Viscount Hardy dan Countess Meyer yang mengikuti di belakang Erna dengan sengaja menjaga jarak, menoleh ke belakang dengan ekspresi penuh kebingungan. Mereka sama sekali tak membayangkan bahwa masih ada tamu yang belum tiba—terlebih lagi, tamu itu adalah Pangeran Björn sendiri.
Mereka pun segera memutuskan untuk mundur, karena jalan berkarpet merah yang membentang dari pintu masuk aula hingga ke panggung tempat raja dan ratu duduk berdampingan, kini sepenuhnya menjadi milik sang pangeran. Seharusnya mereka hanya perlu menepi dan membiarkan situasi berlalu begitu saja—setidaknya itulah rencana mereka. Hingga akhirnya mereka menyadari keberadaan gadis bodoh yang sempat mereka lupakan.
"Oh, astaga! Lihat anak itu!" Brenda Hardy mencengkeram lengan suaminya dengan wajah pucat pasi, tangannya gemetar.
Di tengah karpet merah, Erna berdiri kaku bak patung, terperangkap dalam serangan panik yang melumpuhkan seluruh tubuhnya. Tanpa sadar, ia menjadi penghalang di jalur yang harus dilewati Pangeran Björn.
Kini mereka hanya memiliki dua pilihan—menunggu dalam harapan kosong bahwa gadis bodoh itu akan segera menyadari kesalahannya dan menyingkir atau maju dan menyeretnya mundur. Namun, untuk melakukan yang terakhir, mereka harus melewati Pangeran Björn yang sudah semakin dekat. Kedua pilihan itu sama buruknya—bencana yang tak terhindarkan. Sementara mereka terjebak dalam kebimbangan, jarak antara sang pangeran dan Erna semakin menyempit.
"Semua ini bagian dari rencana Anda, bukan?"
Brenda Hardy menoleh ke Countess Meyer dengan wajah penuh harap, seolah memohon agar wanita itu memang telah mengatur semua ini sejak awal—bahwa skandal ini adalah bagian dari rencana besar yang disengaja. Namun, harapannya sirna begitu melihat ekspresi tenang Countess Meyer yang justru tampak seperti seseorang yang tengah menikmati pertunjukan menarik.
"Kita lihat saja. Lagipula, tak ada yang bisa kita lakukan selain menyaksikan bagaimana semua ini berkembang."
"Apa maksud Anda?"
Brenda bertanya dengan napas gemetar. Ia bisa membayangkan bagaimana namanya akan menjadi bahan tertawaan, tidak hanya di antara para bangsawan di seluruh negeri, tetapi juga di hadapan keluarga kerajaan sendiri. Namun, bahkan dalam menghadapi kemungkinan bencana ini, wanita di sampingnya masih memiliki keberanian untuk menikmati pertunjukan yang tengah berlangsung.
Kecurigaan mulai merayapi benaknya—apakah mungkin Countess Meyer menerima permintaan mereka untuk membimbing Erna hanya agar ia bisa mempermalukan keluarga Hardy di hadapan seluruh kerajaan?
Dan pada saat pikirannya mulai kacau dengan berbagai kemungkinan, Pangeran Björn akhirnya berhenti tepat di hadapan Erna.
Bayangan tinggi dan tegapnya menutupi cahaya di atas, membuat Erna akhirnya sadar dan perlahan mendongak.
***
'Apa-apaan ini?'
Björn sedikit memiringkan kepalanya, menatap tak percaya pada sosok yang berdiri menghalangi jalannya.
Ia sudah melihatnya dari kejauhan—seorang wanita muda yang berdiri terpaku di jalannya seperti batu yang tak bisa digeser. Tentu saja, ia mengira gadis itu akan segera sadar diri dan menyingkir. Kemudian, ia akan melewatinya begitu saja dan wanita itu akan menjadi seperti ratusan wajah lain di pesta ini—tidak penting dan tak pantas diingat.
Sayangnya, harapannya ternyata terlalu tinggi. Björn hanya bisa berharap agar dirinya mampu bertahan dan menahan rasa jengkel yang mulai merayapi benaknya. Pada akhirnya, ia tak punya pilihan lain selain mengakui keberadaan wanita ini, terlepas dari apa pun maksud dan tujuannya.
Ia menurunkan pandangannya sedikit, mengamati sosok mungil di hadapannya. Meski mata wanita itu menatap lurus ke arahnya, sorotnya kosong, seakan tidak benar-benar melihat apa yang terjadi di sekelilingnya. Setiap kali ia berkedip perlahan, mata biru besarnya—begitu cemerlang seperti langit musim panas yang jernih—kian meredup, menjadi semakin buram dan transparan.
Dahi Björn berkerut samar dalam kebingungan. Alih-alih terus memperhatikan ekspresi linglung gadis itu, ia mengalihkan pandangannya ke belakangnya. Di sana, orang tuanya—Raja dan Ratu Lechen—menatapnya dengan ekspresi tak kalah bingung.
'Björn lagi!'
Tatapan orang-orang yang menunggu di depannya seolah berseru demikian, disertai desahan pasrah. Terutama Leonid yang menatapnya dengan pandangan menyalahkan, lebih tajam dari siapa pun. Belum lagi ekspresi Louise yang berwarna-warni—sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Mereka seharusnya sedikit berterima kasih bahwa pesta debutante yang selama ini selalu ia tinggalkan kini menjadi sedikit lebih menarik hanya karena kehadirannya.
Björn mendongak sekali lagi, kini dengan senyum yang sedikit lebih lebar, meskipun ada kilatan jengkel yang samar dalam sorot matanya. Ia mengarahkan pandangannya ke langit-langit yang dihiasi mural megah serta lampu gantung raksasa yang berpendar terang.
Bagaimanapun ia mencoba mengingat, tak satu pun ingatan muncul mengenai kesalahan yang pernah ia lakukan terhadap Erna hingga pantas menerima perlakuan seperti ini. Sejenak, ia bertanya-tanya apakah gadis aneh ini telah salah mengira dirinya sebagai Leonid. Namun, pikiran itu segera ia tepis. Rasanya surga lebih mungkin datang lebih cepat dibandingkan hari di mana pangeran nakal itu tidak menimbulkan masalah yang berhubungan dengan wanita.
Ia berharap wanita ini, yang tak lebih dari sekadar orang asing baginya segera pergi dan menghilang dari pandangannya. Tatapan Björn yang sedari tadi mengembara tanpa arah di udara kembali tertuju padanya. Namun, gadis itu masih berdiri di tempat yang sama, tubuhnya gemetar hebat, seperti seekor anak rusa yang dilemparkan ke tengah hutan berburu.
Björn akhirnya kehilangan kesabaran terhadap drama konyol yang bahkan bukan kehendaknya ini. Ia melangkah maju, berniat mengakhiri situasi aneh ini dan pergi begitu saja.
Sayangnya, gerakannya justru membuat Erna yang sudah gemetar ketakutan menjadi semakin panik. Nafasnya tersengal, seakan tercekik, dan ia hampir saja jatuh terdorong rasa gugup yang luar biasa.
Dengan desahan lelah, Björn sigap menopang tubuhnya yang limbung. Ia memang tak peduli dengan gosip yang akan beredar besok, namun rumor bahwa Grand Duke membuat seorang wanita pingsan di dalam Istana Kerajaan terlalu berlebihan, bahkan untuknya.
"Tarik napas."
Suara Björn terdengar rendah dan tenang, diucapkan nyaris seperti bisikan.
Gadis itu perlahan mendongak, menatapnya dengan ekspresi terkejut—seakan baru menyadari keberadaannya saat ini. Butiran air mata di mata merahnya berkilauan seperti permata, tampak semakin mencolok karena wajah pucatnya yang sehalus porselen.
"Tarik napas."
Seperti seorang anak kecil yang belajar mengucapkan kata asing, Erna dengan lirih mengulang-ulang kata-kata itu melalui bibir mungilnya yang berwarna merah. Pemandangan menggemaskan itu membuat Björn mendengus kecil, hampir seperti tawa yang tertahan.
"Tarik napas, tarik napas."
Ia merendahkan suaranya, berbisik lebih perlahan. Gadis itu mengangguk patuh dan menarik napas dalam-dalam. Tubuhnya masih gemetar, namun setidaknya ia berhasil menahan diri agar tidak jatuh pingsan karena ketakutan.
"Tarik napas."
Ia terus menggumamkan kata-kata itu, mengatur tarikan dan hembusan napasnya dengan teratur. Bahunya yang kecil dan putih bergerak mengikuti ritme pernapasan, tampak begitu rapuh dan tipis hingga terasa hampir tak nyata.
Begitu dirinya kembali stabil, Erna buru-buru mundur dari dekapannya. Wajahnya yang sejak tadi tak menunjukkan ekspresi apa pun, akhirnya mulai menampilkan sesuatu—rasa malu dan kewaspadaan. Reaksi yang seharusnya tidak datang dari seseorang yang baru saja menimbulkan kegemparan di depan orang asing.
"Mohon terima permohonan maaf kami, Yang Mulia."
Seorang wanita paruh baya tiba-tiba mendekat dan segera menopang tubuh Erna yang masih sedikit lemah.
Björn hanya melirik sekilas ke arah orang yang baru datang, sebelum kembali menatap gadis kecil di hadapannya. Ia tengah berusaha sekuat tenaga untuk menutupi bahu dan dadanya yang terbuka karena gaun berkerah rendah yang dikenakannya. Sayangnya, usahanya yang sia-sia itu justru semakin menarik perhatian ke bagian yang ingin ia sembunyikan.
Ia bertingkah layaknya seorang gadis polos dan lugu, tetapi tetap memilih mengenakan gaun yang begitu berani.
Sebuah senyum miring terulas di bibir Björn ketika matanya kembali tertuju pada Erna. Wajahnya yang sebelumnya pucat bak mayat perlahan berubah merah, bagaikan apel matang yang baru dipetik dari pohon. Saat ia dengan hati-hati mengangkat kepalanya dan tatapan mereka bertemu, ia terkejut hingga spontan mundur selangkah, menyerupai seekor hewan kecil yang ketakutan. Namun, ketika ia menyadari gerakannya sendiri, rona merah juga mulai menjalar hingga ke telinganya.
"Hamba mohon maaf sebesar-besarnya, Yang Mulia."
Seorang wanita lain menyela, mendekati mereka dengan langkah anggun. Begitu ia mengangkat kepalanya yang semula tertunduk hormat, Björn segera mengenali siapa wanita itu.
Victoria Meyer. Wanita yang dikenal sebagai mak comblang terbaik di seluruh Kerajaan Lechen.
***
Tanpa diragukan lagi, Erna Hardy telah menjadi bintang dalam pesta malam ini. Tidak ada yang bisa membantah kenyataan tersebut, apa pun yang mereka katakan.
Debut sosial yang terlambat, kecantikan asing yang tak terlupakan, ditambah keterlibatannya yang baru saja terjadi dengan Yang Mulia Pangeran Björn—semua faktor ini menjadikannya sosok yang paling menarik perhatian di seluruh kerajaan.
"Seperti yang sudah diduga dari Countess Meyer. Ia bahkan tak segan menggunakan Grand Duke untuk membuat gadis itu bersinar."
"Jadi semua yang baru saja terjadi adalah rencana yang telah ia susun? Tapi bagaimana mungkin ia tahu bahwa Pangeran Björn akan datang terlambat?"
"Jika itu bukan sesuatu yang sudah direncanakan, lalu bagaimana kejadian tadi bisa dijelaskan? Saya rasa gadis itu juga bukan orang biasa. Awalnya saya mengira dia hanya seorang gadis desa yang naif. Tapi ternyata, dia bisa melakukan hal yang begitu cerdik."
Para wanita yang tengah bergosip itu melirik ke arah Erna yang duduk diam di ujung aula perjamuan, dengan tatapan penuh rasa ingin tahu yang bercampur dengan hinaan.
Seorang wanita cantik yang bahkan berhasil menarik perhatian Björn Dniester.
Berkat insiden yang baru saja terjadi, Erna Hardy langsung memperoleh reputasi yang terkenal—meski tidak sepenuhnya baik—di kalangan bangsawan. Bahkan Pangeran Björn, mantan suami Putri Gladys, secara tidak langsung mengakui kecantikan Lady Hardy. Pada akhirnya, mereka yang sebelumnya mengkritik Viscount Hardy karena serakah dan berusaha menjual putrinya dengan harga tinggi pun tidak bisa menyangkal bahwa Erna Hardy memang memiliki paras yang luar biasa.
"Nona Hardy, bagaimana kabarmu?"
Countess Meyer yang sejak tadi berkeliling di aula perjamuan, akhirnya menghampiri Erna. Gadis itu secara refleks meremas ujung syalnya dan mengangkat kepalanya. Tatapan matanya yang tajam dipenuhi dengan kebencian.
"Kau ternyata memiliki kepribadian yang lebih menarik daripada yang kuduga."
Countess Meyer tertawa ringan lalu duduk di sebelahnya, membuka kipasnya dengan anggun.
***
Para gadis lain sibuk menikmati tarian mereka, sementara Erna tetap duduk sendirian di bangku pojok ruangan. Banyak bangsawan muda yang datang untuk mengajaknya berdansa, tetapi mereka semua ditolak tanpa sedikit pun tatapan mata yang layak.
"Bagaimana jika menari setidaknya untuk satu lagu? Ini adalah pesta debutmu, bagaimanapun juga."
"… Saya tidak bisa. Saya tidak menyukai ini, Nyonya." Suara Erna masih gemetar pelan.
Ia menoleh ke sekeliling dengan gelisah sebelum akhirnya kembali menundukkan kepala. Ia tampak seperti gadis bodoh yang tidak memiliki keterampilan sosial sedikit pun, tetapi ekspresi terganggunya justru semakin memperkuat pesona yang terpancar dari wajah cantiknya.
Countess Meyer melambaikan kipas bulunya dengan santai. Syal lusuh yang dikenakan Erna cukup mengganggunya, tetapi ia memutuskan untuk tidak melakukan apa pun. Jika ia mengambilnya lagi, gadis itu mungkin akan nekat merobek tirai istana hanya untuk menutupi dirinya. Lagipula, Nona Hardy sudah menunjukkan semua yang perlu ditunjukkan, sehingga gaun itu telah sepenuhnya menjalankan fungsinya.
"Angkat kepalamu." Countess Meyer menyentuh dagu Erna dengan ujung kipas lipatnya, mengangkatnya dengan lembut.
"Sangat dasar bagi seorang wanita untuk menatap lawan bicaranya saat berbincang."
"Nyonya, tolong…"
"Kau cukup berhasil saat berada di hadapan Pangeran Björn. Apa kau sudah melupakan hal itu sepenuhnya?"
Berbeda dengan senyum lembutnya, nada suaranya terdengar dingin.
'Pangeran?'
Erna yang sempat merenung sejenak, tanpa sadar memeluk tubuhnya sendiri sambil menggigit bibir. Itu karena wajah seorang pria tertentu kembali muncul dalam benaknya.
Ia kehilangan seluruh penilaiannya beberapa saat lalu, yang membuatnya merasa tercekik secara fisik maupun mental, seolah dunia di sekelilingnya berputar tanpa kendali. Hanya ketika ia akhirnya bisa bernapas, barulah ia menyadari apa yang baru saja dilakukannya—dan lebih parahnya lagi, kepada siapa. Hanya dengan mengingatnya saja, ketakutan yang sempat menguasainya kembali merayap ke dalam dirinya.
"Aku menghormati keputusanmu untuk tidak ikut menari, tetapi setidaknya jagalah sedikit martabat. Ingatlah selalu bahwa ini adalah cara untuk melindungi kehormatan keluarga Baden yang telah membesarkan Nona Hardy. Apakah kau mengerti?"
Kehormatan keluarga Baden.
Countess Meyer yang mengucapkan kata-kata yang menggores hati Erna dengan dalam, segera pergi tanpa mengatakan apa pun lagi.
Kini kembali sendirian, Erna menutup matanya dan mulai menghitung dalam hati untuk menenangkan diri. Baru ketika ia mencapai hitungan ke dua puluh, napasnya mulai stabil—sesuatu yang tak pernah terjadi saat ia masih di Buford. Sesaat, ia merasa seperti orang bodoh yang tak berdaya.
'Bersabarlah sedikit lagi.' Menekan keinginannya untuk melarikan diri, Erna perlahan membuka matanya setelah berhasil menenangkan diri.
Tanpa diduga, pandangannya langsung jatuh pada sosok Grand Duke Schuber, Pangeran dari Lechen, yang sedang mengamati dirinya dari dekat.
Ia tampak bercakap-cakap dengan santai sambil bersandar pada pilar marmer yang berukir indah. Di hadapannya berdiri seorang pria dengan penampilan yang serupa—saudara kembarnya sekaligus Putra Mahkota saat ini, Pangeran Leonid. Keduanya tampak hampir identik dalam hal tinggi badan, postur tubuh, dan wajah. Satu-satunya perbedaan yang mencolok adalah kacamata yang dikenakan oleh sang Putra Mahkota.
Meskipun Buford adalah daerah terpencil yang terasa terisolasi dari dunia luar, pada akhirnya para pangeran kembar itu tetap cukup terkenal di sana. Bahkan Erna yang biasanya acuh tak acuh terhadap rumor semacam itu, mengingat nama mereka. Pangeran Björn yang awalnya dipilih sebagai Putra Mahkota dan Pangeran Leonid, saudara kembarnya yang lebih muda. Namun, kedudukan itu berubah setelah perilaku buruk Pangeran Björn memicu kemarahan serta kebencian di seluruh kerajaan, yang akhirnya membuatnya menyerahkan posisi tersebut kepada adiknya.
Tanpa sadar, Erna menghela napas saat menatapnya. Ia merasakan sensasi déjà vu yang aneh saat melihat Pangeran Björn melangkah pergi dengan punggung tegap.
Meskipun mereka memiliki wajah yang sama, pada akhirnya cara berjalan mereka sangat berbeda.
Berbeda dengan Putra Mahkota yang melangkah tegap dan berwibawa seperti seorang prajurit, Grand Duke berjalan dengan santai, seolah menikmati angin yang mengalir di sekelilingnya. Barulah Erna menyadari bahwa inilah sosok yang pernah ia lihat sebelumnya—di stasiun kereta dan di Tara Avenue.
"Jamur beracun...," gumamnya linglung.
Grand Duke tiba-tiba menoleh ke arahnya. Begitu tatapan mereka bertemu, Erna langsung sadar bahwa ia baru saja kehilangan kesempatan untuk melarikan diri.