'Kecantikannya benar-benar luar biasa, harus kuakui.' Bjorn berpikir sambil menatap wanita yang dengan tenang membalas tatapannya.
Sama seperti Gladys Hartford, Erna Hardy memiliki daya tarik yang menonjol di antara yang lain. Meskipun keduanya berasal dari garis keturunan yang sepenuhnya berbeda, mereka sama-sama memiliki kecantikan yang tak tertandingi—kecantikan yang mampu menimbulkan kehebohan di mana pun mereka berada. Mungkin itulah alasan mengapa ia tak keberatan terlibat dalam skandal dengannya, meskipun biasanya ia menganggap hal semacam itu menjijikkan. Namun, penampilan seindah itu pada akhirnya hanya terbuang sia-sia karena garis keturunannya yang tidak memadai.
Ia tidak merasa keberatan saat menyatakan hal itu karena bagi Bjorn, itu adalah kenyataan yang jelas. Tentu saja, ia sepenuhnya sadar betapa kasar keyakinannya tersebut.
"Kau yakin tidak ada apa-apa di antara kalian?" Leonid, yang juga mengamati Erna dengan saksama, bertanya dengan nada serius.
"Yah, jika kau tertarik padanya… Aku bisa membantumu merayunya." Bjorn tetap menatap wanita itu sambil memberikan jawaban jenaka, kemudian perlahan menoleh untuk menghadapi Leonid.
"Hubungan seperti apa yang kau inginkan dengannya?" Bibirnya melengkung membentuk senyum elegan yang sangat kontras dengan makna kasar dari pertanyaan yang baru saja ia lontarkan.
"Kau benar-benar gila..." Leonid yang tak bisa menahan tawa karena pernyataan absurd itu, akhirnya menyerah untuk meragukan kakaknya. Bjorn Dniester memang gila dalam banyak hal, tetapi setidaknya ia adalah orang gila yang setia pada keinginannya sendiri.
"Mengapa kau tidak pergi dan mengajaknya berdansa? Menurutmu, apakah dia berani menolak seorang Putra Mahkota?" Bjorn bertanya sembari menerima segelas sampanye dari seorang pelayan yang diam-diam mendekat, lalu melirik ke arah Nona Hardy.
"Kenapa aku harus melakukannya?"
"Kau menyukainya, bukan?"
"Omong kosong apa yang sedang kau bicarakan?" Leonid bertanya dengan dahi berkerut.
"Aku hanya penasaran. Mungkin kau khawatir gadis yang kau sukai sedang berselingkuh dengan kakaknya sendiri."
"Sama sekali tidak. Aku tidak tertarik pada wanita seperti itu."
"Kau terlalu kaku, coba santai sedikit." Bjorn mengangkat bahunya ringan lalu menenggak habis minumannya dalam sekali teguk.
Musim ini adalah waktu bagi para wanita untuk bersosialisasi dan memperluas koneksi mereka. Namun, beberapa dari mereka memilih cara yang tidak terhormat demi mencapai hasil dengan cepat. Meskipun mereka berhasil meraih popularitas, ketenaran semacam itu sering kali disertai dengan kebencian. Sebuah keluarga yang menjual putrinya setelah menipunya dengan kejam dan seorang putri yang rela bekerja sama demi mengorbankan harga diri serta martabatnya. Pada akhirnya, orang-orang takkan memandang kejadian seperti itu dengan baik dan tak seorang pun akan berniat bergaul dengan wanita semacam itu.
Tak lama kemudian, Putra Mahkota dipanggil oleh para tetua keluarga kerajaan dan segera pergi. Saudara lelakinya yang kini menjalankan tugas yang dulunya dibebankan kepadanya, telah dengan sempurna mengambil peran sebagai Putra Mahkota.
Namun, Leonid berhenti setelah melangkah beberapa kali dan menoleh ke belakang secara tak terduga, seolah memberi isyarat agar mereka pergi bersama. Bjorn, di sisi lain, dengan santai melambaikan tangannya untuk menolak tawaran baik saudaranya dan berbalik tanpa sedikit pun penyesalan. Bagaimanapun, Victoria Meyer masih berada di sana dan ia tak ingin berinteraksi dengannya lebih dari yang sudah terjadi.
Bjorn telah menyapanya singkat dengan sedikit anggukan dan senyum tipis, sementara Countess Meyer membalas dengan sopan lewat sebuah tundukan kecil. Terlepas dari metode kotornya, wanita itu memiliki semangat dan kegigihan yang mau tak mau ia akui.
Bagaimanapun juga, acara sosial adalah meja permainan bagi Victoria Meyer.
Tempat di mana seseorang bisa menikmati 'permainan' yang memberikan stimulus mengasyikkan dalam kehidupan yang membosankan dan monoton. Ia mengakui bahwa dirinya juga menikmati permainan semacam itu, dan secara alami adalah seseorang yang mampu merancang strategi secara rinci serta meraih kemenangan luar biasa berulang kali. Mereka sama-sama memiliki keberanian untuk tidak terjebak dalam permainan sepele dan terus menguji batas mereka dengan meningkatkan tingkat kesulitan secara bertahap.
Meletakkan gelasnya yang kini kosong, ia berbalik untuk mengambil segelas sampanye baru.
Jika Victoria Meyer terlahir sebagai pria, mungkin ketenarannya dalam bermain kartu tidak akan bisa disandingkan dengan reputasi yang dimiliki Bjorn saat ini. Bagaimanapun, mencarikan pernikahan yang baik untuk putri dari keluarga lain adalah bentuk perjudian yang bersifat altruistik, sehingga bisa dikatakan bahwa Victoria memiliki hobi yang jauh lebih sehat dibandingkan para penjudi kartu di berbagai klub sosial.
Grand Duke yang memutuskan untuk mendekati sekelompok bangsawan yang memanggilnya, secara tidak sadar menoleh untuk membalas tatapan yang telah mengikutinya dengan gigih sejak beberapa waktu lalu. Tatapan itu ternyata berasal dari wanita itu—Erna Hardy.
Wanita yang bahkan ragu untuk berdiri beberapa saat yang lalu kini terlihat begitu terkejut hingga duduk kembali ketika pandangan mereka bertemu. Ia tidak merasa geli ketika melihat Erna dengan gugup menarik erat selendang renda di bahunya, pipinya yang merona kemerahan menambah kesan kepolosan yang sulit dipercaya.
Andai bukan karena nama Hardy dan keberadaan Victoria Meyer, mungkin ia bisa saja tertipu oleh akting polos semacam itu. Namun, siapa sangka bahwa wanita ini bisa membuat Grand Duke yang terkenal kejam ini merasakan keringat dingin?
Nona Hardy yang menatapnya dengan mata gemetar, tiba-tiba menundukkan kepala dan mulai bergumam sesuatu yang tak dapat dipahami.
Apa lagi trik licik yang sedang ia rencanakan kali ini?
Bjorn segera meninggalkan tempat itu sebelum dirinya kembali menjadi korban intrik Victoria Meyer. Ia hanya bisa diam-diam memberikan belasungkawa kepada siapa pun yang nantinya akan terjerat dalam permainan kejamnya.
"Bjorn! Apa kau benar-benar yakin tidak mengenal wanita itu? Apa kalian berdua memiliki hubungan?" Sekelompok orang segera mengerubunginya, melontarkan pertanyaan dengan terburu-buru.
"Tolong katakan tidak."
Peter berkata dengan ekspresi yang sangat serius di wajahnya. Setelah menghela napas ringan, Bjorn duduk dan menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu meneguk sisa minumannya.
"Sebaiknya kau sadar, dasar bodoh." Bibir Pangeran Bjorn tampak berkilau dengan rona kemerahan saat ia memberikan nasihat yang terdengar begitu bersahabat.
***
"Bjorn harus menikah." Philip Dniester yang tengah merenung dengan serius, tiba-tiba berkata.
"Menurutku, itu yang terbaik untuknya, bukan begitu?"
Ia menoleh ke arah sang ratu yang duduk di seberang meja, seolah meminta persetujuannya. Isabel Dniester meletakkan cangkir tehnya dengan sedikit mengerutkan kening dan mendecakkan lidahnya. Dengan kerajaan yang kini menikmati kedamaian dan kemakmuran, kekhawatiran terbesar Philip adalah putra sulungnya yang bermasalah, Bjorn.
"Bjorn bahkan tidak akan mendengarkan Anda, apalagi mengikuti saran Anda."
"Kita harus menemukan cara agar dia mau mengikuti keinginan kita!"
"Sepertinya Anda tidak terlalu mengenal putra Anda, Yang Mulia."
Desahan ringan terdengar menembus udara malam yang dipenuhi aroma musim semi. Teras taman tempat sang raja dan istrinya menikmati waktu minum teh dipenuhi wangi bunga yang sedang bermekaran.
"Saya bahkan diam-diam menanyakan apakah ada gadis yang ia sukai, tetapi dia dengan tegas menyangkalnya. Bahkan dia justru bertanya pada saya apakah satu perceraian saja tidak cukup. Itu membuat saya takut."
"Itu…" Mata abu-abu sang raja yang mirip dengan mata putranya, tampak semakin dalam.
Nama Gladys yang belakangan ini terdengar di seluruh kerajaan adalah salah satu hal yang paling mengganggu Bjorn. Ia sudah memperkirakan bahwa putranya akan merasa gelisah karena hal ini, tetapi ia justru terkejut melihat betapa santainya Bjorn saat menghadiri pesta. Philip bahkan bisa membayangkan sesuatu yang tidak masuk akal akan terjadi jika gadis itu dan Bjorn kembali dipertemukan, dan sekadar membayangkannya saja sudah membuat punggungnya terasa nyeri. Jika hal itu benar-benar terjadi, ia akan mengerahkan pasukannya dan mengobarkan perang melawan Lars.
"Jangan khawatir, Philip. Pertemuan kembali dengan Gladys tidak akan terjadi." Isabel meyakinkan suaminya, seolah bisa mendengar kecemasannya hanya dengan melihat sekilas.
"Anda tahu sendiri bagaimana Bjorn terluka saat ditinggalkan sampai akhirnya membuat keputusan itu."
"Aku tahu. Tentu saja aku masih mengingatnya."
Mata sang raja kembali meredup saat ia perlahan mengangguk.
'Saya ingin melepaskan posisi saya sebagai Putra Mahkota dan menyerahkan hak saya atas takhta. Selain itu, saya ingin mengajukan perceraian.'
Bjorn menyatakan dengan tenang pada malam kelahiran anaknya.
'Saya sudah mengambil keputusan. Saya tidak akan mengubahnya apa pun yang terjadi, Yang Mulia.'
Tak ada emosi di wajahnya saat ia mengucapkan kata-kata itu dengan perlahan. Namun, kemarahan diam-diam dan keputusasaan yang membara dalam mata sang Putra Mahkota—yang saat itu baru berusia dua puluh dua tahun—begitu kuat hingga membuat Philip merasa terintimidasi.
Pada akhirnya, mereka menyerah pada keinginan putra mereka karena tahu betul bahwa itu adalah pilihan terbaik baginya. Namun, sebagai seorang ayah, raja tidak bisa melakukan apa pun untuk mengurangi penderitaan yang dialami putranya. Sebab, bagaimanapun juga, ia tetaplah seorang raja—bukan hanya seorang ayah.
"Tapi sayang, tidak ada lagi yang bisa kita lakukan saat ini, tidak peduli seberapa keras aku memikirkannya. Untuk sekarang, mari kita coba membuatnya menikah lagi."
Kesimpulan Philip setelah berpikir panjang malah menjadi titik awal dari percakapan ini.
"Bukan berarti kita belum pernah mencoba itu sebelumnya. Jika menyangkut pernikahan, anak itu akan memutuskan sendiri apa yang dia inginkan."
"Masalahnya adalah Bjorn tidak ingin menikah."
"Kurasa pada akhirnya kita harus membuatnya tertarik pada pernikahan lagi. Ngomong-ngomong, apakah wanita itu benar-benar tidak ada hubungannya dengan Bjorn?" Ia menatap istrinya dengan percampuran harapan dan kekhawatiran.
"Leonid sudah beberapa kali bertanya pada kakaknya dan sepertinya dia tidak tertarik padanya."
"Hmm… Begitu ya?"
"Apa Anda benar-benar menyukai wanita dari keluarga Hardy itu?"
"Bukan begitu, tapi aku akan menyambut siapa pun yang bisa menggerakkan hati Bjorn. Asalkan dia lebih baik daripada Gladys, tentu saja." Ada jejak kemarahan samar yang tidak bisa disembunyikan dalam suaranya saat ia menyebut nama Gladys.
"Ngomong-ngomong, sebentar lagi kita akan pindah ke Istana Musim Panas. Mari kita lebih memperhatikannya selama musim panas ini. Akan sangat menyenangkan jika akhirnya kita bisa melihat Bjorn memiliki keluarga yang bahagia sebelum akhir tahun."
"Saya setuju…"
Meskipun Isabel merasa itu hanyalah harapan yang tidak terlalu mungkin terwujud, ia tetap mengangguk dengan senang hati saat pikiran itu terlintas di benaknya. Tidak ada hal lain yang bisa memberikan secercah harapan bagi suaminya yang malang—yang setiap hari hanya mengkhawatirkan putra sulungnya—selain melihat Bjorn akhirnya hidup bahagia dengan seseorang yang mencintainya dengan tulus.
"Saya berharap dia segera menemukan kebahagiaannya."
****
Erna, Erna, Erna.
Sepertinya itu adalah satu-satunya nama yang didengar Grand Duke belakangan ini, terutama setelah debutante ball terkutuk itu. Apalagi saat ia berpapasan dengan para bangsawan pria yang terkenal karena gaya hidup mereka yang penuh kebejatan.
"Sudah beberapa hari sejak aku mengirim bunga ke Nona Hardy, tapi masih belum ada balasan. Apa mungkin pelayan itu salah menaruh kartu yang kukirim bersamanya?"
Bjorn perlahan menoleh begitu mendengar nama terkutuk itu lagi. Sekelompok bangsawan yang telah kehilangan semua taruhan mereka, duduk di sudut ruang kartu sambil membicarakan wanita.
"Kenapa kau tidak bertanya langsung padanya? Meskipun dia tidak muncul di acara-acara sosial belakangan ini, dia mungkin masih sesekali terlihat di beberapa tempat."
"Aku bisa saja melakukan itu, tapi aku butuh waktu yang cukup banyak. Dengan pelayan galak yang berjaga di sekitar Nona Hardy seperti anjing dari neraka, tidak ada yang bisa mendekatinya!"
Tawa pecah di seluruh ruangan. Permainan panjang akhirnya berakhir dengan beberapa lelucon vulgar tambahan. Seperti biasa, pemenang hari ini adalah Bjorn Dniester.
"Saya rasa Ansa berencana menyapu bersih semua meja judi dan menambahkan kemenangan Anda ke kas kerajaan, Yang Mulia."
"Dunia ini benar-benar tidak adil dan kotor. Bahkan Dewi Keberuntungan hanya memberikan berkatnya pada orang-orang berdasarkan penampilan mereka."
Keluhan dari mereka yang baru saja kalah terdengar dari berbagai penjuru, namun Bjorn tetap tidak bereaksi dan meninggalkan ruangan begitu saja. Sinar matahari pagi yang masuk melalui jendela begitu menyilaukan, menerangi sosoknya yang anggun. Ia terus berjalan melintasi klub menuju teras yang menghadap ke alun-alun. Orang-orang yang mengikuti kepergiannya akhirnya duduk mengelilingi meja yang ia pilih.
"Kenapa kau tidak mengirim buket bunga untuk Nona Hardy?" Peter yang sedang memainkan gelas yang dibawakan oleh pelayan, perlahan bertanya.
Erna lagi.
Dengan dagu bertumpu di telapak tangannya, Bjorn meraih segelas wiski dingin dari meja. Bunyi jernih es yang berbenturan dengan gelas terdengar bersamaan dengan nama yang mulai membuatnya bosan.
"Apa kau yakin dengan apa yang kau lakukan? Jika kau mengambil wanita itu, kau juga akan mendapatkan utang Viscount Hardy sebagai bonus tambahan, kau tahu?"
"Itu… Yah, bagaimana jika jumlahnya masih dalam batas yang bisa kutanggung?"
"Kurasa cepat atau lambat kita akan mendengar berita sedih tentang Count Bergen mengusir putranya yang bodoh."
Peter mengerutkan kening dan hendak membantah, tetapi pada akhirnya tidak bisa mengeluarkan sanggahan apa pun.
Semua orang dalam lingkaran sosial ini sudah sangat paham apa yang coba dilakukan oleh Viscount Hardy terhadap putrinya: menjadikannya umpan untuk menangkap seorang bangsawan kaya. Pernikahan dengan maksud serendah itu tidak akan pernah diterima oleh keluarga terhormat yang memiliki otoritas tinggi dan sejarah panjang.
Jika beruntung, seorang wanita seperti Erna Hardy bisa menikah dengan bangsawan kaya atau menjadi istri pria kaya yang tidak memiliki gelar. Lebih dari itu akan sangat sulit untuk dicapai, bahkan Countess Meyer pun akan kesulitan. Mengingat kondisi keluarga Hardy saat ini, bahkan kemungkinan sekecil itu bisa dianggap sebagai pencapaian ajaib.
"Lihat! Itu dia! Itu Erna Hardy!" Peter, yang beberapa saat lalu tampak kebingungan, tiba-tiba melompat dari tempat duduknya dan berteriak dengan penuh semangat.
Bjorn menggelengkan kepalanya sambil memegang gelasnya dengan santai, lalu mengalihkan pandangannya ke arah yang ditunjukkan Peter. Di seberang Tara Avenue, dua wanita terlihat berjalan perlahan: seorang pelayan tinggi yang melangkah seperti bola karet yang memantul, serta seorang wanita mungil berhias renda yang mengikuti di belakangnya dengan ringan.
Wanita itu mengenakan topi bertepi lebar dan memegang payung, membuat wajahnya sulit dikenali. Namun, tidak diragukan lagi bahwa wanita itu adalah Erna Hardy—satu-satunya wanita yang berjalan di pusat kota dengan penampilan seolah baru saja keluar dari lukisan berusia seratus tahun.