Chapter 33

Julukannya sebagai Vampir Camden memang bukan sekadar omong kosong.

Meskipun ingin menutup telinganya dari suara hisapan darah yang terdengar jelas, Fred, dengan anggota tubuh terikat, tidak bisa melakukannya. Pada saat yang sama, kelopak mata Grace, yang terpejam erat dalam kesakitan, bergetar.

Fred gemetar melihat pemandangan yang mengingatkannya pada film vampir yang pernah ia tonton.

"Ah!"

"Haa…"

Saat bibir Grace yang tertutup rapat terbuka dengan suara pecah yang nyaring, erangan penuh rasa sakit dan hembusan napas bertautan.

"Uhmm…"

Dari antara bibir Winston yang basah oleh darah dan air liur, terdengar erangan penuh hasrat yang begitu jelas bagi siapa pun yang mendengarnya.

Winston merengkuh Grace erat, seolah-olah ia benar-benar miliknya. Lengannya melingkari pinggangnya, lalu naik ke atas, meremas tanpa ampun dada montoknya. Di bawah jubah pelayan yang ia kenakan, lekuk tubuhnya yang bulat tampak jelas tertindas tanpa belas kasihan.

"Huht, jangan lakukan ini di sini…"

Vampir Camden mengabaikan permohonan Grace dan kembali menenggelamkan kepalanya di lekuk lehernya. Saat matanya menatap tajam ke arah Fred, amarah yang sebelumnya membara kini menghilang, digantikan oleh kegembiraan vulgar yang tampak di sorot mata kosongnya.

Saat itulah Fred akhirnya menyadari apa yang Winston inginkan dari Grace sebagai imbalan.

"Ja-jangan."

… Iblis itu ingin menodai malaikatnya.

Dengan keberanian yang tersisa, Fred menggertakkan giginya dan memohon. Namun, ketika Winston terus melecehkan Grace, permohonan itu segera berubah menjadi ancaman.

"A-aku bilang berhenti!"

Merasa bersalah sekarang? Menggertak di depan seorang wanita…?

Entah kenapa, si pengecut itu mendadak menunjukkan keberaniannya hanya karena bajingan ini tengah mempermainkan wanita yang ia lindungi. Leon menjulurkan lidahnya dan menjilat sisa darah yang mengotori leher jenjangnya.

Pria itu semakin gelisah.

"Jangan sentuh Grace!"

"Kau bersikap seperti itu, jadi kau pasti tunangan wanita ini."

Wanita yang selama ini menerimanya kini, untuk pertama kalinya, menggelengkan kepalanya. Leon mengangkat alis setelah melihat bahwa ia bukan tunangannya.

"Kau berhasil menipuku dengan cukup baik sejauh ini. Aku cukup menghargai kemampuan itu, jadi aku pasti akan kecewa jika kau benar-benar bertunangan dengan si tolol ini, Nona Riddle."

Saat ia kembali menekan bibirnya ke lehernya, Fred kembali melontarkan ancaman putus asa.

"Pa-Panglima, Panglima Tertinggi tidak akan membiarkanmu lolos…"

"Hentikan, Fred."

"Dia bahkan tidak tahu kalau kami berkencan, bukan?"

Leon melanjutkan sarkasme yang terselubung dalam kebanggaan.

"Berkencan dengan putri terakhir keluarga besar Riddle. Aku bahkan mendapat ciuman yang dalam, suatu kehormatan yang akan tetap menjadi cerita keluarga."

Mata Fred berkedut, sementara Grace kembali menggelengkan kepala. Kali ini, gestur itu ditujukan pada anak lelaki yang hina itu, bukan Leon.

Leon tertawa kecil saat menyadari bahwa makna di baliknya bukan seperti yang ia pikirkan.

"Ugh…"

Ia dengan cepat membalikkan tubuh Grace dan mencengkeram lehernya.

"Demi sang Duke, kau pelacur yang mau mencium siapa pun."

"Tidak, tidak."

"Jujurlah. Apakah kau diperintahkan untuk merayuku demi mendapatkan informasi?"

Wanita itu menggeleng, tapi Leon yang menangkap kebohongan dalam gesturnya, mempererat cengkeramannya.

"Hik… aku… tidak bisa bernapas…"

"Kau mengatakannya di meja biliar hari itu juga. Kau pikir aku cukup naif untuk dibodohi dua kali?"

Wajah Grace langsung memerah, tangannya terangkat, mencakar punggung tangan Leon.

Namun, amarah yang semakin berkobar membuat Leon tak merasakan sakit sedikit pun. Semua yang wanita ini lakukan—menggodanya, berpura-pura menyukainya, bahkan berendam telanjang di bak mandinya di tengah malam—hanyalah keindahan palsu yang memuakkan.

"Seberapa bodoh kau memandangku, huh? Bajingan tolol yang bahkan tidak tahu kalau yang ada di hadapannya adalah musuhnya sendiri."

Merasa telah diperdaya oleh kelicikan seorang mata-mata adalah penghinaan yang sulit ditelan. Lebih buruk lagi, fakta bahwa ia pernah menginginkan wanita ini membuatnya semakin muak pada dirinya sendiri.

"Tapi, kau bahkan mencoba kabur sebelum menyelesaikan misimu dengan benar? Mata-mata menyedihkan."

Saat pandangannya mulai berkunang-kunang, cengkeramannya di leher Grace tiba-tiba terlepas. Tubuhnya terhuyung dan jatuh ke lantai dengan keras. Terengah-engah, ia bahkan tak sempat merasakan sakitnya benturan tersebut.

"Haa… haa…"

"Beruntung bagimu, aku masih bajingan bodoh yang tidak menyadari musuhnya."

Grace mendongak.

Sosok hitam yang berdiri membelakangi cahaya tampak begitu tinggi dan mengerikan di hadapannya. Bahkan di tengah sesaknya napas dan pandangan yang mengabur, ia bisa dengan jelas melihat sosok mengerikan itu.

"Nona Grace Riddle, kau harus menyelesaikan misimu."

Melihat kegilaan yang mengintai di balik senyumannya, tubuh Grace bergetar, dan ia segera memejamkan mata rapat-rapat.

Di tengah suara kain yang bergesekan dan pakaian yang dilepas, Winston berbicara dengan suara mengejek.

"Kudengar kau mengajarkan para gadis cara menggunakan kecantikan duniawi?"

Jangan mencoba mengobarkan konspirasi sembrono. Kami tidak seburuk kalian, babi-babi kerajaan.

Mempertimbangkan nyawa kedua orang itu, tidak mungkin untuk mengatakannya. Grace menelan kembali kata-kata yang sudah sampai di ujung lidahnya.

"Jadi, ketika gadis Blanchard tertangkap, semua orang di atas hanya bisa meneteskan liur. Lagipula, kau adalah putri dari seorang pelacur yang telah menjerat banyak perwira militer dengan mulut bawahmu, jadi setidaknya ada lebih dari sepuluh orang di Barat ini saja yang menunggu untuk menangkapmu."

Berani-beraninya kau menyebut ibuku pelacur.

Grace membuka matanya dan menatap tajam ke arah Winston.

Lelaki mesum itu hanya tersenyum cerah. Dia melipat jas seragam perwira dengan rapi dan menggantungkannya di meja, lalu menggulung lengan bajunya dengan hati-hati sebelum menaikkannya ke siku.

Itu adalah kebiasaannya sebelum melakukan penyiksaan.

"Pelacur terakhir dari keluarga terhormat para wanita penghibur jatuh ke tanganku. Aku punya harapan yang tinggi."

Winston membungkuk dan mengulurkan tangan ke arahnya. Tangan yang tampak seperti milik seorang pria terhormat itu akan segera mempermainkan tubuhnya seperti seorang bajingan.

Grace melirik tangan menjijikkan itu lalu mengalihkan pandangannya ke dinding.

"Kirim dia ke tempat lain."

Mendengar ucapannya, Winston melirik Fred yang bergumam tak jelas seperti orang gila, lalu menggelengkan kepala.

"Kau tahu? Di masa lalu, selalu ada saksi di kamar pengantin baru pada malam pertama mereka."

Tidak ada gunanya mengharapkan akal sehat dari orang-orang yang tidak memilikinya. Grace mencondongkan tubuhnya ke arah belati di tangan lainnya.

"Lebih baik kau bunuh aku saja."

Winston terkekeh seolah Grace hanyalah anak domba yang menggemaskan dan berdiri tegak.

"Aku akan menutup matanya."

Fred berbisik sambil berjalan menuju lemari di seberangnya untuk mengambil kain penutup mata.

"Tolong… Grace, jangan lakukan itu."

Grace menggertakkan giginya.

Ini semua karenamu… Ini adalah sesuatu yang harus kulakukan demi kau. Jangan bersikap seolah aku menjual tubuhku dengan sukarela.

"Jika aku tidak melakukannya, apakah kau yang akan melakukannya?"

Ada nada pengkhianatan yang tak bisa disembunyikan dalam suaranya.

"Huh… Aku sumgguh, sungguh minta maaf."

"Kalau kau memang menyesal, jangan pernah memberitahu siapa pun tentang ini."

Tolong, Fred, diamlah… Agar tidak ada yang tahu aib ini.

Setidaknya, dia tidak ingin Jimmy tahu. Jimmy pasti akan menyalahkan dirinya sendiri karena telah menempatkannya di sarang singa. Di sisi lain, dia juga takut. Jika Jimmy menganggapnya kotor karena pria lain, karena dia tidur dengan musuh… Jika dia meninggalkannya…

'Tidak, dia bukan orang seperti itu. Dia mencintaiku. Jimmy mencintaiku. Aku mencintainya meskipun sekarang dengan si bajingan mesum ini…'

Dengan hati yang sedih, Grace mengulangi kata-kata yang sama seperti mantra saat Winston yang telah menutup mata Fred dengan kain penutup, semakin mendekat. Ketika pria itu membungkuk, dia menggigit giginya erat-erat.

"Sayang, kenapa kau gemetar seperti ini?"

Dia semakin menggigil dalam pelukan yang terasa akrab namun membuatnya muak.

"Apa kau kedinginan? Aku bahkan belum melepas pakaianmu… belum."

Ada tawa licik di akhir kata-kata yang seolah penuh perhatian itu.

Saat mengangkat tubuh Grace, Winston mendudukkannya di kursi besi untuk membaca koran. Sepatu Grace yang duduk di tepi kursi menyentuhnya karena posisinya yang miring, dan kepala pria itu sedikit menunduk ke samping.

Winston menatap Grace dengan ujung jari telunjuk bertumpu di pelipisnya, tanpa permintaan atau perintah.

"Tolong… Hiks, jangan…"

Keheningan yang tidak nyaman berlanjut, hanya diiringi isakan Fred.

Tatapan Winston menyisir tubuh Grace, diam dan penuh ketekunan, seperti binatang buas sebelum menerkam mangsanya.

Begitu pandangannya sampai pada pergelangan kaki yang terbungkus stoking murah, dia bergerak. Dia menyilangkan kakinya yang panjang dan mengangkat ujung sepatunya yang mengilap. Hembusan angin mengangkat roknya, tetapi Grace tidak berusaha menghindari pelecehan yang terang-terangan ini.

'…Semua ini sudah tak ada artinya lagi.'

Ujung sepatunya yang kaku masuk di antara kedua lutut yang tertutup rapat. Dia baru berhenti menekan bagian dalam lututnya setelah Grace dengan pasrah merentangkan kakinya selebar bahu.