Langit fajar mulai memucat ketika mentari perlahan-lahan merayap naik, mengusir semburat ungu kebiruan yang masih tersisa di cakrawala. Stasiun pedesaan itu pun mulai menggeliat, menyambut kereta pertama yang tiba di peron, siap membawa penumpangnya menuju Schuber. Setelah beberapa orang dengan tergesa menaiki gerbong, suasana yang semula sedikit riuh kembali sunyi.
Erna berdiri kaku seperti patung, seolah pikirannya tertinggal di tempat lain. Ia adalah penumpang terakhir yang menaiki kereta, langkahnya lamban dan ragu, seperti seseorang yang berjalan tanpa benar-benar menyadari arah tujuannya.
"Nona, tidakkah kau akan naik?"
"Ah... ya!"
Suara nyaring kepala stasiun menggugahnya dari lamunan. Dengan gugup, ia melangkah menuju gerbong sambil tetap melayangkan pandangan gelisah ke sekelilingnya. Jemarinya yang mencengkeram gagang koper bergetar samar.
'Dia pasti sudah menemukan suratku sekarang.'
Pikiran itu melintas di benaknya, membuat tatapannya semakin meredup saat mengingat apa yang baru saja ia lakukan.
Erna tidak sanggup mengutarakan niatnya kepada sang nenek—Baroness Baden yang keras kepala. Wanita tua itu lebih rela terbuang ke jalanan daripada merendahkan diri meminta pertolongan kepada menantunya, pria yang dianggapnya sebagai musuh. Dalam kebimbangan, Erna akhirnya memutuskan untuk meninggalkan sepucuk surat yang menjelaskan keadaannya. Sebuah tindakan yang tidak terpuji bagi seorang wanita terhormat, sesuatu yang dahulu tak akan pernah ia bayangkan akan ia lakukan.
Ayah…
Sebuah kata yang begitu umum, namun terasa asing baginya, seolah bukan bagian dari hidupnya. Sosok itu terakhir kali ia temui sebelas tahun lalu, di pemakaman ibunya. Mereka tak ubahnya dua orang asing—atau mungkin lebih buruk dari itu. Namun kini, ayahnya adalah satu-satunya harapan yang tersisa.
Ia sadar bahwa pintu yang tertutup bisa jadi satu-satunya jawaban yang akan ia terima, tetapi hatinya tetap berdebar kencang. Apakah ini rasa takut? Atau justru harapan? Ia sendiri tak dapat memastikan.
***
Dengan tekad yang diperbarui, Erna menggenggam koper erat-erat, menarik napas dalam, lalu mendongak menatap kereta di hadapannya. Kilau logamnya tampak tajam tertimpa sinar mentari pagi, seakan memperingatkannya akan perjalanan yang menanti.
"Jika kau tak segera naik, maka—"
"Tidak!"
Kata-kata kepala stasiun menyadarkannya kembali. Ia menggeleng cepat, berusaha mengusir sisa-sisa keraguan dalam benaknya.
"Maaf! Saya akan naik! Saya akan naik!"
Matanya berbinar dengan tekad yang bulat. Ia tak boleh mundur sekarang. Keadaan tidak memberinya banyak pilihan selain terus melangkah.
Amor Fati.
Mencintai takdir yang telah digariskan.
Dengan langkah gemetar, Erna kembali mengingat ungkapan itu—sebuah frasa yang, seandainya hidupnya adalah sebuah sandiwara, akan menjadi tema utamanya. Dunia tidak peduli pada kesengsaraan seseorang, maka satu-satunya jalan adalah mengendalikan takdir dengan kekuatan sendiri. Untuk hidup seperti itu, seseorang harus mampu menerima segala yang diberikan kehidupan dengan sikap positif, sebab meratap dalam iba diri tidak akan mengubah apa pun. Berjuang dan memberikan yang terbaik dengan pandangan optimistis jauh lebih baik daripada menyerah dan pasrah.
Jika nasib yang diberikan kepadanya hanyalah secercah harapan yang nyaris tak berarti, maka biarlah demikian. Ia akan menerima dan mencintai takdirnya ini.
Bagaimanapun, Viscount Hardy tetaplah ayahnya. Seberapa lama pun ia mengabaikan tanggung jawabnya, sebagai seorang ayah, ia tetap memiliki kewajiban yang harus ia jalankan. Dan pada akhirnya, cepat atau lambat, kewajiban itu harus dipenuhi.
Dengan tergesa, Erna menaiki kereta, meninggalkan kepala stasiun yang masih menatapnya dengan ekspresi tajam. Gerakannya yang buru-buru membuat ujung gaun muslin bermotif bunga yang dikenakannya berkibar, seolah-olah kelopak yang mekar diterpa angin musim semi.
Setelah bertahun-tahun meninggalkan kampung halaman, pergi bergandengan tangan bersama ibunya, kini ia kembali—namun kali ini, ia seorang diri.
Perjalanan panjangnya pun dimulai; apakah ia akan menemukan akhir yang bahagia atau justru menghadapi tragedi, tidak ada seorang pun yang tahu.
***
Di sebuah ruang duduk yang diterangi sinar matahari musim semi, seorang pria tengah duduk dengan postur sempurna, menampilkan kesan anggun yang begitu alami. Dengan gerakan santai, ia meletakkan cangkir tehnya di atas meja. Cara ia menyilangkan kaki yang panjang tampak serupa seekor macan tutul yang malas berjemur di bawah sinar mentari.
"Apa kau mendengarkan!?"
Suara nyaring seorang wanita tiba-tiba menggema di ruangan itu, merusak ketenangan yang sebelumnya begitu indah.
"Mengapa kau tidak menjawab!? Apa itu berarti artikel itu benar!? Benarkah!? Benar!?"
Rentetan pertanyaan terlontar tanpa henti, tiap kata yang diucapkan semakin keras dari sebelumnya.
Sang pria menghela napas lelah, kemudian mengusap wajahnya dengan tangan, seakan berharap dapat mengusir kebosanan yang melandanya. Setelah memastikan bahwa tehnya telah mencapai suhu yang tepat, ia kembali meraih cangkir itu dan menyesapnya perlahan. Kehangatan cairan beraroma lembut yang mengalir di tenggorokannya membantu pikirannya yang kusut kembali jernih.
"Bjorn!"
Tak tahan lagi dengan sikap diam lawan bicaranya, wanita itu akhirnya bangkit berdiri. Pancaran sinar matahari yang menerobos masuk melalui jendela jatuh tepat di atasnya, menciptakan ilusi seolah ia tengah berdiri di bawah sorotan panggung.
Namun, dibandingkan pria di hadapannya—yang berpakaian sempurna dan duduk tenang bak permukaan danau tanpa riak—wajahnya yang letih dan tampilan kusutnya semakin tampak mencolok. Tidak sepenuhnya salah jika ia terlihat demikian, mengingat bagaimana ia bergegas meninggalkan ibu kota menuju Schuber segera setelah mendengar kabar itu.
"Aku rasa tidak ada alasan bagi kita untuk mempertahankan hubungan ini lebih lama lagi. Seorang bangsawan telah melamarku, dan kami akan bertunangan sebelum musim semi berakhir."
Dengan suara penuh keyakinan, Lady Perez mengucapkan kata-kata itu tanpa ragu. Namun, meski bibirnya melengkung dalam senyum kemenangan, matanya tidak bisa menyembunyikan sedikit kegelisahan—dan harapan.
Sementara itu, pria di hadapannya tetap diam, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Dengan gerakan santai, ia mengangkat tangannya dan menyalakan cerutunya, seolah-olah kata-kata wanita itu bukan sesuatu yang patut dipikirkan lebih jauh.
Bjorn tidak pernah menganggap Lady Perez sebagai pasangan yang buruk. Justru, keanggunannya yang dibalut sedikit kelancangan membuat kebersamaannya lebih menghibur dibanding para wanita bangsawan lainnya. Selain itu, mereka berdua telah sepakat sejak awal tentang hakikat hubungan mereka—bahwa pada akhirnya, mereka masing-masing akan kembali ke kehidupan mereka sendiri dan menjalankan kewajiban mereka.
Setidaknya, itulah yang ia pikirkan sebelum wanita itu tiba-tiba datang dengan emosi meluap, menghambur masuk ke ruangannya sambil mengacungkan surat kabar murahan yang memuat nama Gladys Hartford.
"Selamat atas pertunanganmu, Lady Perez."
Bjorn mengangguk kecil dengan senyum ringan, mengucapkannya dengan kelembutan yang sama dengan asap cerutu yang melayang dari bibirnya. Namun, kata-kata itu justru membuat tubuh Lady Perez membeku seketika, rasa dingin merambat hingga ke tulangnya.
Bagi orang yang tidak mengetahui hubungan mereka, kalimat itu mungkin terdengar seperti ungkapan selamat yang tulus dari seorang teman dekat.
"…Maaf?"
Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Jawaban pria itu membuat pikirannya membeku sejenak, dan ia hanya bisa mengedipkan mata dengan linglung. Namun, keterkejutan itu tak bertahan lama. Seketika, wajahnya memerah oleh amarah dan rasa terhina.
"Kau benar-benar pria yang tidak berhati! Egois, keji, tak berperasaan! Bagaimana mungkin kau memperlakukanku seperti ini setelah semua waktu yang kita habiskan bersama!?"
Bjorn tetap tenang, tidak menunjukkan sedikit pun perubahan dalam ekspresinya. "Kau sendiri yang ingin pergi, bukan aku," jawabnya dengan ringan, ujung jarinya dengan malas menyusuri bibir cangkir teh di hadapannya.
"Aku hanya mengabulkan keinginanmu… Bukankah itu yang kau inginkan?"
Nada suaranya lembut, hampir terdengar seperti keingintahuan seorang anak kecil. Kepala Bjorn sedikit miring saat ia menatap wanita di hadapannya, helaian rambut keperakannya mengikuti gerakan itu seperti sutra yang tertimpa cahaya.
Lady Perez hanya bisa menggigit bibirnya dalam kemarahan. Kata-kata pria itu begitu lugas, begitu kejam, dan pada saat yang sama, begitu tak terbantahkan.
Bjorn berdiri dan melangkah pergi, meninggalkan wanita itu dalam kehinaan yang tak bisa ia sembunyikan. Cerutu yang tadi dipegangnya telah dibuang ke asbak, dan asapnya yang tersisa mengalun lembut, terbawa angin yang masuk dari jendela.
"Tunggu!"
Teriakan panik itu menghentikan langkahnya. Namun, ia tidak repot-repot berbalik, hanya mengarahkan tatapannya sedikit ke samping sebagai jawaban.
"Itu saja yang ingin kau katakan padaku? Padaku, kekasihmu!?"
Suara nyaring itu penuh emosi. Air mata yang menggenang di matanya membuatnya tampak seperti bunga mawar yang diselimuti embun pagi. Sayang sekali, keindahan yang menggetarkan itu tidak berarti apa-apa bagi Bjorn.
Dengan gerakan anggun, ia akhirnya berbalik dan memberikan sebuah anggukan hormat.
Dalam sikapnya tidak tampak kesan penghinaan ataupun belas kasihan—hanya martabat yang tak terbantahkan. Bahkan dengan pakaian sederhana yang sedikit longgar, keanggunannya tetap terpancar, mencerminkan darah bangsawan yang mengalir dalam dirinya.
"Aku akan menunggu kabar baik tentang dirimu menjadi seorang Countess."
Bjorn mengucapkannya dengan senyum tipis yang hampir terlihat tulus—terlebih karena sinar matahari sore membuat bibirnya tampak lebih merah dari biasanya. Ia kemudian berbalik, meninggalkan Lady Perez yang tampak seolah kesadarannya hampir menghilang.
Setelah menutup pintu ruang duduk dengan tenang, ia langsung berhadapan dengan Nyonya Fitz yang sudah berdiri di luar, menunggunya. Tanpa perlu dikomando, wanita tua itu segera mengikuti langkahnya di sepanjang koridor, bagai bayangan yang selalu setia berada di sisinya.
"Apa kau berencana menyanyikan lagu pengantar tidur untukku malam ini?" Bjorn berseloroh dengan nada ringan saat mereka berhenti di depan pintu kamarnya.
"Jika itu yang Yang Mulia inginkan, tentu saya bisa melakukannya. Sayangnya, ada urusan yang memerlukan perhatian Yang Mulia."
Nada bicara Nyonya Fitz tetap kaku seperti biasa, sama sekali tidak terpengaruh oleh gurauan sang pangeran. Wanita yang dulu adalah pengasuh Bjorn ini kini mengurus semua urusan rumah tangga di Istana Schuber. Meski usianya telah lanjut dan rambutnya sepenuhnya memutih, kepribadiannya tetap tidak berubah—tegas, lurus, dan tanpa basa-basi.
"Yang Mulia harus segera berangkat ke stasiun kereta."
"Stasiun kereta?" Bjorn mengernyit bingung.
"Yang Mulia ratu akan segera tiba."
"Ahh, jadi itu hari ini."
Baru sekarang ia menyadari bahwa ia hampir lupa tentang jadwalnya. Ibunya, yang dijadwalkan menghadiri acara amal di Rumah Sakit Kerajaan, akan berkunjung ke Schuber hari ini. Sebagai putra mahkota, sudah sewajarnya tugas untuk menjemput sang ratu jatuh ke tangannya.
"Benar, Yang Mulia. Apakah kita berangkat sekarang?"
"Mari pergi." Ia mengangguk pelan dan menerima tugasnya tanpa keberatan.
***
Kereta menuju Schuber terus melaju, melewati berbagai kota yang semakin lama semakin ramai. Kabin yang awalnya hanya dihuni satu penumpang kini sudah penuh sesak.
Erna, yang duduk di dekat jendela, mengamati pemandangan yang berlalu dengan tatapan campuran antara rasa ingin tahu dan kegelisahan. Jalanan kota yang seperti jaring laba-laba dipenuhi oleh pejalan kaki dan kereta kuda yang tak terhitung jumlahnya. Bangunan-bangunan yang berdiri rapat terlihat begitu rumit dan membingungkan. Matanya terus bergerak, merasa sedikit pusing oleh hiruk-pikuk kota yang begitu berbeda dari tempatnya tinggal selama ini.
Bagaimana jika ia tersesat? Bagaimana jika ia tak bisa menemukan ayahnya?
'Tidak perlu gugup. Aku masih ingat alamatnya di luar kepala. Selama aku mengingatnya, aku pasti bisa menemukannya.'
Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri, menahan kecemasannya yang semakin lama semakin besar. Kota ini adalah tempat kelahirannya, tempat di mana ia pernah tinggal meski hanya dalam waktu singkat. Bagaimanapun juga, tempat ini tetaplah kampung halamannya.
Sementara pikirannya terus berputar dalam kebingungan, kereta akhirnya tiba di tujuan akhir—Stasiun Pusat Schuber.
Erna buru-buru mengambil tasnya dan keluar dari kabin kereta bersama penumpang lainnya. Pita di topinya terikat erat di bawah dagu, dan rambutnya yang dikepang rapi berayun mengikuti langkahnya yang penuh percaya diri. Namun, kebanggaan yang terpancar dari penampilannya segera runtuh ketika ia melihat pemandangan di hadapannya.
'Di mana aku? Kenapa aku di sini??'
Matanya berkeliling, mencari sesuatu yang familiar, namun tak satu pun yang terlihat sama seperti yang ia ingat. Schuber yang ada dalam ingatannya telah lenyap, lima tahun yang berlalu telah menghapus jejak-jejak kota yang dulu dikenalnya. Ia berdiri terpaku di peron, tubuhnya terdorong ke sana kemari oleh para penumpang yang tak sabar ingin keluar. Mereka tak memberinya kesempatan untuk mengumpulkan pikirannya, membuatnya semakin terombang-ambing dalam kebingungan.
Keramaian yang padat, suara percakapan yang bising, hiruk-pikuk aktivitas di sekelilingnya—semuanya terlalu banyak untuk ia serap dalam satu waktu. Telinganya berdenging, pikirannya semakin kacau. Ia mencoba mencari jalan keluar, tetapi semakin ia melangkah, semakin ia merasa tersesat. Rasanya seperti terjebak di dalam labirin yang tak berujung.
"Lihat ke sana! Beliau akhirnya tiba!"
Tiba-tiba, suara nyaring yang penuh kegembiraan menggema di seluruh stasiun. Seketika, perhatian semua orang yang memenuhi peron tertuju ke satu arah. Erna, yang hampir menjatuhkan tasnya karena terkejut, ikut menoleh ke sumber keributan.
Barulah ia menyadari sesuatu—ia berdiri tepat di barisan terdepan kerumunan.
Dari sisi lain peron, seorang pria tinggi perlahan berjalan mendekat.