Dia melirik sekeliling dan melihat ke dalam kamar pelayan, tetapi tidak ada siapa pun.
Setelah Sally masuk dan mengunci pintu, dia menatap tajam tas belanjaan mewah itu, seolah-olah itu adalah bom waktu yang siap meledak. Setelah berkali-kali mempertimbangkan, akhirnya dia membukanya dan menyipitkan mata.
'…Keinginan aneh apalagi kali ini?'
Barang pertama yang dia ambil adalah sebuah salep dalam kotak kecil.
…Itu untuk mengobati luka di wajah.
Sejak kapan Winston begitu peduli dengan luka seorang pelayan? Di dapur mansion saja, ada banyak pelayan yang tangannya terluka akibat pekerjaan mereka, jika memang peduli, dia seharusnya mengirimkan salep ini ke sana. Dia bukan orang yang berpikir normal, jadi ini jelas bukan permintaan maaf. Trik macam apa ini…?
Sally memasukkan kotak salep ke dalam laci dan melanjutkan memeriksa isi tas belanjaan itu. Di dalamnya, terdapat dua belas kotak datar berbentuk persegi.
Sebuah desahan tajam keluar dari mulut Sally saat dia membuka salah satu kotak bermotif warna-warni.
Stoking sutra.
Harganya tiga kali lebih mahal dari yang sempat Sally pegang dan letakkan kembali siang tadi. Masing-masing warna berisi tiga pasang: hitam, putih, cokelat, dan peach.
Perintah konyol Jimmy kembali terngiang di benaknya saat dia menatap dua belas 'kotak bom' yang tergeletak di atas tempat tidurnya.
"…Tolong jangan lakukan ini."
***
Senandung pelan terdengar dari Sally yang sedang membersihkan ruang ganti di bangunan tambahan Winston. Operasi penyelamatan Govurn ternyata membawa keberuntungan yang tidak terduga.
Winston pergi ke Govurn sehari setelah operasi itu dan belum kembali hingga hari ini, tiga hari kemudian.
'Jangan pernah kembali selamanya.'
Cahaya merah senja merembes melalui celah tirai yang menutupi jendela panjang. Sepertinya dia tidak akan kembali hari ini, mengingat hingga senja tiba, Letnan Campbell belum menelepon untuk menyiapkan sesuatu bagi Winston.
Dalam beberapa bulan terakhir, Winston lebih sering tidur di kamar tidur bangunan tambahan daripada di bangunan utama.
Akibatnya, Sally menjadi sangat sibuk mengurus barang-barang pribadinya. Saat dia mengambil seragam perwira dari keranjang laundry dan menggantungnya dengan rapi di lemari, dia mengernyit, teringat gosip yang ia dengar di ruang cuci beberapa hari lalu.
"Semua benang kancingnya nyaris putus."
Para pelayan yang bertugas mencuci pakaian tersenyum licik ketika mengetahui bahwa kancing celana Winston harus dijahit ulang dengan benang yang lebih kuat. Mereka jelas sedang membicarakan celana yang dipakainya di hari ketika dia menyerang Sally.
"Apa yang membuatnya begitu bersemangat sampai kancingnya putus?"
"Kau tidak dengar? Hari itu beliau kencan dengan grand lady."
Bajingan gila…
Dia menghabiskan sepanjang malam dengan tunangannya, lalu mencoba menyerang pelayan begitu dia kembali.
"Dia tinggi dan tangannya besar. Hmm… menurutmu, itu juga besar?"
Salah satu pelayan berbisik, sementara yang lain mengepalkan tinju dan menggoyangkan lengannya.
"Lihat saja benangnya yang melar. Bukankah itu pasti sebesar ini? Kau tidak berpikir itu luar biasa juga?"
Saat itu juga, tanpa sengaja, Sally mengingat 'cerutu' besar itu dan langsung memasang ekspresi seolah-olah baru saja mengunyah serangga. Kenapa mereka penasaran dengan bagian menjijikkan dari sampah itu…? Meskipun dia tak ingin mengetahuinya, sayangnya, ingatan itu tidak bisa dia hapus lagi.
Keranjangnya hampir kosong. Yang tersisa hanyalah barang-barang kecil seperti kaus kaki dan sapu tangan.
Sally yang tanpa sadar mengambil sapu tangan sutra putih yang sudah disetrika dan terlipat rapi dari keranjang, kembali mengernyit.
'Apakah ini sapu tangan sialan itu?'
Dia langsung ingin membakarnya di atas kompor begitu menemukannya, tetapi ia menahan diri. Ia tahu betapa anehnya Winston dan jika ia sengaja membakar sesuatu yang ditinggalkan pria itu, pasti Winston akan menyelidikinya.
Sally memasukkan saputangan yang sudah bersih itu ke tengah-tengah tumpukan saputangan lain di laci yang penuh sesak.
'Haruskah aku sengaja membuat diriku diusir?'
Ia mendorong kembali keranjang cucian ke lantai dasar, lalu naik ke loteng untuk makan malamnya.
Sebuah ide cemerlang tiba-tiba muncul di benaknya.
Pertunangan Winston dengan grand lady belum difinalisasi. Jika ada rumor bahwa ia berselingkuh dengan seorang pelayan rendahan, Nyonya Winston pasti akan langsung mengusirnya.
Jadi, itu berarti ia tak perlu menjalankan misi baru, bukan?
Namun, rasa tanggung jawabnya yang luar biasa justru menahannya. Ia telah menyusup ke rumah Winston dengan susah payah dan berhasil mendapatkan kepercayaannya. Jika ia pergi begitu saja tanpa menanamkan seseorang di dalam, itu sama saja dengan membangun fondasi yang kuat lalu membakarnya sebelum sempat dihuni.
Bahkan dengan Fred pun, sejujurnya ia tak bisa mempercayainya sepenuhnya. Winston juga tidak percaya padanya. Bisa saja pria itu tiba-tiba bertindak semaunya dan memindahkan Fred ke unit atau kelas lain.
'Jangan pernah kembali. Atau… apa dia sedang jatuh cinta dengan wanita lain di Govurn? Oh, kenapa ini terjadi lagi…?'
Setelah makan malam, Sally menghela napas panjang dan pergi ke kamar mandi kecil di samping kamar para pelayan.
Ia membuka keran shower, tapi tidak peduli berapa lama ia menunggu, hanya air dingin yang mengalir. Boiler tua di ruang bawah tanah paviliun terkadang bermasalah, sehingga air panas tidak sampai ke loteng.
Upah atas kerja kerasnya hanyalah mandi dengan air es. Ia tidak tahan.
Terlebih lagi, kamar mandi di loteng sudah dingin seperti es.
Gemetar hanya dengan pakaian dalamnya, Sally menatap air dingin yang terus mengalir, lalu mematikan keran. Ia mengenakan kembali pakaiannya, mengambil baju ganti, dan turun ke lantai bawah—lagipula, Winston tidak akan pulang.
***
Saat para penari naik ke atas panggung, siulan para pria menenggelamkan suara musik. Satu-satunya pakaian yang dikenakan para penari wanita itu adalah rok pendek dengan rumbai serta manik-manik yang mencolok dan kalung mutiara imitasi yang melilit leher mereka berlapis-lapis.
Leon menatap kosong para wanita yang menari dengan dada terbuka. Mengapa mereka begitu terobsesi hanya pada tubuh…? Itu tidak lebih dari sepotong daging yang tergantung di toko daging.
Dari lima perwira yang duduk di meja, hanya Leon yang merasa tempat ini membosankan.
Tak tahan dengan kebosanan, ia melirik sekilas Letnan Kolonel Humphrey yang duduk di sebelahnya.
Atasannya itu tengah menghisap cerutu dengan bibir merahnya, tak menyadari bahwa abu mulai jatuh. Wajahnya serius seperti anjing Doberman di Govurn, tapi begitu ia meninggalkan tempat itu, tawanya berubah seperti monyet.
Tak cukup dengan itu, ia bahkan membawa para perwira intelijen ke kabaret untuk pesta perpisahan sang komandan yang sebentar lagi akan pensiun.
Pesta tanpa sang tokoh utama…
Satu-satunya hal yang menarik bagi Leon adalah kontradiksi ini. Sambil menyandarkan dagu ke tangannya dan menggoyangp perlahan gelas wiski yang sudah hampir kosong, letnan kolonel menuangkan isi botol ke dalamnya.
"Tidak menyenangkan?"
"Saya hanya pemilih dalam hal selera."
Mendengar jawaban jujurnya, letnan kolonel menggeleng dan tertawa.
"Kalau begitu, bagaimana dengan gadis itu?"
Letnan kolonel menunjuk penari yang berdiri di tengah panggung dengan ujung cerutunya. Gadis yang melemparkan ciuman kepada penonton dengan senyum mempesona itu adalah wanita paling populer di distrik hiburan Winsford. Itu juga berarti bahwa malam bersamanya adalah yang paling mahal.
"Kitty Hayes. Dia adalah wanita yang tak seorang pun mampu membayar."
Pria paruh baya itu meletakkan lengannya di bahu Leon dan berbisik, memberikan informasi berharga.
"Hei, kau beruntung hari ini. Pemilik kabaret ini berutang sesuatu padaku."
Bukankah dulu dia pernah memperingatkan Leon agar berhati-hati dengan wanita…? Leon menyesap wiskinya dan menyeringai tipis.
"Terima kasih, tapi saya tidak tertarik. Saya menolak."
"Dengar, sekali kau berguling di lumpur, seharusnya semuanya terasa lebih baik. Semua orang memulainya seperti itu, bukan begitu, Johnson?"
Mayor Johnson yang duduk di seberang Leon, mengangkat bahunya.
"Anda benar, letnan kolonel. Namun, tidak ada salahnya menikah tanpa pernah tahu kesenangan seperti ini. Bukankah akan jadi masalah jika dia terlambat mencicipinya dan malah kehilangan akal?"
Mayor itu mengedipkan mata sedikit pada Leon.
Sudah menjadi tugasnya untuk menghentikan letnan kolonel mendorong Leon—yang jelas-jelas tidak menyukainya—ke dalam kamar hotel setiap kali mereka datang ke kabaret. Meskipun mayor memiliki pangkat militer lebih tinggi daripada Leon, status sosialnya tetap lebih rendah dibandingkan para tuan tanah besar Camden, termasuk Winsford.
"Ah… benar. Grand lady bangsawan itu. Bagaimana? Apakah dia sesuai seleramu?"
"Saya tidak suka pernikahan."
Letnan kolonel tertawa terbahak.
"Memang."
Dengan tangan besarnya, ia menepuk-nepuk punggung Leon seolah puas dengan jawabannya, lalu bergumam pelan.
"Tapi ingat ini baik-baik."
"…."
"Malam yang panas tidak selalu berakhir buruk."
Leon hanya tersenyum pahit.
Letnan kolonel tahu bahwa Leon enggan bertemu wanita asing karena takut mengalami akhir tragis seperti ayahnya. Namun, pria itu tetap menunjuk para penari di panggung satu per satu, membuat Leon semakin kesal.
Seorang wanita mendekat dengan nampan hitam mewah yang talinya melilit di lehernya. Ia dipanggil oleh Letnan Campbell yang duduk di sebelah Leon dengan sebuah isyarat tangan.
Leon menatap wanita itu dalam diam saat Campbell membayar sebungkus rokok dan beberapa permen karet dari nampannya. Dia hanyalah wanita miskin yang menjual rokok.
…Tak ada bedanya dengan pelayan itu.
Tak lama kemudian, sebuah senyum miring terukir di wajahnya.
l