Ditinggalkan di atas ranjang seperti sehelai kain lap, satu-satunya yang bisa Grace lakukan hanyalah menutup kedua kakinya yang telah terbuka selama berjam-jam.
Bra yang sobek sudah tidak berguna lagi. Dia ingin menutupi dadanya dengan blus dan seragam pelayan, tetapi dia bahkan enggan menyentuh pakaiannya sendiri. Cairan kotor telah berulang kali terciprat ke seluruh tubuhnya, membuat kulitnya lengket, dan seragam pelayan itu basah kuyup.
"…."
Dia pikir dirinya akan menangis setelah semua ini berakhir. Namun, ternyata itu hanyalah harapan yang terlalu optimis, karena dia bahkan tidak punya tenaga untuk menangis.
Ironisnya, sekarang dia merasa lebih lega dan bahagia daripada sedih atau marah.
'Akhirnya selesai…'
Suara air berhenti. Tak lama kemudian, pria itu keluar dengan handuk melilit pinggangnya dan mulai mengenakan pakaian yang tadi digantung di ranjang, satu per satu.
Binatang cabul itu kini berselimutkan kulit seorang bangsawan yang asketis dan elegan.
Dengan dasi yang terpasang sempurna dalam sekali percobaan, Winston berdiri di samping ranjang dan menatap ke bawah, ke arah Grace. Ada aroma sabun di tubuhnya. Berbeda dengan Grace yang masih terengah-engah, napasnya begitu tenang dan stabil.
Melihat sosoknya yang rapi, seolah pria ini bukanlah orang yang tadi mengerang selama berjam-jam di atas tubuhnya. Winston kemudian melepaskan tali yang mengikat pergelangan tangan Grace dan menggerakkan tangannya ke pahanya.
'Apa yang dia lakukan sekarang?'
Tiba-tiba, Winston mulai melepas klip garter dari pita stokingnya satu per satu.
Saat dia menarik celana dalamnya, mata Grace membelalak. Apakah dia sedang mengambil 'barang rampasan'? Namun, bahkan tindakan menyimpang ini pun terasa biasa saja jika dibandingkan dengan kebrutalan Winston yang melampaui dugaan.
"Aku harus berterima kasih untuk hidangan ini."
Dia akan mengirimkan pakaian dalam Grace—yang ternoda darah dan cairan kotornya—kepada Jimmy.
"Karena aku tahu sopan santun."
Tangan yang bersih tanpa cela itu melipat kain kotor dengan rapi dan menyelipkannya ke dalam jasnya. Grace berpikir sejenak, lalu meraih Winston dengan putus asa.
"Tolong, jangan. Aku akan melakukan apa saja."
Winston menepis tangan Grace yang berusaha mencengkeramnya, lalu berdiri dan bertanya dengan suara sedingin es.
"Kau masih ingin menikahi bajingan itu? Apa panglima besarmu yang hebat itu masih menginginkan wanita yang rela membuka kakinya untuk musuh?"
Pria ini… Kenapa dia berbicara tentang pernikahan yang bahkan tidak pernah dia sebutkan sebelumnya?
"Itu tidak penting. Tolong, aku sudah melakukan semua yang kau inginkan. Apa lagi yang ingin kau dapatkan dengan menginjak-injakku seperti ini? Mari kita buat kesepakatan lagi, huh? Kau pasti menginginkan sesuatu yang lain dariku, bukan?"
Leon menggertakkan giginya. Setelah mendengar kata-kata "Itu tidak penting," sisanya seolah tak lagi masuk ke dalam telinganya.
"Nona Riddle, jangan kenakan gaun pengantin putih, sekalipun pria itu masih bersedia menikahimu dengan murah hati."
"…."
"Karena kau sudah tidak suci lagi."
Dia mengulurkan tangan untuk menatap Grace lebih dekat. Ujung ibu jarinya yang lembut mengusap pipi kasar Grace yang telah kering oleh air mata dan cairan kotornya. Kata-kata keji mengalir dari bibirnya yang masih menyunggingkan senyum anggun.
"Kalau begitu, aku akan mewarnainya merah terang. Bagaimana?"
Grace bingung. Apa yang sebenarnya diinginkan pria ini?
Dia bertindak seolah-olah hanya menginginkan tubuhnya, tetapi pada kenyataannya, tubuh saja tidak cukup memuaskannya. Dia ingin merendahkannya sepuas hati, dan bahkan ketika Grace bersedia melakukannya, pria itu sering berperilaku seperti orang yang justru telah dihina olehnya.
Dia tahu betul bahwa bagi pria itu, ini adalah pembalasan pribadi, bukan penangkapan resmi. Namun, intuisi Grace mengatakan bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar balas dendam dalam perasaan pribadinya yang ekstrem ini.
'Apa dia benar-benar menyukaiku?'
Itu pemikiran yang konyol. Pada saat itu, dia yakin pria itu belum mengetahui identitasnya yang lain.
"Ini satu-satunya warna putih yang cocok untukmu."
Winston mengangkat salah satu sisi dada Grace, ingin melihatnya lebih jelas. Cairan kotornya yang belum sepenuhnya mengering, menggumpal di puting yang memerah akibat gigitan dan bekas bibirnya.
"Sangat cocok untukmu."
Dia tertawa pelan dan membalikkan badan.
"Tolong, Winston! Kapten, tolong!"
Dia tahu tak ada gunanya memohon, tetapi pikirannya kosong, dan dia mengejarnya ke pintu, meraih lengan bajunya dengan putus asa. Dia bahkan memanggilnya Kapten dalam kehinaan.
Namun, pria itu dengan mudah menepisnya.
Kakinya yang masih gemetar setelah lama dipaksa terbuka, melemas tak berdaya, dan Grace pun terjatuh ke lantai. Winston yang hendak membuka pintu, menoleh dan menatapnya dari atas.
Grace yang telah dihina, tetapi kali ini, tatapan mata pria itu seolah-olah dialah yang justru telah tersakiti.
"Pelacur Blanchard. Aku menantikannya sejak mendengar rumor tentangmu…"
Dia mendecakkan lidahnya dengan singkat.
"Ternyata tidak seistimewa itu."
Dia meninggalkan ejekan dingin sebelum akhirnya menghilang.
Ketika kepergiannya menyingkirkan aroma sabun yang sama sekali tidak cocok dengan ruang penyiksaan, bau lain pun memenuhi udara.
...Bau keringat, bau sperma, bau darah.
Grace mengulang-ulang kata-kata yang sama sambil terbaring di lantai dingin, tubuhnya masih berbau siksaan.
Suatu hari nanti, aku juga akan menyiksamu. Aku akan menyiksamu dengan kejam. Aku akan membuatmu menderita.
Jadi, cobalah memohon.
Satu-satunya yang akan kau dapatkan hanyalah penyesalan.
***
Kenapa mereka membawanya ke sini?
Fred tak bisa melepaskan pandangannya yang gemetar dari barisan tentara di hadapannya. Apakah mereka akan mengeksekusinya?
Di tengah lapangan terbuka seperti ini, tak ada tempat untuk bersembunyi. Di belakangnya, ada stasiun trem dan sebuah kota kecil, tetapi jaraknya terlalu jauh untuk melarikan diri. Lagipula, setelah disiksa sepanjang malam, bahkan untuk berjalan pun terasa mustahil karena seluruh tubuhnya dipenuhi rasa sakit.
Tak lama kemudian, sebuah sedan hitam meluncur dengan mulus dan berhenti di belakang para tentara. Pintu penumpang terbuka, dan Campbell keluar untuk membukakan pintu belakang.
Winston keluar dari dalam mobil.
Fred menahan napas, merasa seperti seekor panther hitam yang anggun tetapi mematikan sedang mendekatinya. Sepatu kulit hitam yang mengilap itu berhenti dua langkah di depannya, meredam rumput yang masih basah oleh embun pagi.
Winston meletakkan tangannya di belakang dan menatap Fred. Mata terang itu memantulkan cahaya merah fajar.
Saat itu, Fred berpikir.
Sebenarnya, mata merah itulah wajah asli iblis tersebut.
Iblis itu tidak mengatakan apa pun.
Seiring dengan semakin lamanya keheningan, imajinasi Fred semakin liar.
Apakah Winston membawanya ke sini agar dia mau memuntahkan lokasi markas mereka? Lalu, mengancam akan membunuhnya jika dia menolak bicara? Atau mungkin dia dibawa ke lapangan ini untuk dijadikan sasaran perburuan manusia? Atau, jika lokasi markas tetap tidak terungkap sampai akhir, kakak-kakaknya akan mengalami apa yang dialami Grace kemarin?
Tapi bagaimana jika dia bilang akan membunuhku di sini?
Itu adalah momen penuh konflik, dan tubuhnya gemetar ketakutan.
"Aku akan membiarkanmu hidup."
Bibir Leon terangkat miring, meski matanya tidak tersenyum.
Tikus pengecut yang gemetar ketakutan itu langsung terlihat lega saat Winston menawarkan nyawanya. Tanpa ragu, Fred segera berlutut dan menjilat sepatu pria itu. Dia bahkan tidak menanyakan apa yang terjadi pada Grace, meskipun dia dengan pengecut menyelamatkan dirinya sendiri dengan menjual perempuan itu.
Tidak kompeten, bergantung pada orang lain, dan egois. Dia adalah jenis manusia yang paling menjijikkan.
Winston ingin mengubah pikirannya.
"Tapi ada syarat."
Namun, tikus itu masih berguna.
"Jika kau berjanji akan menjalankan tugas yang diberikan dengan baik."
"Ya, ya! Apa pun yang Anda perintahkan…"
Leon mengulurkan sebuah paket kecil kepada pengecut licik itu. Bungkus kertas cokelat itu tertulis nama pengirim Leon Winston dan nama penerima James 'Little Jimmy' Blanchard Jr.
"Katakan ini pada komandanmu."
Ini akan membuatnya sadar bahwa meremehkan Winston adalah kesalahan fatal.
Tangan Fred yang berlumuran darah akibat kukunya yang dicabut, gemetar saat menerima paket itu. Dengan mata bengkak dan membiru, dia melirik Winston sebelum mulai menyeret kakinya dan berlari pelan ke belakang.
Dia takut jika membelakangi pria itu, sebuah peluru akan menembus bagian belakang kepalanya. Winston tersenyum padanya dan menunjuk ke arah stasiun trem di kejauhan.
"Pergilah sekarang."
Fred menghela napas lega dan membalikkan badan. Saat melihat tikus itu tertatih-tatih melintasi lapangan, Winston membuka sarung pistolnya dan menarik senjatanya.
Bang.
"UWAAH!"
"Haha."
Sungguh konyol. Peluru itu hanya mengenai bunga liar yang mekar satu langkah di belakang Fred, tetapi dia bereaksi seolah terkena tembakan. Tubuhnya langsung ambruk, anggota badannya gemetar, sebelum akhirnya dia mulai merangkak di tanah seperti binatang dan melarikan diri.
Winston yang menembakkan beberapa peluru penghormatan hanya untuk bersenang-senang, memasukkan kembali pistolnya dan memberikan instruksi.
"Campbell."
"Ya."
"Lacak dia. Jangan sampai lolos. Habisi setelah tugasnya selesai."
"Baik, saya akan melakukannya tanpa kesalahan."