Bahkan di hadapan kerumunan yang memenuhi peron, Bjorn tetap menunjukkan ketenangan yang luar biasa. Sejak lahir, ia telah terbiasa menjadi pusat perhatian seluruh kerajaan. Begitu terbiasa hingga menghadapi kerumunan besar seperti ini terasa sama alaminya dengan bernapas. Namun, ini juga berarti bahwa ketidaknyamanan yang terkadang menyertainya bukanlah hal yang asing baginya.
"Mundur! Beri jalan untuk Yang Mulia!"
Seruan keras dari para pengawalnya menggema di seluruh stasiun. Di tengah kekacauan dan kebisingan, para penonton tetap dapat mendengar perintah tersebut dan perlahan-lahan mundur, membuka jalan bagi sang pangeran. Dengan postur tegak penuh martabat, Bjorn melangkah di antara kerumunan yang terbelah, membalas sapaan mereka yang menyambutnya dan berbicara dengan para warga dengan ramah. Semua ini sudah menjadi kebiasaan yang tertanam dalam dirinya setelah bertahun-tahun melakukannya.
Dia—seorang gadis kecil di tengah kerumunan yang ramai—hanya seorang penonton, berdiri di sana untuk sekadar melihatnya sekilas.
Namun, ada sesuatu yang unik dalam dirinya yang menarik perhatian Bjorn lebih lama dari seharusnya. Gaun yang ia kenakan tampak kuno, dihiasi renda dan pita, membuatnya seolah-olah terjebak dalam abad yang telah lama berlalu. Jika gaunnya belum cukup usang, topi yang ia kenakan semakin melengkapi estetikanya. Pikirannya dipenuhi oleh penilaian singkat itu saat ia berjalan melewatinya.
Namun, sebelum sepenuhnya mengabaikan sosok gadis itu, pandangannya beralih ke seorang pria yang berteriak dengan nada penuh kemarahan. Wajah pria itu memerah saat ia menghujat sang pangeran sebagai seorang pewaris kerajaan yang boros dan tak berguna. Namun, saat Bjorn menatapnya, pria itu justru mundur selangkah dengan wajah terkejut. Bertolak belakang dengan ekspektasinya, sang pangeran hanya tersenyum ramah kepadanya—senyum yang sama yang ia tunjukkan kepada semua orang.
Di tengah pujian dan hinaan, Bjorn tetap melangkah dengan tenang, seolah-olah ia hanya sedang berjalan santai di taman istana. Tanpa memperdulikan lebih jauh wajah-wajah asing di sekelilingnya, ia terus maju menuju kereta yang baru saja tiba di peron.
***
'Fokuslah, maka kau bisa melakukan apa pun.'
Erna pernah berpikir demikian, tetapi setelah berjam-jam tersesat tanpa tujuan hingga tubuhnya terasa lelah, ia akhirnya menyadari bahwa semangat saja tidak selalu cukup. Menghafal alamat tidak banyak membantunya, dan kini, kegelapan malam sudah mulai menyelimuti kota.
Ia berdiri sendirian di sebuah plaza di Tara Boulevard, di tengahnya terdapat sebuah air mancur yang berkilauan di bawah cahaya lampu gas. Dengan tubuh yang kelelahan, ia terseret menuju tepi air mancur dan duduk di sana untuk beristirahat. Sebelum duduk, ia dengan hati-hati meletakkan sapu tangannya di atas permukaan batu—sedikit upaya untuk menjaga martabatnya.
Seandainya saja ia bisa berbaring sebentar untuk mengistirahatkan tubuhnya yang lelah... Namun, ia tahu bahwa tindakan seperti itu tidak pantas bagi seorang wanita sepertinya.
Hari ini, Erna sengaja memilih mengenakan gaun favoritnya—gaun muslin yang diberikan oleh neneknya sebagai hadiah ulang tahun tahun lalu. Meskipun ia tidak terlalu mengenal ayahnya, itu bukan alasan untuk bertindak tanpa sopan santun dan martabat seorang wanita sejati. Itulah sebabnya, tidak peduli seberapa sulit keadaannya, ia harus menjaga agar gaunnya tetap bersih.
Tenang dan anggun, kapan pun dan di mana pun. Seperti seorang wanita bangsawan sejati.
Itulah moto hidup yang dipegang teguh oleh neneknya sepanjang hayat, warisan yang ingin ia turunkan kepada cucu tercintanya. Meskipun Erna menyandang nama belakang Hardy, ia tetaplah seorang wanita dari keluarga Baden, dan dengan itu, ia memiliki kewajiban untuk menjunjung tinggi ajaran neneknya. Dengan mengingat sosok neneknya, Erna merapikan kembali pakaiannya dengan cermat, memastikan semuanya tetap dalam kondisi sempurna.
Di sekelilingnya, lampu-lampu gas mulai dinyalakan satu per satu oleh petugas penerangan jalan. Setelah selesai di alun-alun, pria itu melanjutkan pekerjaannya ke area lain dengan sepedanya. Pemandangan asing ini entah bagaimana membuat Erna terpesona. Ia membiarkan pikirannya melayang, tenggelam dalam ketertarikan yang tak ia pahami.
Setelah beberapa saat, ia menghela napas dan berdiri tegak. Dengan tangan yang sedikit lelah, ia kembali mengangkat koper yang telah ia bawa seharian. Tanpa memperdulikan kaki dan betisnya yang membengkak, ia melanjutkan perjalanannya—tekadnya hanya satu, menemukan rumah ayahnya sebelum malam semakin larut.
Saat berjalan di bawah cahaya lampu gas, pemandangan di sekelilingnya tampak begitu indah, seperti sebuah mimpi. Keindahan ini, meskipun hanya sesaat, berhasil mengalihkan pikirannya dari rasa takut dan cemas yang menghantuinya. Kelopak bunga yang berguguran tertiup angin melayang lembut di udara, tampak seperti salju yang turun untuk pertama kalinya. Pemandangan itu secara ajaib menenangkan sarafnya yang menegang.
"Wow…."
Erna berseru pelan, menengadah seperti seorang anak kecil yang melihat sesuatu yang menakjubkan. Matanya terpaku pada bulan purnama yang bersinar di balik ranting-ranting pohon yang dipenuhi bunga. Itu adalah bulan yang sama yang menemaninya tadi malam, saat ia berulang kali membalikkan tubuh di tempat tidur tanpa bisa terlelap. Keberadaan bulan yang familiar itu, entah mengapa, membawa secercah kenyamanan bagi pikirannya yang gelisah.
Dengan tarikan napas panjang, ia kembali melangkah, kali ini dengan tekad yang lebih kuat. Seolah-olah bulan memberinya restu, akhirnya, setelah perjalanan yang terasa seperti selamanya, ia menemukan rumah yang selama ini ia cari. Nama dan alamatnya telah begitu sering ia ulang dalam hati, seakan-akan sebuah doa yang dipanjatkan dengan sungguh-sungguh.
Di hadapannya, berdiri megah sebuah rumah tua bergaya klasik di ujung Tara Boulevard—Mansion Hardy. Rumah yang dulu pernah ia sebut sebagai rumah.
Sebelum mengetuk pintu, Erna sekali lagi memeriksa penampilannya. Ia memastikan dirinya tampil dengan sebaik mungkin, menjaga postur tubuhnya tetap tegak dan menampilkan senyum ringan di bibirnya—sebagaimana layaknya seorang wanita bangsawan sejati. Ia tidak tahu apakah penampilannya sudah cukup sempurna, tetapi menurut standarnya sendiri, ini sudah lebih dari cukup.
"Semuanya akan baik-baik saja."
Meskipun ia tahu kemungkinan segalanya tidak berjalan dengan baik tetap ada, ia tidak bisa menahan diri untuk menipu dirinya sendiri dengan kebohongan itu.
Dengan tangan yang gemetar, ia mengulurkan tangan menuju bel pintu mansion.
***
"Aku benar-benar tidak mengerti apa yang ada di dalam kepalamu."
Suara seorang wanita yang bersemangat menembus alunan musik yang mengalun di seluruh aula yang ceria.
Duduk dengan mata tertutup, Bjorn membuka matanya dan menatap wanita muda itu. Adiknya, Lady Louise, entah sudah untuk keberapa kalinya muncul di hadapannya. Namun, ekspresi penuh semangat yang ditunjukkan Louise sangat kontras dengan reaksinya yang datar.
"Mereka bilang Gladys akan kembali! Kau tahu apa artinya ini?" tanyanya dengan penuh antusias.
"Hmm..." Dengan jeda singkat, pandangannya yang berkelana di sekitar aula yang dipenuhi cahaya gemerlap lampu gantung akhirnya kembali tertuju padanya. "Kurasa musim panas kali ini akan cukup sial, atau semacamnya." ujarnya tanpa sedikit pun basa-basi. Jawaban blak-blakan itu, yang disampaikan dengan senyum cerah namun nada lamban penuh kantuk, justru terdengar menyedihkan.
"Astaga! Bagaimana mungkin kau, kakakku yang terhormat, bisa berbicara tentang Gladys seperti itu? Gladys, wanita yang telah kau sakiti dan kau buang begitu saja?!" Louise bertanya dengan geram, seolah-olah ia sendiri yang telah dihina.
Di sisi lain, Bjorn dengan tenang meraih segelas air sementara adiknya masih mengomel di sebelahnya. Tetesan air yang mengembun di permukaan gelas mengalir turun di sepanjang jemarinya yang panjang dan halus.
Di sekitar mereka, pesta amal masih berlangsung tanpa tanda-tanda akan segera berakhir, menunjukkan betapa suksesnya acara tersebut. Para wanita dari berbagai lingkaran sosial berbondong-bondong datang ke Schwerin setelah mendengar kabar bahwa sang ratu, yang dicintai dan dihormati oleh seluruh kerajaan, akan hadir. Kepala Rumah Sakit Kerajaan terus tersenyum melihat betapa banyaknya belas kasihan yang ditunjukkan melalui sumbangan yang terkumpul.
Musik yang luar biasa, hidangan lezat, serta kehadiran tokoh-tokoh ternama dari berbagai kalangan—semua itu menjadikan pesta ini sebagai acara yang pantas untuk sang ratu, sehingga kehadirannya tidak menjadi sia-sia. Hal yang sama juga berlaku bagi sang duke, yang rela mengorbankan waktu istirahatnya demi menemani ratu, dan upayanya pun tidak sia-sia. Secara keseluruhan, semua orang menikmati akhir pekan musim semi mereka.
Kecuali seorang putri tertentu, yang berputar-putar seperti lebah yang marah.
"Kakak, kumohon... Perbaiki kesalahanmu sekarang. Ya?" ucapnya dengan nada seakan sedang membujuk seorang anak kecil.
Sang putri, yang merupakan teman dekat Gladys, adalah orang yang paling mendukung pernikahan mereka. Karena itulah, ia lebih kritis terhadap segala hal yang berkaitan dengan keduanya sejak perceraian mereka yang penuh kekacauan.
"Tentu saja, ini bukan kesalahan yang bisa dimaafkan dengan mudah. Tapi jika Gladys menerima permintaan maafmu, aku yakin kalian berdua bisa—"
"Duchess Heine."
Bjorn memotong ucapan adiknya sambil meletakkan gelas air yang tadi dipegangnya. Berlawanan dengan senyuman yang menghiasi bibirnya, sorot matanya tetap tenang, begitu juga dengan nadanya—begitu datar hingga terasa tidak pada tempatnya.
"Sepertinya duke sedang mencari istrinya saat ini. Kurasa sudah waktunya kau kembali ke sisi suamimu."
Ia berkata sambil menunjuk ke arah Duke Heine, yang tengah berjalan melewati kerumunan para wanita di seberang aula. Louise, yang masih ingin berbicara lebih banyak, akhirnya hanya bisa menelan keluhannya dan pergi dengan enggan setelah menghela napas panjang.
Setelah jeda singkat, orkestra kerajaan kembali memainkan musik. Saat alunan waltz mengisi seluruh aula, Bjorn bangkit dari kursinya dan berjalan maju. Dengan langkah santai, ia melewati para wanita yang diam-diam meliriknya, sorot mata mereka dipenuhi kewaspadaan sekaligus harapan. Namun, tanpa memberikan sedikit pun perhatian pada mereka, ia terus melangkah menuju teras yang mengarah ke taman, tempat beberapa pria tengah menikmati cerutu mereka.
"Bjorn, di sini!"
Suara yang familiar memanggilnya, membuatnya menoleh ke arah pria yang tampak ramah itu. Malam ini, kelompok bangsawan yang biasanya sibuk dalam diskusi-diskusi tak masuk akal justru terlihat lebih pendiam dari biasanya. Beberapa di antara mereka bahkan menyeruput minuman mereka dengan wajah muram, seperti anak kecil yang siap menangis kapan saja.
"Investasi mereka gagal," ujar Peter, sambil menggenggam segelas anggur berwarna amber.
Bjorn bersandar pada pagar teras, segelas anggur kini berada di tangannya.
"Investasi?"
"Mereka menanamkan modal di obligasi luar negeri. Pada akhirnya, itu hanyalah penipuan atau semacamnya."
Peter mendecakkan lidahnya, menyampaikan kabar tragis itu. Yang Mulia, di sisi lain, tidak menunjukkan reaksi yang berarti, kecuali kerutan samar di dahinya. Sepertinya jumlah orang bodoh yang terjebak dalam investasi yang terlalu bagus untuk menjadi kenyataan jauh lebih banyak daripada yang ia duga. Jenis investasi seperti ini memang sedang menjadi tren yang mengguncang lingkaran sosial belakangan ini.
"Terima kasih, Yang Mulia. Saya masih hidup berkat bantuan Anda."
Peter, yang kini berdiri lebih dekat dengan Bjorn, berbisik lirih.
Beberapa hari lalu, Peter juga mendengar tentang sebuah investasi menggiurkan yang menarik perhatiannya. Setelah mengumpulkan cukup banyak informasi, ia langsung pergi ke Istana Schwerin untuk meminta kerja sama Bjorn.
Sudah menjadi rahasia umum di kalangan bangsawan bahwa keberuntungan sang pangeran dalam urusan wanita dan uang sungguh luar biasa, hingga beberapa orang percaya bahwa Tuhan sendiri telah memberinya berkah.
Namun, Bjorn dengan kejam menghancurkan impian bangsawan yang penuh harapan itu setelah mendengar situasinya.
"Apakah otakmu hanya untuk pajangan, bajingan sakit?"
Bjorn bertanya dengan suara rendah, nada bicaranya datar tanpa emosi. Peter Bergen merasa begitu terhina hingga hampir melakukan tindakan makar dengan menyerang seorang anggota keluarga kerajaan. Jika saja lawannya adalah seorang bangsawan biasa—atau seseorang yang setidaknya bisa ia kalahkan—maka ia tak akan berpikir dua kali untuk menghajar pria kurang ajar itu.
Namun sayangnya…
Dengan pikiran yang lebih rasional, ia menyimpulkan bahwa melindungi dirinya sendiri dan keluarganya jauh lebih penting daripada memukul seorang bajingan. Terlebih lagi, jika si bajingan itu adalah Yang Mulia Pangeran, maka tidak ada satu pun hal di kerajaan ini yang tidak bisa ia toleransi. Lagi pula, bukankah ia telah meraup keuntungan besar dari investasi di perusahaan baja berkat informasi yang diberikan oleh Bjorn sebelumnya? Hanya dengan mengingat keuntungannya dari investasi itu saja sudah cukup bagi Peter untuk menyatakan rasa cinta mendalamnya kepada pangeran.
Jika dirinya, yang hanya mencicipi sedikit keuntungan dari investasi itu, sudah mendapat begitu banyak, lalu berapa banyak yang didapatkan oleh Yang Mulia? Pada akhirnya, memikirkan hal ini terlalu dalam tidak akan menambah pundi-pundinya. Untuk bisa mengumpulkan kekayaan dalam jumlah besar adalah sebuah bakat, dan seseorang harus cukup licik agar bisa bertahan dalam dunia ini. Alasan inilah yang membuat Peter tetap menjalin hubungan baik dengan pangeran, bahkan jika itu berarti ia harus terus-menerus menahan sikap kurang ajarnya.
"Bagaimanapun caranya, mereka harus ditangkap, Yang Mulia! Ini kejahatan serius yang telah menghancurkan begitu banyak korban!"
Seruan putra seorang countess terdengar penuh emosi saat ia mulai menyebutkan nama-nama para pelaku dengan frustasi. Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak dari keluarga bangsawan yang dikenal sebagai anggota persaudaraan tertentu, tetapi ada juga beberapa nama yang asing di daftar itu.
"Apakah Anda mengenal Viscount Hardy? Dia salah satu korban yang paling malang. Seluruh hartanya telah lenyap. Mungkin saat ini dia sedang di ambang bunuh diri dengan pistol di tangannya."
Hardy?
Keluhan panjang dari para bangsawan yang terkena dampak akhirnya mengarah pada nama asing yang belum pernah Bjorn dengar sebelumnya.
Mungkin Viscount itu bisa dianggap sebagai orang paling bodoh di antara semua korban yang tolol.
Dengan rokok menyala di tangannya, Bjorn mengalihkan pandangannya ke arah taman di balik pagar teras. Di antara asap yang berembus tipis, bunga-bunga musim semi yang tengah bermekaran tampak menghiasi air yang mengalir di kejauhan. Ia menikmati pemandangan itu dengan tatapan tenang, hingga matanya tiba-tiba tertuju pada sebuah hamparan bunga kecil berwarna putih.
Bunga bakung lembah.
Matanya, yang tengah menatap bunga itu, menyipit sedikit saat ia mengingat namanya. Itu adalah bunga yang sama yang dibawa Gladys saat pernikahan mereka. Karena hal itu, bunga bakung lembah—yang dijuluki sebagai bunga putri mahkota—menjadi begitu dicintai oleh banyak orang hingga sempat terjadi kelangkaan. Tentu saja, popularitasnya tak bertahan lama dan memudar dalam waktu kurang dari setahun.
Hmm… wanita menarik di stasiun itu mengenakan topi yang dihiasi dengan bunga ini, meskipun tren bunga itu sudah lama berlalu.
Bjorn berpikir sembari bersenandung mengikuti irama waltz yang mengalun dari dalam aula, sementara ia menghembuskan asap rokoknya.
Tentu saja…
Ia mengalihkan pandangannya dari hamparan bunga tanpa sedikit pun rasa penyesalan, lalu menatap bulan putih yang menggantung di langit malam.
Meski ia telah mengabaikan bunga itu, tampaknya ia tetap akan terus bertemu dengan hal-hal yang berhubungan dengan Gladys—seperti kutukan yang terus menghantuinya.