajuk utama dari tabloid terkenal—lebih banyak berisi gosip sosial daripada berita sebenarnya—langsung menarik perhatiannya.
"APA KABAR JAMUR BERACUN KERAJAAN?"
Alis Bjorn berkerut membaca judul itu.
"Jamur beracun?" ulangnya, tidak percaya. Ia mengangkat koran itu, seolah-olah dengan melihatnya lebih dekat, julukan itu akan berubah menjadi sesuatu yang lebih masuk akal.
Leonit, dengan wajah usil, hanya mengangkat bahu sambil memasukkan sebutir anggur ke mulutnya.
"Aku juga tidak tahu dari mana mereka mendapatkan ide itu," jawabnya santai. "Tapi sepertinya, itulah julukan terbaru untuk Grand Duke."
Ia mengedipkan sebelah mata ke arah Bjorn dengan nada menggoda.
Jamur beracun.
Itu adalah sebutan untuk jamur indah yang terlihat menggoda tetapi beracun mematikan.
Jika kau memakannya, kau akan mati. Sesederhana itu.
Bjorn menatap koran itu sekali lagi, kemudian meletakkannya kembali di atas meja dengan senyum miring yang bermain di bibirnya.
Tidak buruk.
Dia tidak bisa sepenuhnya marah, bukan? Setidaknya, mereka memilih foto yang bagus. Artikel itu sendiri pun tidak terlalu menghina. Jika harus jujur, lumayan terpuji, malah.
Namun, suasana santainya buyar begitu saja ketika suara Leonit kembali terdengar.
"Ah," Leonit mulai, kali ini dengan nada yang lebih hati-hati, seperti sedang mengukur reaksi kakaknya. "Mereka bilang Gladys sudah kembali ke Lechen."
Gladys.
Hanya dengan satu nama, senyum sombong Bjorn langsung lenyap.
Gantinya, ekspresinya mengeras. Alisnya berkerut dalam, bibirnya tertarik ke garis tipis yang dingin.
Ia kembali menatap koran, kali ini dengan lebih serius. Ada artikel lain di sana—berisi kabar yang cukup rinci tentang Gladys Hartford, Putri dari Lars, yang memutuskan menghabiskan musim panas ini di Lechen.
Gladys adalah seorang putri yang dulu begitu dicintai oleh seluruh Lechen.
Namun, sekarang ia disebut sebagai wanita malang yang dikhianati oleh suaminya, ditinggalkan, bahkan setelah kehilangan anaknya.
Sungguh bahan gosip yang sempurna bagi kaum bangsawan.
Terlebih karena mantan suaminya—yang dulu digadang-gadang sebagai Putra Mahkota—kini dijuluki oleh masyarakat sebagai jamur beracun.
Diam.
Sunyi menyelimuti balkon itu sejenak. Hanya suara air mancur yang tetap bergemuruh di kejauhan.
Leonit akhirnya memutuskan untuk bertanya, "Apa yang akan kau lakukan, Bjorn?"
Bjorn menghela napas panjang, matanya tampak serius dan berpikir.
Sangat tidak biasa hingga Leonit tertawa kecil.
Namun, Bjorn tetap diam. Ia menggigit apel sekali lagi, membiarkan sari buahnya mengalir di bibirnya sebelum ia menyekanya dengan jari. Punggungnya bersandar lebih dalam ke kursi, tubuhnya santai, tetapi tatapannya kosong—tanpa emosi, tanpa sedikit pun yang bisa ditebak dari pikirannya.
Hanya ada ketenangan.
Musim semi sudah tiba, bukan?
Sungguh musim yang sempurna bagi jamur beracun untuk tumbuh.