Serigala Putih

Suara seorang wanita yang memanggil nama yang asing membangunkan Bjorn dari tidurnya. Suara itu, yang semakin jelas seiring berjalannya waktu, tiba-tiba menghilang begitu ia membuka matanya. Yang tersisa hanyalah gemerisik lembut dedaunan dari pohon rimbun di atas kepalanya dan suara gemericik air dari air mancur kecil di dekatnya.

Setelah menghela napas pelan, ia menutup matanya dengan acuh tak acuh sebelum tiba-tiba suara wanita yang tidak dikenalnya itu terdengar lagi.

"Pavel!"

Dengan suara yang jernih bak kicauan burung kecil, wanita itu memanggil nama seseorang.

'Pavel?'

Pola bercak kecil yang tercipta dari sinar matahari yang menembus dedaunan berjatuhan di wajah Bjorn saat ia mengucapkan nama asing itu dalam hati dengan mata terpejam. Sementara itu, suara wanita yang tak dikenal itu semakin mendekat. Mendengar suaranya, ia bisa menebak bahwa wanita itu adalah seseorang yang lembut dan ceria.

Dengan enggan, Bjorn membuka matanya lagi, seolah menyerah pada nasibnya. Setelah menghabiskan malam bermain kartu, ia tidak bisa beristirahat karena harus menghadiri acara membosankan ini segera setelahnya. Ia berencana untuk menyelinap keluar dari ruangan dan tidur sebentar di tempat tersembunyi, tetapi rencananya hancur karena tampaknya ia telah memilih tempat yang salah.

Sambil menekan sudut matanya yang berdenyut dengan kuat, pelaku utama yang menghancurkan rencananya akhirnya muncul. Seorang wanita mungil dengan gaun biru.

Erna Hardy.

Nama yang terkutuk itu tiba-tiba terlintas dalam pikirannya. Pada saat yang sama, wanita itu, yang tengah melihat sekeliling, tiba-tiba jatuh dari bangku. Seolah belum menyadari keberadaannya yang terbaring di bangku seberang, Erna menundukkan kepala dengan wajah murung. Sepatu kecilnya yang mengintip dari balik gaunnya sekecil sepatu boneka.

Bjorn yang masih berbaring di bangku memperhatikannya dengan seksama. Untuk waktu yang lama, wanita itu terengah-engah, tampak telah berlari tergesa-gesa entah ke mana. Tatapannya menyusuri pita yang menghiasi bagian depan gaunnya, lalu ke rambut panjang cokelatnya yang berayun seiring langkahnya, hingga akhirnya berhenti pada bibir lembutnya yang sedikit terbuka. Saat itu juga, wanita itu tiba-tiba mengangkat kepalanya.

Erna yang menatap Bjorn dengan mata melebar karena terkejut, langsung berdiri tegak dengan teriakan tertahan. Grand Duke menyaksikan pemandangan menarik itu dengan penuh minat. Nona Hardy bertingkah seolah baru saja bertemu seorang penjahat, padahal dia sendiri yang tanpa sengaja menerobos tempat persembunyian orang lain.

"… Maaf, saya minta maaf."

Ia meminta maaf dengan suara yang hampir tak terdengar. Hiasan bulu di topinya yang berkibar karena gerakannya menundukkan kepala, membuat Bjorn tanpa sadar tersenyum.

"Saya minta maaf. Saya benar-benar minta maaf, Pangeran."

Erna yang terus-menerus meminta maaf sambil membungkuk, buru-buru berbalik dan kembali berlari menjauh darinya. Bjorn diam-diam menatap punggungnya yang semakin menjauh dengan senyuman, lalu akhirnya memutuskan untuk duduk tegak.

Ia merasa Nona Hardy yang selalu kabur setiap kali melihatnya cukup menghibur. Namun, di saat yang sama ia juga merasa kesal.

'Kenapa dia selalu lari setiap kali melihatku?'

'Apakah aku pernah melakukan sesuatu padanya?'

'Sejujurnya, akulah yang seharusnya kabur, mengingat semua kesulitan yang harus kutanggung karena dia.'

Dengan geraman pelan, Bjorn menatap batang pohon di atasnya dengan kesal, lalu akhirnya memutuskan untuk bangkit dari bangku. Sambil mengenakan kembali jas yang ia lepas dan merapikan dasinya yang longgar, ia menyadari suara tawa yang berasal dari dalam gedung masih terdengar.

'Apakah dia datang ke sudut taman terpencil ini untuk menikmati pertemuan rahasia dengan kekasihnya?'

Bjorn kembali mengencangkan mansetnya sambil mengingat nama yang tadi dipanggil oleh Nona Hardy. Mereka mungkin telah berjanji untuk bertemu di taman ini. Ia tiba-tiba teringat orang-orang bodoh yang beberapa hari lalu percaya bahwa Lady Hardy adalah seekor anak rusa yang polos, dan ia merasa sedikit kasihan pada pria beruntung yang menjadi lawan temunya.

Sambil melangkah keluar dari naungan pohon, Bjorn memberikan belasungkawa dalam hati kepada para pria malang itu. Saat itulah ia melihat sesuatu di tanah, tepat di tempat Nona Hardy berdiri tadi.

Menyipitkan matanya, ia perlahan mendekati benda tak dikenal itu dan mengambilnya. Sebuah sapu tangan renda berwarna putih dengan sulaman nama Erna Hardy.

***

Gladys Hartford tiba di penghujung upacara pembukaan, tepat ketika pidato selamat dari Direktur Akademi Seni Kerajaanyang ditujukan kepada para seniman baru yang memenangkan penghargaan dalam pameran seni ini, telah berakhir.

Mata para tamuyang sebelumnya bersiap untuk bertepuk tangan setelah pidato, kini semuanya tertuju pada Gladys. Keluarga Kerajaan dan Putra Mahkota yang duduk di posisi utama segera menyadari kehadiran tamu yang terlambat itu. Lady Hartford memasuki ruangan dengan diam-diam, menatap sekeliling dengan sedikit rasa canggung. Meski sebagian besar bangsawan mulai bertepuk tangan untuk menghormati Direktur Akademi Seni, tatapan mereka tetap tertuju pada sang Putri.

Meskipun menjadi pusat perhatian, Gladys tetap tenang, hanya sesekali mengedipkan matanya. Cara berjalannya yang lambat namun anggun disertai senyum elegan, jelas menunjukkan ketenangannya. Postur ini telah menjadi kebiasaan yang tertanam dalam dirinya seumur hidup sebagai seorang putri, sehingga bahkan tanpa usaha tubuhnya secara alami bergerak dengan keanggunan.

Para tamu mengamati Putri Gladys yang membungkuk sopan kepada Raja Phillip dengan perasaan campuran antara kekaguman dan penyesalan. Dengan pidato yang telah selesai, semua orang kini bebas menjelajahi pameran, tetapi tak satu pun yang beranjak pergi karena pemandangan menarik yang tengah berlangsung.

"Kecantikan Putri Gladys masih begitu memukau, belum lagi sosoknya yang begitu anggun. Kudengar dia bahkan mengunjungi kastil Grand Duke. Tidakkah kau akan membenci suami yang membuatmu melakukan semua itu?"

"Meski begitu, mereka pernah menjadi pasangan suami-istri dan bahkan memiliki seorang anak. Tidak mudah untuk benar-benar memutus hubungan mereka begitu saja."

"Tanpa kejadian tragis itu, Putri Gladys pasti sudah menjadi ratu yang sehebat permaisuri. Semakin kupikirkan, semakin aku tidak mengerti Grand Duke. Mengapa dia melakukan sesuatu yang begitu keji dengan istri seperti itu? Bahkan haknya atas takhta akhirnya dicabut."

Bisikan rendah cepat menyebar di antara para tamu, suara mereka berpadu dengan alunan musik yang mulai dimainkan oleh orkestra.

Di sudut ruangan, Erna berdiri diam di samping pohon palem dalam pot, tatapannya tertuju ke arah yang sama dengan para tamu lainnya. Putri yang sebelumnya hanya ia kenal dari gambar di koran dan majalah yang diberikan Lisa, ternyata jauh lebih anggun dan cantik daripada yang ia bayangkan.

'Bagaimana mungkin pangeran melakukan perselingkuhan dengan istri seperti itu?'

Erna mengernyit tanpa sadar saat mengingat pria yang terbaring di bangku batu di taman. Untungnya kenangan tidak menyenangkan itu tidak bertahan lama karena nama sahabatnya kembali terlintas di benaknya.

Pavel.

Itu pasti Pavel…

Ia mengejarnya dengan panik, tetapi pada akhirnya yang bisa ia lihat hanyalah punggung sahabat yang sangat ia rindukan. Tidak mungkin ia salah, karena mereka sudah berteman selama lebih dari sepuluh tahun. Ia bisa mengenalinya dengan mudah, bahkan jika yang terlihat hanyalah punggungnya.

Erna mengangkat matanya dengan hati-hati dan kembali melihat sekeliling. Jantungnya mulai berdegup kencang dengan harapan bahwa mungkin, akhirnya ia bisa bertemu Pavel di tempat ini. Namun, harapan dan kegembiraan itu segera berubah menjadi ketakutan.

Dalam benaknya, ia merasa bahwa mata para tamu sedang mengawasinya diam-diam. Dada Erna tiba-tiba terasa sesak oleh kecemasan, membuatnya sulit bernapas. Ia meremas jemarinya yang gemetar dan berdiri lebih dekat ke pohon palem yang lebih tinggi darinya, berusaha menyembunyikan tubuh mungilnya di balik dedaunan.

'Tidak ada manusia di sini… Hanya ada hewan dan tumbuhan…'

Erna mengingat nasihat aneh yang pernah diberikan Countess Meyer kepadanya. Gadis-gadis muda yang ramping berubah menjadi musang yang berlari di hutan, pria tua dengan wajah ceroboh itu menjadi angsa yang marah, dan wanita dengan gaun hijau tua serta pita merah cerah itu adalah pohon cemara yang berbuah.

Khayalan absurd itu secara tak terduga memberinya sedikit ketenangan. Meskipun tubuhnya masih gemetar dan berkeringat, setidaknya ia bisa menghindari rasa sakit akibat kepanikan yang membuatnya sulit bernapas.

Saat akhirnya mampu mengatur napas walau hanya sedikit, Erna menyadari kegaduhan yang terjadi di tengah kerumunan tamu.

Pangeran Bjorn kini berdiri di pintu masuk aula. Putri Gladys yang tengah menyapa Putra Mahkota juga segera menyadari kehadiran Grand Duke.

Pangeran Bjorn berhenti sejenak dan menatap Putri Gladys dengan mata menyipit sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam aula. Erna ikut menjadi bagian dari para penonton yang mengamati sosok pria itu dengan napas tertahan.

'Serigala.'

Saat melihat sang pangeran berjalan melintasi aula dengan langkah tenang, pikiran itu tiba-tiba muncul di benaknya.

'Dia memang seorang pria yang mengingatkanku pada binatang yang anggun itu.'

Seekor serigala putih yang indah dan megah, seperti lambang Keluarga Kerajaan Dniester.

***

Bjorn menatap Gladys sembari melangkah perlahan ke depan. Tidak sulit baginya untuk memahami situasi saat ini dan maksud mantan istrinya. Sepertinya ia terlalu santai—ia pikir Gladys sudah memahami keinginannya setelah percakapan terakhir mereka.

'Aku rasa dia masih sama saja, mudah ditebak dan klise.'

Meskipun ekspresi wajah Gladys menunjukkan kegelisahan, ada secercah harapan yang muncul ketika dia melihatnya. Situasi itu membuatnya ingin tertawa. Jika dikatakan bahwa kepulangan Gladys ke Lechen bukan atas kehendak Raja Lars, mungkin itu terdengar tulus—jika saja dia cukup bodoh untuk mempercayainya. Awalnya, Gladys adalah seseorang yang begitu polos hingga berbohong pun bukanlah sesuatu yang mampu dia lakukan. Namun, putri yang dulu begitu murni dan polos itu justru mengajarkan sang Grand Duke sebuah kenyataan yang lebih hina dan tidak bertanggung jawab dibandingkan kebohongan.

Saat memperhatikan ekspresi kaku ayah, ibu, dan Leonid, Bjorn tiba di tengah aula. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela besar menjulang dan sinar gemerlap lampu gantung membingkai sosoknya yang tegap dan penuh wibawa.

Hubungannya dengan Putri Hartford dulu adalah sebuah kesepakatan yang adil bagi mereka berdua dan hubungan itu pun berakhir dengan cara yang bersih serta ringkas.

Pandangannya terhadap hal ini masih belum berubah. Namun, jika Gladys berniat untuk memulai permainan baru, itu adalah cerita yang berbeda. Dia tidak akan membiarkan dirinya menderita lagi, apalagi jika penyebabnya adalah Gladys Hartford sendiri.

Tiba-tiba, perhatiannya teralihkan pada seorang wanita.

Sang Grand Duke menggeser pandangannya ke arah Erna yang tengah bersembunyi di balik pot pohon palem. Bibirnya yang sebelumnya terkatup rapat dalam garis lurus kini melengkung lembut ketika mengingat sapu tangan yang tersimpan di dalam sakunya.

'Sungguh trik lama yang membosankan dan mudah ditebak.'

Niat wanita itu begitu jelas di matanya. Melihat betapa baiknya dia dalam memainkan skema yang memalukan, tampaknya Nona Hardy tidak jauh berbeda dari seorang putri tertentu yang sudah sangat dia kenal.

'Kalau begitu, tidak ada bidak permainan yang lebih menguntungkan selain dirinya.'

Setelah sampai pada kesimpulan yang jelas dalam pikirannya, Bjorn melangkah tanpa ragu. Dia berjalan perlahan menuju tempat di mana Gladys berdiri, namun tiba-tiba dia berbelok ke arah lain, membuat kerumunan tamu yang sudah gelisah semakin heboh.

Erna yang menyadari bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi, mundur selangkah, tetapi Pangeran dengan cepat mempersempit jarak yang telah ia ciptakan sia-sia.

Tidak ada alasan untuk ragu jika Nona Hardy adalah kartu asnya saat ini—baik dalam taruhan yang ia buat dengan teman-temannya maupun dalam permainan yang sedang ia jalankan bersama Gladys. Memberi apa yang bisa diberikan dan menerima apa yang pantas didapatkan. Begitulah cara perjudian bekerja.

Terlebih lagi, dia adalah seseorang yang bisa membuat kesepakatan dengan mudah dan bersih.

Taruhan mereka disepakati akan dimulai di pameran hari ini dan pertarungan terakhir akan ditentukan pada hari perlombaan mendayung.

Bjorn menutup jarak dengan Erna dalam beberapa langkah terakhir, sambil mengingat kembali isi taruhan yang telah mereka buat.

Perlombaan mendayung diadakan setiap musim panas, pada hari terpanjang dalam setahun. Pada hari itu, berbagai festival digelar di seluruh Lechen untuk merayakan musim panas. Bisa dikatakan, acara itu adalah puncak musim panas bagi para bangsawan, sebuah perayaan terbesar dan paling meriah sepanjang musim.

Sorotan utama dari Festival Musim Panas Schwerin adalah pertunjukan kembang api di Sungai Arbit pada malam perayaan akhir musim panas. Selama acara itu, perahu di kota selalu langka karena banyak pasangan muda yang percaya pada mitos kekanak-kanakan bahwa menyaksikan kembang api bersama di atas perahu akan memastikan hubungan mereka bertahan lama.

Pada hari istimewa itu, orang yang menaiki perahu bersama Erna akan menjadi pemenang taruhan. Ia mengakui bahwa dirinya memang agak brengsek dan pandangannya tentang dirinya sendiri pun tidak banyak berubah hingga saat ini. Namun pada akhirnya, Bjorn Dniester harus menang dalam setiap taruhan yang ia ikuti.

Itu bukan kesepakatan yang buruk bagi gadis itu juga. Prestisenya akan meningkat sedikit karena rumor yang menyebut bahwa ia dikejar oleh Pangeran Bjorn. Bukankah itu yang diinginkan kaki tangan Nona Hardy, Countess Meyer, sejak awal? Jika lebih banyak pria tertarik untuk memenangkan hatinya dengan keinginan kuat untuk menikahinya, mungkin ia bisa mendapatkan calon suami yang jauh lebih baik daripada Count tua yang sekarat itu.

"Ini dia, Nona muda."

Bjorn menatap gadis mungil itu dengan mata ramah, suaranya penuh wibawa, seolah ingin tamu-tamu lain mendengarnya. Berdiri di bawah bayangannya, Erna tak bisa menahan diri untuk tidak berkedip dengan mata bundarnya yang besar, bingung.

"Kau meninggalkan ini di taman."

Sambil tetap mempertahankan kontak mata dengan Nona Hardy, Bjorn dengan sengaja mengulurkan sapu tangan yang ia ambil sebelumnya, gerakannya lambat dan penuh perhitungan.