Selama beberapa waktu terakhir, hanya satu hal yang terus berputar di kepala Daisy.
"Apa yang harus aku lakukan…?"
Duduk di dalam bak mandi, ia menggigit ibu jarinya dengan gelisah, seperti anak kecil.
Kelopak bunga lembut, minyak wangi, dan gelembung yang luar biasa banyak. Ini adalah mandi yang jauh lebih mewah dari biasanya untuknya. Kamar mandi yang dipenuhi uap terasa sama kaburnya dengan masa depannya.
"Aku benar-benar tamat."
Daisy biasanya bukan tipe orang yang mudah panik. Bahkan dalam misi, situasi tak terduga sering muncul, tapi ia selalu bisa mengatasinya dengan berpikir cepat dan berimprovisasi dengan lancar.
Tapi hari ini, pikirannya yang cepat malah menjadi bumerang.
Ia kembali mengingat kata-kata konyol yang terlontar dari mulutnya kepada Maxim.
"…A-Aku hanya perlu mandi dulu."
Hah, demi apa aku harus mengatakan itu?
Ia memang berhasil membeli sedikit waktu, tapi kalau dipikir ulang, mengatakan bahwa ia 'perlu mandi dulu' sama saja dengan menyetujui untuk benar-benar menjalankan pernikahan ini.
Dan yang lebih parah lagi adalah respons Maxim von Waldeck.
"Oh, kebetulan sekali. Aku buru-buru datang ke sini, jadi aku juga butuh mandi."
"…"
"Haruskah kita melakukannya bersama?"
…Itu benar-benar jawaban yang tak terduga.
Seluruh tubuhnya bergetar saat mengingat kata-kata yang masih terngiang di telinganya. Ia sangat peka jika menyangkut telinganya, dan dengan nada santai namun sopan seperti itu, Maxim benar-benar menyerang titik lemahnya.
"T-Tentu saja tidak!"
Memalukan sekali. Aku seharusnya setidaknya menurunkan suaraku.
Tanpa sadar, suaranya meninggi karena terlalu gugup. Ia sempat melihat ekspresi terkejut di wajah Maxim, tapi tak lama kemudian, mata abu-abu kebiruan pria itu berubah semakin tajam.
"Kenapa tidak?"
"A-Aku biasanya mandi sendirian…! Aku merasa tidak nyaman jika ada yang melihat."
"Tak perlu malu. Kita ini suami istri."
Dengan lembut, Maxim menyelipkan helaian rambut Daisy ke belakang telinganya, seolah menganggap reaksinya menggemaskan.
"Baiklah kalau begitu. Pergilah mandi."
Di saat yang sama, Maxim langsung memerintahkan para pelayan untuk menyiapkan air mandi untuk istrinya. Jelas sekali ia tidak berencana untuk menunggu terlalu lama.
Tatapan tidak setuju dari mantan grand duchess, ditambah dengan bisikan penuh semangat dari para pelayan, membuat Daisy berharap bisa lenyap dari rasa malu. Dan bahkan sekarang, hanya dengan mengingatnya, ia merasakan hal yang sama.
"…Ini benar-benar membuatku gila."
Daisy terus-menerus menyiramkan air ke wajahnya, berusaha mendinginkan pipinya yang memerah.
Tak peduli seberapa lihai atau cerdik seseorang, setiap orang pasti memiliki sisi canggungnya.
Dan bagi Daisy, sisi canggungnya adalah… pria.
"Ini bukan bagian dari rencana awal."
Daisy tahu bahwa misi bisa saja mengalami perubahan tak terduga, tapi ia tidak pernah menyangka sesuatu seperti ini akan terjadi secepat ini.
Mereka menyebutnya umpan meriam. Siapa sangka dia akan kembali sebagai pahlawan perang?
Peran Daisy hanyalah menjadi pengantin palsu dalam pernikahan yang bersifat simbolis. Untungnya, malam pertama tidak termasuk dalam kesepakatan.
"Yah, kita sudah berciuman. Apa yang menghalangi kita untuk berhubungan seks?"
Ia sempat terpikir untuk menutup mata dan menyelesaikannya begitu saja.
Tapi…
"Tidak, ini bukan sesederhana memilih makanan penutup."
Hanya karena kau pernah makan cokelat, bukan berarti kau bisa langsung beralih ke kue cokelat. Ini adalah situasi yang sama sekali berbeda.
Dan pria yang menjadi subjek dari masalah ini adalah Maxim von Waldeck, anjing pemburu keluarga kerajaan—terkenal karena sifatnya yang kejam dan tak kenal ampun.
Meskipun kini ia telah memilih pensiun, Daisy pernah dibesarkan dalam faksi revolusioner dan memiliki kebencian mendalam terhadap para kaki tangan keluarga kerajaan yang loyal buta.
Ciuman di hari pernikahan dan doa untuk ketenangan Maxim di alam baka hanyalah bentuk belas kasihan.
Belas kasihan yang masih bisa ia berikan, mengingat sekarang ia telah menjadi anak Tuhan.
Lagi pula, bukankah Tuhan mengajarkan untuk mencintai musuh kita?
Tentu saja, organisasi sering kali menugaskan seseorang untuk menyamar sebagai selir tokoh kerajaan guna mengumpulkan intel, dan dalam kasus seperti itu, hubungan fisik memang bagian dari pekerjaan.
Namun, tugas Daisy kebanyakan adalah pembunuhan, jadi ia sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam hal ini.
Ia memang bukan orang yang kaku, jadi entah bagaimana ia berhasil melewati ciuman itu, tapi…
Memikirkan harus melangkah lebih jauh—dalam keadaan telanjang sepenuhnya—membuatnya ketakutan.
"Haah…"
Ia tahu bahwa keintiman melibatkan bagian tubuh pria yang akan masuk ke dalam tubuhnya…
Dengan ragu, Daisy membiarkan jari-jarinya menyentuh area di antara kedua kakinya, mencoba membayangkan ukurannya.
"Aku takut… ini terlalu besar…"
Kalau saja ukurannya normal, mungkin ia tidak akan merasa sefrustrasi ini.
Tapi cara benda itu menekan perut bagian bawahnya tadi—ditambah dengan sekilas yang ia lihat—sudah cukup untuk menyadarkan Daisy bahwa ukurannya jelas di atas rata-rata.
Tak peduli seberapa keras ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, tak mungkin sesuatu sebesar itu bisa masuk ke dalam tubuhnya.
Vaginanya begitu sempit hingga bahkan satu jari pun nyaris tak bisa masuk, padahal ia hanya sekadar menyentuh bagian luar. Tidak mungkin ia membayangkan sesuatu yang lebih besar bisa masuk lebih dalam.
Ia ingin melarikan diri, tapi tidak ada jendela di kamar mandi.
Tok, tok—!
Tepat saat Daisy sedang ragu-ragu menyentuh area sensitifnya, ketukan mendadak mengejutkannya, membuatnya buru-buru menarik tangannya.
"Lady Therese?"
Suara kepala pelayan terdengar dari balik pintu.
"Anda sudah cukup lama di kamar mandi. Saya akan masuk."
"Aku baik-baik saja, sungguh…! Tidak ada yang terjadi! Aku baik-baik saja, jadi tolong, biarkan aku—biarkan aku sendiri…!"
Klik—
Pintu kamar mandi terbuka, dan Daisy dengan cepat menutupi dadanya.
Di kalangan bangsawan, menerima bantuan saat mandi adalah hal biasa, tetapi tidak bagi Daisy. Memperlihatkan tubuhnya yang telanjang kepada orang lain adalah hal yang sangat memalukan baginya.
Ia selalu mandi sendirian. Para pelayan biasanya tidak peduli apakah ia mandi atau tidak, selama mereka sudah menyediakan air hangat.
Kepala pelayan itu tampak lelah.
"Tuan telah memerintahkan kami untuk membantu Anda jika diperlukan."
Mengabaikan protes Daisy, kepala pelayan masuk, diikuti oleh beberapa pelayan lain yang membawa berbagai perlengkapan mandi.
Astaga… Kenapa mereka tidak bisa membiarkanku sendiri seperti biasanya?
Sepertinya, tuan mereka benar-benar sosok yang menakutkan sampai-sampai para pelayan begitu bertekad menjalankan perintahnya.
Tanpa pilihan lain, Daisy hanya bisa pasrah membiarkan para pelayan melakukan tugas mereka.
༺♰༻
Biasanya, dia hanya akan mengeringkan rambutnya seadanya, lalu langsung terjun ke tempat tidur, dan malam pun berakhir begitu saja. Tapi ini adalah malam pernikahannya, dan sekarang Daisy duduk di depan cermin, menjadi sasaran kerepotan para pelayan.
'Apa-apaan ini…?'
Negligee¹ yang mereka pakaikan padanya benar-benar tembus pandang. Apa gunanya memakai sesuatu yang bahkan tidak bisa menutupi tubuhnya?
Dia sudah bersih dan hanya ingin tidur. Lalu, kenapa mereka harus merias wajahnya juga?
"Lady Therese, tolong jangan menggigit bibir Anda. Itu akan merusak riasan."
"…Baiklah."
Tanpa sadar, Daisy telah menggigit bibir bawahnya karena gugup, dan segera ditegur oleh kepala pelayan. Kecemasannya semakin membuatnya merasa ingin gila.
Para pelayan menatapnya dengan ekspresi iba, seolah berkata, "Apa yang kau tahu?" Dia bisa merasakan jelas ketidaksukaan mereka, tapi ini bukanlah sesuatu yang baru. Rasa takut akan apa yang akan terjadi membuatnya terlalu lelah untuk peduli.
'Setelah ini selesai, apakah kita langsung… melakukan itu? Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku pura-pura sakit?'
Pikirannya dipenuhi dengan berbagai cara untuk menghindari situasi ini.
'Ini lantai lima. Lompat dari jendela jelas bukan pilihan, kan?'
Kecuali jika dia memiliki tali, tentu saja.
Melompat tanpa apa pun hanya akan menjamin kematian yang tragis.
Mata Daisy dengan cepat menyapu ruangan, mencari sesuatu yang bisa digunakannya sebagai tali darurat. Setelah semua persiapan selesai, dia akan memiliki sedikit waktu sebelum dibawa ke kamar Maxim. Itu akan menjadi kesempatan baginya untuk bertindak.
"Apakah Anda tahu apa yang terjadi di kamar tidur?"
"Maaf?"
Mata Daisy membelalak mendengar pertanyaan langsung dari kepala pelayan, pandangannya gelisah berpindah-pindah.
"Seperti yang saya duga, Anda tidak tahu apa-apa. Sepertinya Therese tidak sempat mempersiapkan And dengan baik, mengingat pernikahan ini diatur dengan begitu tergesa-gesa."
Nada suaranya jelas merendahkan.
Jika Daisy benar-benar putri kandung Count Therese, mungkin dia akan tersinggung dengan penghinaan terhadap ayah dan keluarganya. Namun, karena dia bukan anaknya dan Count Therese bukan ayahnya, dia sama sekali tidak peduli. Yang dia rasakan hanyalah kepahitan terhadap atasannya yang telah mengirimnya ke sini.
Bagian dalam dirinya ingin menyindir dan berkata, "Benar, kan? Bajingan itu pasti juga menjebakku."
Kenyataannya, dia memang tidak tahu apa-apa tentang apa yang diharapkan di kamar tidur, dan ketidaktahuan itu membuatnya semakin takut.
"Saya akan memberi sedikit pelajaran, jadi dengarkan baik-baik."
Kepala pelayan mendesah, lalu mulai menjelaskan seolah sedang berbaik hati padanya.
"Kenapa kau yang harus mengajarinya?"
Sebuah suara terdengar dari belakang, dan suhu ruangan seketika terasa turun. Para pelayan yang sebelumnya sibuk mengurus Daisy langsung membeku di tempat.
Daisy tidak perlu menoleh. Dia sudah bisa melihat bayangan Maxim von Waldeck di cermin.
Dia tampak baru saja selesai mandi, mengenakan jubah dengan rambut masih basah dan berantakan. Tatapan mereka bertemu sebentar di cermin, dan matanya yang semula dingin tampak melembut saat menatapnya. Kemudian, Daisy merasakan tatapan itu turun ke negligee yang dikenakannya.
Merasa wajahnya memanas, Daisy buru-buru menarik bagian depan negligee-nya agar tertutup.
"Anda sudah datang, Tuan. Kami hampir selesai."
"Nama."
Suaranya, yang beberapa saat lalu masih terdengar hangat, kini berubah dingin dan tanpa emosi.