"Salam, Putri." Bjorn menyapa tamu tak terduganya dengan tenang sambil mempertahankan kontak mata, bibirnya melengkung sedikit dalam senyuman santai.
Gladys yang sejak tadi gelisah memainkan jemari yang saling terpaut, mengangkat kepalanya dengan ekspresi terkejut. Terpana hingga tak mampu langsung membalas sapaan itu, Bjorn dengan santai mendekatinya dan duduk di seberang meja. Ini adalah pertemuan kembali yang tidak ia sangka akan terjadi secepat ini.
"Sudah lama kita tidak bertemu." Lady Hartford akhirnya mengingat etiketnya dan membalas sapaan itu dengan susah payah. Itu adalah salam yang bodoh dan tak berarti, yang telah ia latih berkali-kali di dalam kereta sepanjang perjalanan ke sini. Namun, grand duke tidak berusaha melanjutkan percakapan dan hanya menatapnya dalam diam.
"Aku minta maaf telah datang tiba-tiba tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, ini adalah kesalahan besar dariku. Meski begitu, kupikir akan lebih baik bertemu di sini secara pribadi daripada di luar..."
Suaranya bergetar begitu hebat hingga ia tak mampu menyelesaikan permintaan maafnya dengan benar, sementara Bjorn tetap diam. Butiran bening mulai menggenang di matanya dan bibir lembutnya ia gigit dengan frustrasi.
Kesenjangan antara Bjorn yang ada dalam ingatannya dan Bjorn yang ada di hadapannya begitu mencolok. Pria yang dulu ia kenal masih memiliki jejak kekanak-kanakan dan ketidaksempurnaan, tetapi kini, bahunya gemetar di bawah aura kedewasaan dan ketegasan yang ia pancarkan. Wajahnya yang kini tampak lebih tajam serta tubuhnya yang ramping namun berotot, yang bahkan tidak bisa disembunyikan oleh pakaiannya, menjadikan Bjorn Dniester saat ini seseorang yang hampir tak dapat ia kenali.
Pada akhirnya, Gladys tak mampu lagi menatapnya dan menundukkan kepala dalam rasa malu. Ia bertanya-tanya mengapa penglihatannya semakin buram, hingga akhirnya air mata tebal jatuh di punggung tangannya yang gemetar.
Namun, Bjorn hanya terus menyaksikan pemandangan seorang wanita cantik yang menangis dengan indah tanpa menunjukkan perubahan ekspresi sedikit pun. Tak lama kemudian, Nyonya Fitz tiba dengan membawa nampan berisi hidangan. Jika orang lain yang melihat adegan ini tanpa mengetahui sejarah antara kedua mantan pasangan itu, mereka pasti akan mengutuk Bjorn sebagai pria tanpa hati. Sayangnya, ini adalah Nyonya Fitz, mantan pengasuh Pangeran Mahkota, yang memilih untuk mengabaikan keberadaan Gladys, menyajikan teh, lalu pergi begitu saja.
Dengan tatapan acuh tak acuh ke arah wanita yang pernah menjadi istrinya, grand duke mengambil cangkir teh di depannya dengan santai. Sementara itu, Gladys masih terus menangis pilu, bahkan setelah gula yang dijatuhkan ke dalam teh telah sepenuhnya larut.
'Kurasa setidaknya ada satu hal yang tidak berubah.' Bjorn menghela napas pelan, nyaris seperti sebuah desahan.
Pemandangan di hadapannya mengingatkannya pada momen lama ketika Gladys menerima kabar perceraian mereka—satu-satunya reaksi yang ia tunjukkan saat itu adalah menangis, sama seperti sekarang.
"Masih reaksi yang membosankan."
Bjorn perlahan menyesap teh yang sudah mendingin, pandangannya beralih ke luar jendela. Seiring dengan aroma teh yang kuat membangunkan pikirannya yang lesu, kesabarannya pun mulai terkikis sedikit demi sedikit.
"Aku ingat kita sudah mengakhiri segalanya dengan bersih, Putri." Matanya yang memantulkan kilauan sungai dan hutan di balik jendela, perlahan menyipit.
"Aku sudah memberikan apa yang seharusnya kuberikan…" Ia berbalik menatapnya setelah meletakkan cangkir teh yang kini kosong.
"…dan aku juga telah menerima apa yang seharusnya kuterima…" Wajahnya yang semula ramah berubah dalam sekejap, senyuman tipis di bibirnya akhirnya menghilang sepenuhnya.
"…Bukankah begitu, Gladys?"
"Bjorn, aku…."
"Langsung saja katakan apa yang kau inginkan." Ia memotongnya dengan suara yang dingin, tanpa sedikit pun emosi.
"Kurasa sudah terlalu lama sampai kau lupa bahwa kesabaranku hampir tidak pernah ada?"
"A-Aku minta maaf… Aku masih ingat…" Gladys yang berusaha menghentikan isak tangisnya, menjawab dengan susah payah.
"Karena aku… Kita… Untuk semua yang terjadi… Aku sangat menyesal… Aku minta maaf…" Air mata yang menggenang di matanya akhirnya jatuh ketika ia membuka matanya yang sedari tadi tertutup rapat. Wajah mungilnya yang kini basah oleh air mata tampak berkilauan di bawah cahaya matahari pagi, layaknya mawar putih yang baru mekar untuk pertama kalinya.
Bjorn menyandarkan tubuhnya ke kursi dan hanya menatapnya. Wanita di hadapannya masih secantik dulu. Namun, kenyataan bahwa pesona itu tetap gagal membangkitkan perasaan apa pun dalam dirinya, sama seperti sebelumnya, tak berubah sedikit pun.
"Lalu?" Ia bertanya, dengan senyuman kembali menghiasi bibirnya.
"Tak mungkin kau datang ke Lechen hanya untuk mengatakan hal semacam itu. Apakah Raja Lars akhirnya memberimu perintah? Sekarang setelah semua masalah selesai, beliau berharap kau bisa kembali akur dengan mantan suamimu?"
Gladys yang sempat membuka sedikit bibirnya, menundukkan pandangannya dengan malu. Kedua tangannya yang terjalin erat, seolah sedang berdoa dengan sungguh-sungguh, kini tampak sepucat kertas. Jawaban yang disampaikannya dalam diam justru membuat senyuman Bjorn semakin dalam.
"Putri yang begitu patuh pada ayahnya. Aku melihat kau masih menjadi anak yang baik."
Putri yang polos dan berhati lembut, yang tak tahu sedikit pun tentang kejahatan. Jika manusia terbagi dalam dua sisi, baik dan buruk, maka Gladys Hartford tentu akan berada di sisi yang baik. Bjorn bisa dengan mudah mengakui itu, meskipun ia sama sekali tak menganggapnya sebagai sesuatu yang berharga.
"Bukan hanya karena itu!" Gladys buru-buru mengeluarkan saputangan dan menghapus air matanya, lalu mengangkat kepalanya sekali lagi.
"Aku benar-benar ingin meminta maaf, jadi aku mengumpulkan semua keberanianku untuk datang ke sini. Karena selama ini aku merasa bersalah padamu… Aku… Untuk apa yang telah kulakukan…"
"Kau pasti salah paham tentang sesuatu, Putri." Bjorn perlahan menundukkan pandangannya, merasakan emosi yang menyesakkan dan asing untuk pertama kalinya.
"Kesepakatan yang kita buat cukup adil. Jika dihitung dalam hal untung dan rugi, mungkin justru kita yang lebih diuntungkan."
"Tapi kau…."
"Aku hampir menangis haru karena mantan istriku sangat mengkhawatirkanku." Ia bangkit berdiri sambil menanggapi dengan sarkasme.
Namun, Gladys sendiri sebenarnya tidak pernah menyimpan perasaan buruk terhadap perceraian mereka. Hubungan mereka sejak awal tidak pernah memiliki perasaan murni seperti cinta, dan setelah empat tahun berlalu, segala bentuk keterikatan pun telah lenyap di antara mereka.
Pada akhirnya, perasaan kotor yang mengganggu dadanya ini, jika harus ia definisikan, tidak lebih dari sekadar rasa jengkel.
Tatapan Bjorn yang semula tertuju pada permukaan meja yang halus, perlahan beralih ke cangkir teh di depannya. Dengan ujung jarinya yang panjang, ia mendorong cangkir itu hingga ke tepi. Seketika, suara kaca yang pecah mengguncang keheningan yang mencekik di dalam ruang kerja.
Tanpa rasa penyesalan sedikit pun, ia membunyikan bel dengan santai, meskipun Gladys kini hanya bisa terdiam tanpa kata. Tak lama kemudian, seorang pelayan wanita paruh baya masuk ke dalam ruangan.
Putri Hartford kembali terisak ketika tatapan Grand Duke melewati pecahan cangkir teh yang berserakan di lantai dan akhirnya berhenti pada wajah sang pelayan yang tampak bingung.
"Bersihkan." Perintahnya dengan senyum tipis sebelum melangkah keluar dari ruang kerja tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.
Begitu memasuki kamar tidurnya setelah menghadapi pertemuan tak terduga yang cukup menguras mental, rasa lelah yang luar biasa langsung menerpanya.
Alih-alih menjatuhkan diri di tempat tidur seperti biasanya, Bjorn justru membuka jendela yang menghadap ke sungai. Sorak-sorai dan teriakan kelompok orang yang telah berlatih mendayung sejak pagi masuk ke dalam ruangan yang sunyi, bersama dengan aroma lembab samar yang dibawa angin.
Sambil mendesah kecil, ia mengambil cerutu dan menyalakannya, lalu bersandar di ambang jendela. Gelombang kecil di sungai yang mengalir berkilauan di bawah sinar matahari pagi, sementara asap yang keluar dengan malas dari bibirnya segera terbawa oleh angin. Cahaya musim panas yang cerah menusuk matanya yang mulai berdenyut karena kelelahan.
Hari ini sungguh hari yang membosankan dan menyebalkan.
***
"Sepertinya Count Lehman adalah kandidat suami paling menonjol untuk keluarga Hardy saat ini?"
Nama Erna Hardy kini menjadi topik pembicaraan yang rutin muncul dalam kelompok mereka saat bermain kartu. Bjorn melirik Peter yang duduk di sebelahnya, sambil memeriksa kartu di tangannya.
"Count Lehman? Orang tua itu masih hidup?" Tawa pecah di seluruh ruangan ketika pertanyaan absurd itu diajukan dengan keseriusan penuh.
Count Lehman, seorang pria tua yang hampir menginjak usia tujuh puluh tahun, berniat menikahi seorang gadis muda yang bahkan belum genap dua puluh tahun.
Bjorn sedikit mengangkat alisnya dan menyandarkan tubuhnya ke belakang, menyilangkan kaki panjangnya dengan santai. Putaran permainan kali ini berjalan cukup baik untuknya dan selama tidak ada kejutan tak terduga, kemenangan sudah hampir pasti berada di tangannya.
"Aku dengar Viscount Hardy sering bertemu dengan Count Lehman. Beberapa hari lalu, mereka bahkan menonton pertunjukan opera bersama. Tentu saja, Erna Hardy ikut serta."
"Heh, selama bayaran yang diberikan cukup tinggi, sepertinya tidak ada hal lain yang perlu dipikirkan."
"Jadi pernikahan mereka akan seperti itu, ya? Jika lelaki tua itu tiba-tiba mati lebih awal, Viscount Hardy masih bisa menjual putrinya sekali lagi kepada pria kaya lainnya. Tipe pernikahan seperti ini pasti sangat menarik baginya."
Suasana permainan semakin memanas, dengan ejekan dan rasa kasihan terhadap Nona Hardy yang terus-menerus diperbincangkan. Grand Duke memilih untuk tetap diam, menunggu saat yang tepat untuk melancarkan serangan terakhirnya. Permainan ini cukup menarik baginya untuk dimainkan hingga akhir, terutama setelah taruhan dinaikkan lagi dan lagi.
"Ah! Bjorn, kudengar Putri Gladys bersusah payah mengunjungi Kastil Schuber hanya untuk bertemu mantan suaminya? Apakah musim panas tahun ini akan menjadi yang terpanas dalam sejarah Lechen?"
Peter menyeringai licik sambil mengarahkan tatapannya pada Grand Duke. Namun, sosok yang menjadi pusat pembicaraan kontroversial itu hanya menyalakan rokoknya tanpa sedikit pun menghiraukan tatapan di sekelilingnya.
'Orang-orang benar-benar menjalani hidup dengan cara yang membosankan.'
Menghabiskan sebagian besar waktu untuk membicarakan kehidupan orang lain—itulah hobi paling umum di kalangan kaum bangsawan. Tampaknya topik terhangat musim panas kali ini adalah bisnis pernikahan keluarga Hardy dan reuni mantan Putra Mahkota dengan mantan istrinya.
"Ibuku bilang Putri Gladys datang ke Lechen dengan niat mulia untuk memaafkan mantan suaminya dan kembali bersamanya. Sayang sekali, meskipun Putri yang baik hati itu menawarkan kemurahan hati yang begitu besar, ia tetap saja diabaikan seperti bukan apa-apa. Tentu saja, ini membuat banyak bangsawan mengutuk pangeran kita lebih keras lagi."
"Oh, aku juga mendengar hal itu. Jika seorang putri secantik itu datang menemuiku, mungkin aku sudah kehilangan akal. Pangeran Bjorn benar-benar hidup di dunia yang tak bisa kami bayangkan."
"Omong-omong, jika seseorang menikah dengan wanita yang sama dua kali, apakah mereka harus mengadakan pernikahan lagi? Bukankah itu akan memalukan bagi pengantin pria dan wanita untuk mengundang tamu ke pernikahan yang sama dua kali?"
Peter bertanya dengan mata berbinar, sementara jemarinya yang gelisah terus memainkan kartu yang tersisa. Permainan tampaknya akhirnya mencapai akhir, tetapi jawaban Bjorn hanyalah hembusan panjang asap rokok yang mengarah langsung ke wajah Peter.
Peter menjerit kesal dan mengutuk tindakan tidak tahu malu sang Grand Duke, namun pada akhirnya ia menyerah dan mulai mengalihkan perhatiannya ke topik lain. Pembicaraan di meja yang sebelumnya sibuk menebak pemenang pacuan kuda terbaru dan berbagi informasi tentang investasi di perusahaan pelayaran baru, kembali lagi ke topik perjodohan keluarga Hardy.
"Tidak peduli seberapa butuhnya kau akan uang, bukankah agak keterlaluan menjual putrimu kepada seorang lelaki tua yang hampir sekarat?"
"Itu taruhan yang layak dicoba, bukan? Keluarga Lehman hanya memiliki seorang putri dan seorang anak laki-laki bungsu. Jika terjadi perselisihan antara ayah dan anak-anaknya, maka seluruh kekayaan itu bisa jatuh ke tangan Nona Hardy."
"Anak laki-laki? Orang tua itu masih sanggup untuk membuat anak lagi?"
"Aku rasa dia masih cukup percaya diri dalam hal itu, makanya dia berani membeli pengantin muda dengan harga tinggi."
Leonard mengangkat bahunya dan meletakkan kartunya di atas meja. Putaran kali ini cukup panjang, tapi pada akhirnya tetap menjadi kemenangan yang mudah bagi Bjorn.
"Kasihan sekali Nona Hardy. Dia harus menjadi pengantin lelaki tua hanya karena tak bisa menemukan pria yang seusia dengannya," Peter berkomentar dengan nada yang terdengar tulus prihatin.
"Omong-omong, Nona Hardy secara aneh mengingatkanku pada Putri Gladys. Mereka memang berbeda, tapi suasana yang mereka bawa terasa mirip, bukan?"
"Mereka berdua memiliki kecantikan yang lembut, seperti anak rusa yang polos."
Senyuman miring menghiasi sudut bibir Bjorn saat ia melirik sekeliling meja, melihat para bajingan itu mengangguk setuju dengan pendapat tersebut.
Anak rusa macam itu masih bisa menggigit keras jika mereka menginginkannya. Sepertinya orang-orang bodoh ini harus merasakannya sendiri agar mereka sadar.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita melakukan sesuatu yang menarik?"
Saat Bjorn hendak memilih kartu terakhirnya, Leonard tiba-tiba berseru dengan nada aneh.
"Biarkan Nona Hardy yang malang dan menyedihkan itu menikmati masa pendekatan dengan pria muda sebelum dia jatuh ke dalam jurang keputusasaan akibat pernikahan tanpa cinta dengan lelaki tua. Bukankah itu akan menjadi kenangan indah baginya?"
"Bukankah kau sudah melihat sendiri bagaimana dia langsung lari begitu seseorang menyapanya? Aku sudah mencoba mengejarnya dengan mengirim bunga dan kartu selama berhari-hari, tapi tak ada satu pun balasan untuk perasaanku yang tulus."
"Kalau begitu, mari kita buat taruhan."
Mata Leonard berbinar saat menatap tumpukan chip poker di meja. Bjorn yang tengah menghitung langkah terakhirnya untuk mengakhiri permainan, mengangkat kepalanya dengan alis yang berkerut.
"Siapa pun yang bisa memenangkan hati Nona Hardy lebih dulu adalah pemenangnya. Dengan kata lain, ini adalah taruhan untuk melihat siapa yang akan mendapatkan perhatiannya lebih dulu. Bagaimana menurut kalian?"