"Menjauh dari saya."
Sally menyikut perut pria itu agar dia berhenti menempel padanya. Ugh, dia pikir usahanya berhasil karena Winston membungkuk sambil mengeluarkan suara kesakitan. Namun, seolah tak terganggu, Winston justru menariknya dengan tangan satunya dan mengunci Sally dalam pelukannya.
"Haruskah kita langsung ke kamar, sayang? Bagaimana kalau pesan layanan kamar?"
Terdengar tawa tertahan dari para pegawai yang berdiri di belakang mereka saat Winston bermain dengan trik kotornya. Sally tak bisa melihat apa pun lagi di matanya selain kemarahan. Dengan tumitnya, dia menginjak ujung sepatu mahal Winston.
"Apa kau mengatakan 'iya' dengan cara yang terlalu berlebihan?"
Begitu Winston tertawa dan melepaskannya, Sally segera keluar dari jangkauannya dan berdiri di dekat pintu.
Pelayan yang berdiri di samping mereka hanya melirik sekilas sebelum membuka pintu lift. Saat Sally mengikuti pelayan menyusuri lorong, Winston mendekat dan berbisik lembut di telinganya.
"Kau tak akan membuat jari kakiku patah kalau hanya menginjak selembut itu."
Padahal Sally sudah mengerahkan seluruh tenaganya, tapi pria itu tetap menganggapnya ringan. Merasa harga dirinya sebagai seorang prajurit terluka, Sally menatapnya tajam.
"Anda tahu, Anda beruntung tumit sepatu saua tumpul."
"Sayangku tidak punya sepatu hak tinggi? Haruskah kubelikan untukmu besok pagi dalam perjalanan pulang…?"
"Jangan panggil saya seperti itu."
"Malu ya, sayang?"
Sambil berkata begitu, Winston menarik tangan Sally yang masih menggenggam tali tasnya. Sally segera menarik tangannya kembali dan menyindir.
"Anda memang ahli penyiksaan terbaik di kerajaan, Kapten."
"Penyiksaan ya…"
Akhirnya, senyum Winston menghilang. Padahal sebelumnya, dia masih bisa tersenyum kecil meski terkena sikutan atau diinjak kakinya.
"Sally… Karena kau tidak tahu, aku akan memberimu nasihat. Di tempat seperti ini, lebih sopan jika kau melingkarkan tanganmu di lengan seorang pria."
Dia mengucapkan kata 'nasihat' dengan nada yang lebih mirip perintah. Sesaat kemudian, Winston menangkap tangan Sally yang masih membandel dan meletakkannya di lengannya tanpa meminta izin.
"Untuk sang wanita, quiche dengan truffle dan bayam sebagai hidangan utama…"
Sally yang sejak tadi diam memperhatikannya memesan makanan tiba-tiba menyela, "Tidak, saya berubah pikiran. Saya akan pesan Porterhouse Steak saja."
Pelayan itu menatap Sally dengan terkejut. Di saat yang sama, Winston juga menunjukkan ekspresi yang tak kalah heran.
Porterhouse Steak dengan tulang berbentuk T di tengahnya adalah menu yang jarang dipesan oleh mereka yang bukan pemakan besar. Seorang wanita yang sadar akan tatapan orang lain hampir tidak pernah memesan makanan yang melambangkan kerakusan seperti itu.
Sally memiringkan kepalanya dan tersenyum. Dia berniat membuat gairah Winston padam, meskipun harus mempermalukan dirinya sendiri di depan orang lain.
Karena meskipun di depannya Winston berperilaku seperti anjing birahi, di hadapan orang lain, dia adalah sosok penuh tata krama dan kehormatan. Haruskah dia menghabiskan empat jam bersama seorang wanita yang sama sekali tidak beradab di hadapan publik…?
Sally memperhitungkan bahwa Winston akan segera bosan dengannya dan menjauh.
Winston menyipitkan mata ke arahnya, lalu dengan senyum kecil, ia mengoreksi pesanannya.
"Kalau begitu, untuk sang wanita, Porterhouse Steak."
Begitu pelayan pergi, Sally mulai membersihkan bulu-bulu halus di cardigan-nya. Winston, yang diam mengamati, kembali mengejek.
"Nona Bristol."
"Ya?"
"Jika aku memanggilmu seorang wanita terhormat, maka kau seharusnya bertindak seperti itu."
"Apa maksud Anda bertindak seperti seorang wanita terhormat…?"
Sebagai seorang prajurit, Sally terkadang harus menyusup ke lingkungan kelas atas, jadi selama pelatihannya, dia sudah belajar etika dan tata krama kalangan bangsawan. Namun, kali ini, dia berpura-pura tidak tahu dan tetap mempertahankan sikapnya.
"Wanita terhormat tidak memesan Porterhouse Steak."
"Oh, begitu? Itu keterlaluan."
"Dan biasanya sebelum menyela, bukankah seharusnya kau meminta maaf?"
"Oh, ya? Maaf."
Winsto yang enggan memperpanjang masalah, hanya menghela napas pendek, seolah masih terkejut.
"Satu lagi. Jika kau seorang wanita terhormat, kau sebaiknya menghindari hidangan penutup."
"Kalau begitu, seharusnya Anda membawa wanita terhormat ke tempat ini."
Dia menatap Sally dengan ekspresi ambigu, entah tersenyum atau kesal, sebelum akhirnya membuka mulut lagi.
"Jadi kau sudah berhenti berpura-pura menjadi pelayan yang baik di depanku?"
"Kapten juga sudah berhenti berpura-pura menjadi majikan yang baik."
Winston menggigit bibir bawahnya dengan keras. Dia menahan tawa.
Ketika pelayan membawa anggur, Winston langsung menyesapnya begitu gelasnya terisi penuh. Sementara itu, Sally membolak-balik peralatan makan perak dan piring mahal seolah sedang memeriksa label dengan cara yang sangat kampungan. Orang-orang di seberangnya sesekali melirik ke arahnya.
Menyilangkan kakinya, Winston melirik sepatu mahalnya yang kotor dan mengejek pelan. Dengan santai, dia membersihkannya menggunakan serbet lalu membiarkannya jatuh ke lantai.
"Bagaimana menurutmu? Kau menyukainya?"
Dia bertanya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menangkupkan tangannya di atas lutut. Sally melirik sekeliling restoran dengan mata malas sebelum mengangguk dengan nada sinis.
"Saya mengerti kenapa Anda membawa saya ke sini."
Winston sedikit memiringkan kepala dan mengangkat alisnya, lalu segera menurunkannya lagi. Dia ingin bertanya apa maksudnya.
"Ini norak."
Leon tak bisa menahan ledakan tawanya.
Dia berani-beraninya mengatakan tempat ini norak, padahal satu-satunya hal norak di sini adalah dirinya sendiri. Tawa kecil yang terputus-putus keluar dari bibir Winston saat dia menyandarkan siku di sandaran tangan kursinya dan mengusap dahinya dengan buku jari telunjuknya.
"Aku bersenang-senang denganmu."
Seandainya Sally berbohong dan berpura-pura menyukai tempat ini seperti seorang wanita bangsawan, dia pasti sudah menjadi wanita yang membosankan dalam sekejap.
"Kau pasti ingin membuatku muak. Sejauh ini, kau gagal."
Wanita itu melahap setiap potongan steak sebesar wajahnya.
Bukankah sopan santun mengharuskan seseorang makan dengan perlahan sambil bercakap-cakap…?
Namun, Sally tidak mengatakan sepatah kata pun dan hanya fokus pada dagingnya dengan kecepatan yang mengerikan. Di tengah-tengah makan, Winston menunjuk ke luar jendela dengan dagunya dan berkomentar bahwa matahari mulai terbenam, tetapi yang dia dapatkan hanyalah jawaban singkat, "Ya, memang sudah waktunya."
Menyaksikan pemandangan luar biasa itu, hidangan daging sapi muda Leon sudah dingin sebelum sempat disentuhnya lagi. Ketika yang tersisa di piring Sally hanya T-bone besar, dia meletakkan pisau dan garpunya di samping hidangan setengah makannya.
"…Kau benar-benar menghabiskannya."
Setelah itu, mereka berpindah ke kafe. Wanita yang sejak tadi dengan serius membaca menu menanggapi dengan nada menyindir.
"Anda pikir saya tidak bisa menghabiskannya?"
Saat minuman mereka dipesan, Sally justru menatap halaman depan menu yang penuh dengan pilihan kue.
"Kau… akan makan kue juga?"
Alih-alih menjawab, Sally justru menyebutkan dua jenis kue yang ingin dia makan dan meminta Winston memesannya. Bingung, dia tetap memesan kue dan kopi, lalu menatap wanita yang hanya menatap keluar jendela gelap.
Kencan ini berjalan sepenuhnya di luar dugaan.
Sejak kecil, dia selalu memegang kendali di setiap situasi. Semua hal ada dalam genggamannya. Dia mengira hari ini pun akan sama. Namun, perasaannya aneh.
Seolah-olah dirinya sedang dipermainkan oleh rubah ceroboh di depannya.
Saat kue disajikan, wanita itu terus makan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Leon ingin melihat sejauh mana makanan bisa masuk ke tubuh kecilnya itu, jadi dia memesan satu kue lagi dan bertanya,
"Bukankah kau sesekali pergi ke kafe Madame Benoa?"
Wanita itu menghentikan gerakan garpunya dan mengangkat pandangan ke arahnya.
"Ya."
Dalam keheningan singkat sebelum menjawab, Leon merasakan kebingungannya saat menyadari bahwa dia telah diam-diam mengamatinya selama ini.
"Kau makan semuanya dengan lahap."
Wanita itu bahkan tidak repot-repot bertanya mengapa Leon tidak makan dan malah bergantian memasukkan tiga jenis kue ke dalam mulutnya, satu per satu.
Saat ujung bibir merah mudanya terkena krim putih, dia menjulurkan ujung lidahnya dan menjilatnya. Daging kecil yang warnanya sedikit lebih gelap dari bibirnya meluncur melewati lipatan lembut itu. Begitu lidahnya menghilang kembali ke dalam mulut, bibirnya yang kini basah oleh air liur jernih kembali terbuka, lalu dia menggigit ceri merah cerah dengan sekali lahap.
...Betapa vulgar.
Leon menyilangkan kakinya menghadap jendela dan menarik napas dalam. Meski begitu, dia tak bisa menahan dorongan dalam dirinya.
"Tapi, kau tidak mau makan punyaku?"
Wanita itu tak lagi menunjukkan tanda-tanda ketidaksenangan. Bahkan, dia melakukan hal yang lebih kasar lagi—menggeleng tanpa sekalipun melihat orang yang berbicara dengannya.
"Apa kau tidak takut dipecat sekarang?"
Namun, bahkan itu pun tidak cukup untuk membuatnya terganggu.
"Nona Bristol, kenapa kau tidak mencoba berakting saat kau dipecat nanti?"
"Hmm, saya...?"
"Terakhir kali kau menangis dengan baik di kantor, bukan? Sekarang setelah kupikirkan, aku pasti sudah dibodohi."
Wanita itu mengernyit, menusukkan garpunya ke dalam kue.
"Itu bukan akting. Saat itu, saya benar-benar takut dipecat."
Ekspresi wajah wanita itu segera kembali datar. Tidak ada cukup petunjuk dari bahasa tubuhnya untuk menebak apakah dia berbohong atau tidak.
"Tapi sekarang?"
"Sekarang rasanya saya harus mencari uang dengan menerima hinaan ini."
Wajah Leon langsung mengeras.
Hinaan.
Dia menghina dirinya.
Seorang perwira militer yang menjanjikan, seorang pemilik tanah… Menyebutnya hina? Seorang pria yang tidak kekurangan apa pun, baik dari garis keturunan maupun kemampuannya? Seolah dia tak punya pilihan selain mengemis sesuatu dari seorang pelayan rendahan?
Dahi Leon berkerut saat memikirkan hal itu. Dia memasukkan tangannya ke dalam jas, mengeluarkan kotak cerutu, lalu membukanya dengan gerakan kasar, mengunyah kata-kata yang ingin dia ucapkan.