Bayangan yang Berbisik
Malam hari di fasilitas pelatihan terasa berbeda. Bukan karena dinginnya udara buatan yang berhembus dari celah dinding, tetapi karena hening yang mencekam. Seolah semuanya menunggu sesuatu… atau seseorang.
Ryuta duduk di ujung tempat tidurnya, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia baru saja terbangun dari mimpi yang tidak seperti biasanya.
Dalam mimpinya, ia melihat seorang pria berdiri di tengah lautan bintang, mengenakan jubah yang sobek dan berlumur darah. Pria itu menatapnya… dengan wajah yang sangat mirip dirinya sendiri, namun lebih tua, lebih dingin, dan… lebih hancur.
Dan suara itu…
“Kau harus menyelesaikannya. Mereka tak akan mengerti. Tapi kau… kau bisa mengakhiri permainan ini.”
Ryuta mencengkeram kepalanya. Napasnya tercekat.
“Siapa kau…?” bisiknya dalam gelap. Tapi tak ada jawaban. Hanya bayangan yang perlahan memudar, menyisakan luka di pikirannya.
---
Pagi Hari
Sesi latihan hari itu tak biasa. Tharos Velm memanggil hanya lima orang:
Ryuta
Alicia
Rex Keldric
Reina
Lucas
“Kalian berlima akan menjalani Simulasi Kolaps Dunia,” ucap Tharos tanpa basa-basi. “Ini adalah simulasi paling dekat dengan pertempuran nyata antar dunia. Dan hanya mereka yang bisa membuat keputusan kejam dalam waktu singkat yang bisa bertahan.”
Mereka memasuki ruangan simulasi, dan seperti sebelumnya, diselimuti oleh cahaya ungu dan kabut tipis. Tapi kali ini terasa lebih dingin, lebih nyata.
---
Dalam Simulasi
Mereka berdiri di sebuah kota yang tampak hancur. Bangunan roboh, darah di mana-mana, dan langit hitam tanpa bintang.
“Tugas kalian sederhana,” suara Tharos bergema di udara. “Ada 100 warga di kota ini. Di ujung kota ada bom dimensi yang akan meledak dalam 10 menit. Kalian hanya bisa menyelamatkan 10 orang. Pilih siapa yang layak hidup.”
Ryuta mematung. Lucas melotot. “Ini gila.”
Rex hanya tertawa pelan. “Akhirnya… latihan yang masuk akal.”
Alicia menatap Ryuta. “Apa kamu punya rencana?”
Ryuta, dengan cepat dan tanpa ragu, menjawab, “Cari anak-anak. Dan empat orang yang bisa bertarung. Sisanya biarkan.”
Reina berteriak, “Apa?! Kita tidak bisa begitu saja membiarkan mereka mati!”
Ryuta menatapnya tajam. “Kalau kau menyelamatkan semua, semua mati. Kita bukan di dunia lama, Reina. Kita di dunia di mana keputusan lambat artinya kiamat.”
“Ini salah,” gumam Reina. Tapi ia tetap bergerak, menuruti instruksi.
---
Tiga Menit Tersisa
Tim Ryuta berhasil menyelamatkan 9 orang. Satu lagi tersisa. Di tikungan lorong reruntuhan, mereka menemukan seorang pria tua dan seorang gadis kecil, terjebak di bawah batu.
“Ambil salah satu,” ucap Tharos dingin dari udara.
Ryuta menatap mereka. Lalu menatap timnya. Lucas tak bisa bicara. Reina menangis. Alicia menatap Ryuta, menunggu keputusannya.
“Ambil anaknya,” ucap Ryuta. Ia bahkan tidak ragu. “Orang tua itu tak bisa bertahan hidup jangka panjang. Logika dasar.”
Gadis kecil itu ditarik keluar. Pria tua hanya tersenyum tipis, tanpa dendam.
“Kau akan jadi pemimpin yang baik… atau pemusnah,” ucapnya pelan.
Boom.
Simulasi berhenti. Kembali ke dunia nyata.
---
Setelahnya
Ryuta diam di kursinya di ruang briefing. Tangan kirinya bergetar, tapi wajahnya tetap tenang. Reina menolak menatapnya. Lucas hanya diam. Rex tertawa puas. Alicia… menatap Ryuta dengan penuh rasa ingin tahu.
“Kau mulai menunjukkannya,” gumam Alicia, setengah kagum, setengah waspada. “Sisi yang bisa mengambil keputusan tanpa hati.”
Ryuta tak menjawab. Tapi di dalam hatinya, ia tahu. Bayangan pria di mimpi itu… bukan hanya ilusi. Ada sesuatu di dalam dirinya yang perlahan… bangkit.
---
Malam itu, Ryuta kembali bermimpi. Pria berjubah muncul lagi.
“Semakin dekat…” katanya.
“Bangkitkan aku sepenuhnya, dan kau akan mengerti. Mengapa takdirmu… adalah takdir dunia.”