Wanita yang Tak Berdaya

Mata Leonard saat ini terlalu jernih untuk mengabaikan saran konyolnya sebagai sekadar omongan orang mabuk. Pada akhirnya, tidak butuh waktu lama bagi keheningan yang menyelimuti meja kartu setelah pernyataan itu berubah menjadi sorak-sorai antusias.

"Bukankah ini akan menyenangkan? Bagaimana kalau kita mempertaruhkan semua chip yang kita miliki di sini?"

"Bagus! Aku ikut, aku ikut!" seru Peter dengan semangat, mendorong tumpukan chip pokernya ke depan.

Bjorn menghela napas pelan dan dengan malas bersandar di kursinya. Seiring bertambahnya orang bodoh yang tertarik untuk ikut serta dalam taruhan tak berguna itu, permainan yang baru saja mereka mainkan pun terbengkalai.

Leonard, brengsek. Kau pikir aku akan kalah dalam taruhan baru ini? Lihat saja bagaimana aku akan membalikkan papan permainanmu sepenuhnya.

Leonard tidak sedikit pun gentar meskipun mendapat tatapan kesal dari Bjorn. Sementara itu, chip poker dari berbagai arah mulai memenuhi bagian tengah meja yang berantakan. Para peserta kini menyadari bahwa taruhannya jauh lebih besar daripada yang mereka perkirakan, dan mereka semua benar-benar menginginkan kemenangan. Namun, hanya ada satu orang yang belum memasang taruhan.

"Bjorn, kau ikut juga, kan? Ayo." Peter menyelinap ke sisi Bjorn sambil mencoba membujuknya.

Semua orang di ruangan itu tahu bahwa Bjorn Dniester tidak akan pernah ikut dalam taruhan semacam ini. Oleh karena itu, mereka harus menawarkan taruhan yang lebih besar karena kesempatan untuk mengalahkan sang pangeran yang terkenal dengan keberuntungannya dalam berjudi, sangatlah langka.

"Ikutlah, ya?" Peter bertanya lagi dengan gugup, mendorong chip poker yang menumpuk di depan Bjorn.

Meskipun merasa terganggu dengan permintaan yang tiada henti, Bjorn pada akhirnya tidak menolak provokasi mereka. Sikap meninggalkan permainan di tengah jalan memang mengesalkan, tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan jika umpan yang mereka tawarkan begitu menggiurkan.

Dengan penuh semangat, Peter mengumpulkan semua chip yang tersisa ke tengah meja. Taruhan untuk memenangkan perhatian Erna Hardy kini cukup besar untuk membeli sebuah town house di pusat kota.

"Mari kita mulai permainan ini di pameran seni hari ini. Semua orang akan hadir, jadi ini adil, bukan?"

Leonard yang menjadi dalang taruhan konyol ini, dengan khidmat menyatakan keputusan tersebut.

Setelah menenggak sisa minumannya, Bjorn mengecek arloji sakunya. Hari sudah hampir pagi dan upacara pembukaan pameran Akademi Seni Kerajaan yang harus ia hadiri meskipun ia membencinya, semakin mendekat lebih cepat dari yang ia perkirakan.

***

Matahari pagi mulai menyinari dunia, menandai dimulainya hari baru. Namun, Erna sudah terjaga jauh sebelum langit mulai terang. Sejak dini hari, dia sibuk membuat bunga bakung lembah dari kertas. Bunga-bunga buatan itu lengkap dengan batang dan daunnya, terlihat begitu nyata hingga bisa dengan mudah disangka sebagai bunga segar yang baru dipetik.

Dengan bangga, dia menatap bunga-bunga yang tampak bermekaran berkat sentuhan tangannya, seolah-olah sihir telah menghidupkannya. Semakin halus dan rumit kelopak bunga, semakin tinggi nilainya; karena alasan inilah, bunga bakung lembah tiruan menjadi salah satu yang paling mahal. Itu adalah bunga favoritnya sekaligus bunga yang paling mahir ia buat.

Saat pertama kali mulai membuat dan menjual bunga buatan, dia harus terus-menerus membuat bunga bakung lembah karena begitu banyaknya permintaan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, pesanan bunga ini semakin berkurang. Meski begitu, bunga bakung lembah tetap menjadi bunga yang paling ia sukai.

Dia berdiri ketika sinar matahari pagi perlahan mencapai mejanya. Kehidupan di kota, dibandingkan dengan pedesaan, dimulai jauh lebih siang dari yang biasa ia jalani. Kebiasaan ini sulit dipahami oleh Erna, karena ia terbiasa bangun sebelum ayam berkokok. Akibatnya, dia tetap terbangun lebih awal seperti biasa. Tak ingin membuang waktu dengan sia-sia, dia pun memutuskan untuk membuat bunga buatan sejak fajar menyingsing. Kini, ia telah membuat cukup banyak bunga untuk memenuhi sebuah keranjang.

'Akan sangat bagus jika aku bisa menemukan tempat untuk menjual ini.' Tatapannya penuh harapan saat melihat bunga-bunga yang ia buat dengan susah payah.

Di Buford, bunga buatan dijual melalui Tuan Alle, pemilik toko serba ada. Ia pertama kali mengungkapkan ketertarikannya kepada Nyonya Greeve, yang kemudian menyampaikan kabar itu kepada Erna. Awalnya, bunga-bunga itu hanya dijual dalam jumlah kecil di toko-toko pedesaan, tetapi seiring meningkatnya keterampilan Erna, Tuan Alle akhirnya mempekerjakan seseorang untuk menjual bunga buatannya ke berbagai toko di kota dengan harga lebih tinggi.

Toko-toko di kota jauh lebih besar dibandingkan toko-toko kecil di desa dan memiliki lebih banyak pelanggan. Erna bahkan tak bisa membayangkan seberapa besar toko-toko itu, yang konon menyediakan hampir segala kebutuhan. Meski demikian, hal itu tidak membuatnya cemas. Jika bunga buatannya bisa dijual di sana, ia bisa mendapatkan harga dua kali lipat dari harga yang ia jual di toko Ale Cine.

Penghasilan dari menjual bunga buatan telah berkontribusi besar terhadap ekonomi keluarga Baden. Kotak teh dan tempat gula tak lagi kosong, kain-kain tersedia dengan cukup, dan mereka tidak perlu lagi mengenakan pakaian lama yang sudah usang. Berkat hasil kerja kerasnya, toko-toko di kota tampak lebih megah dan berharga di matanya dibandingkan Istana Kerajaan. Namun, pandangan itu berubah ketika akhirnya ia memiliki kesempatan untuk mengunjungi Istana secara langsung.

'Apakah ada cara bagiku untuk menjual bunga buatan langsung ke toko-toko?' Erna menatap bunga-bunga yang telah selesai dibuatnya sambil berpikir dengan serius.

Meskipun ia berhasil melindungi rumah pedesaan dengan membuat kesepakatan dengan ayahnya, biaya hidup keluarga Baden akan kembali mengalami kesulitan karena mereka tak lagi memiliki pemasukan seperti sebelumnya. Nyonya Greeve yang penglihatannya sudah memburuk, tidak bisa lagi membuat bunga buatan, sehingga tugas itu sepenuhnya jatuh ke tangan Erna selama bertahun-tahun.

"Aku bisa melakukan apa pun di sini, jadi yang perlu kulakukan hanyalah menemukan toko yang mau menjual bunga-bunga ini. Jika terlalu sulit, bagaimana jika kukirim saja ke Buford? Tapi kalau ongkos kirimnya terlalu mahal, mungkin aku bisa mengantarnya sendiri ke sana dan sekalian mengunjungi semua orang setidaknya sekali setiap musim."

Saat Erna mencapai kesimpulan itu, suara ketukan ringan terdengar di pintu. Lisa, pelayannya, masuk dengan membawa sebuah kotak besar di tangannya. Di dalamnya terdapat gaun dan topi baru untuknya.

"Gaun ini cukup bagus, bukan, Nona?"

Lisa tersenyum sambil mengangkat gaun biru dari dalam kotak, seolah sedang membujuk seorang anak kecil. Erna tersenyum kecil dan mengangguk setuju. Meskipun musim panas sudah mencapai puncaknya, gaun ini masih terasa cukup tertutup dibandingkan dengan yang terakhir kali ia pakai pada malam itu. Gaun ini tidak memperlihatkan kulit di bawah tulang selangkanya, membuatnya terasa lebih pantas dikenakan.

"Kenapa kau membawakan pakaian baru?"

"Nona tidak tahu? Anda harus menghadiri upacara pembukaan Pameran Seni hari ini."

Erna dan Lisa saling menatap dengan mata membelalak, terkejut karena alasan yang berbeda.

"Pameran seni? Aku?"

"Ya! Ini adalah pameran terkenal yang diadakan setiap musim panas di Akademi Seni Kerajaan." Lisa tampak begitu gembira, seolah ini adalah urusannya sendiri. Dia kembali mengibaskan gaun di tangannya, memperlihatkannya lebih jelas kepada Erna.

'Akademi Seni Kerajaan.'

Senyum perlahan muncul di wajah Erna, yang kini tengah mengulang-ulang nama itu dalam hatinya dengan penuh semangat. Nama itu membawa nostalgia karena mengingatkannya pada satu-satunya sahabatnya, Pavel, yang memiliki keterkaitan dengan tempat tersebut.

"Mungkin aku bisa bertemu dengan Pavel."

Dengan harapan itu, Erna memulai harinya dengan lebih bersemangat dari biasanya. Setelah sarapan, dia mengenakan gaunnya dan diantar oleh Viscount ke dalam kereta kuda. Bahkan pemandangan kota yang masih asing baginya kini tidak lagi terasa mengintimidasi seperti sebelumnya.

"Semoga kau menjalani hari dengan baik. Kecuali kalau kau memang punya hobi aneh yang menikmati rasa dipermalukan."

Saat akademi seni semakin dekat, Viscount Hardy, yang sejak tadi diam saja, akhirnya angkat bicara. Suaranya yang sama sekali tidak menyembunyikan ketidaksenangannya, sedingin es.

"Ya, Viscount. Saya akan melakukan yang terbaik."

Erna menjawab dengan tenang, memberikan jawaban sebaik mungkin.

Dia sadar bahwa reputasinya tidak begitu baik. Minat yang mendadak tinggi terhadap dirinya belakangan ini telah menimbulkan banyak kesalahpahaman dan spekulasi, yang akhirnya menjadi "kebenaran" yang diterima oleh semua orang. Semakin ia mencoba menyingkirkan stigma aneh yang melekat padanya, semakin ia merasa seperti tenggelam lebih dalam.

Jadi, hari ini, dia hanya perlu bertahan sampai akhir.

Saat Erna menghipnotis dirinya sendiri dengan kata-kata penyemangat, kereta pun berhenti. Bangunan indah dari marmer putih berkilauan di bawah sinar matahari, menyilaukan matanya.

***

"Nona Hardy, kau benar-benar gadis yang tidak bisa diandalkan."

Keluhan dalam suara Victoria Meyer memecah keheningan di taman yang tenang. Di sisi lain, Erna duduk di bangku seakan akan roboh kapan saja, napasnya memburu dengan keras. Melihatnya terengah-engah hanya karena berjalan sebentar terasa begitu menyedihkan dan menyedihkan.

"Bukankah sudah waktunya kau terbiasa? Sampai kapan kau akan terus memperlihatkan sisi menyedihkan seperti ini?"

"Maaf… Saya akan berusaha lebih baik, Countess."

Erna dengan susah payah membuka bibirnya dan menjawab terbata-bata. Iris biru jernihnya semakin mencolok karena matanya yang memerah dan berair. Biasanya, pemandangan seperti ini akan menimbulkan rasa tidak suka, tetapi wajahnya yang begitu cantik malah membuat banyak bangsawan tetap menaruh perhatian padanya. Hal itu membuat Victoria semakin kesal—bagaimana mungkin citra yang tidak menguntungkan tetap bisa dianggap menawan?

Nona Hardy bisa saja memanfaatkan penampilannya dengan hanya sedikit senyuman dan beberapa rayuan manis. Dengan begitu, berbagai macam pria akan berada di genggamannya. Namun, melihat Erna yang bahkan tidak bisa melakukan hal semudah itu membuat dada Countess Meyer terasa terbakar oleh penyesalan.

Dia telah melihat banyak gadis muda yang kesulitan beradaptasi dalam pergaulan, tetapi Erna Hardy adalah yang pertama yang begitu membenci situasi sosial hingga mengalami kesulitan bernapas saat berbicara dengan orang asing. Countess Meyer sempat berharap bahwa hari ini Erna bisa menahan diri dengan cukup baik, tetapi gejalanya kembali muncul begitu putra Count Bergen berbicara padanya. Jika saja ia tidak cepat-cepat menopang gadis ini dan membawanya keluar ke taman, Erna pasti sudah menjadi tontonan semua orang.

"Saya tidak melakukannya dengan sengaja. Countess, saya benar-benar… …"

"Aku tahu."

Victoria memotong ucapan Erna sembari mengusap dahinya yang terasa berdenyut.

Erna hampir tersandung rok panjangnya saat berlari, tetapi dia tidak peduli. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena gugup seperti sebelumnya, tetapi karena perasaan yang sudah lama terkubur kini kembali muncul ke permukaan.

"Pavel!"

Dia memanggil sekali lagi, lebih keras kali ini. Namun, pria itu tetap berjalan tanpa menoleh ke belakang.

Ketika akhirnya dia mencapai ujung jalan setapak, sosok itu menghilang di balik semak-semak mawar yang rimbun. Erna berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah maju dengan hati-hati.

Apakah itu benar-benar Pavel? Atau hanya bayangan yang diciptakan oleh keinginannya?

Dengan tangan gemetar, dia menyibak cabang mawar yang menghalangi jalannya dan melangkah ke dalam sudut tersembunyi taman. Di sana, di bawah naungan pepohonan, seorang pria berdiri membelakanginya, tampaknya sedang memperhatikan lukisan di tangannya.

Rambut merahnya berkilau di bawah cahaya matahari yang menerobos dedaunan. Itu benar-benar dia.

"Pavel…?"

Kali ini, suaranya lebih pelan, hampir seperti bisikan yang takut mengganggu kedamaian yang ada.

Pria itu perlahan menoleh dan mata biru keemasan yang hangat bertemu dengan tatapan Erna.

Saat itu, waktu seolah berhenti.