"…Apa?"
"Kau."
Leon yang hendak mengatakan bahwa memata-matai itu buruk, tiba-tiba kehilangan kata-kata.
"Kau sangat menawan."
Gadis itu menutupi pipinya yang memerah dengan kedua tangan, lalu tersenyum malu-malu.
Ini pertama kalinya seseorang mengatakan bahwa dia menawan, meskipun dia sudah bosan mendengar dirinya tampan. Bahkan ibunya yang tidak menyukainya, mengakui bahwa setidaknya dia memiliki wajah yang menarik.
"Untuk seorang pria, seharusnya kau mengatakan 'tampan', bukan 'menawan'."
"Wow… kau terlihat lebih menawan saat marah."
Anak ini benar-benar aneh. Namun, melihat mata biru kehijauan yang berkilauan, ada kehangatan aneh yang menyelimuti suasana, bahkan di bawah naungan pohon.
"Jadi, begini."
Gadis itu menyatukan kedua tangannya di belakang punggung dan menggoyangkan tubuhnya, seolah ingin meminta sesuatu.
"Apa?"
"Bolehkah aku menyentuh rambutmu sekali saja?"
Leon kembali terdiam oleh permintaan tak terduga itu.
'Kenapa kau melakukan ini pada seseorang yang baru pertama kali kau temui?'
Ekspresi Leon yang kurang menyenangkan membuat gadis itu panik dan buru-buru memberikan alasan untuk permintaannya yang aneh.
"Maaf. Tapi rambutmu begitu indah sampai aku ingin menyentuhnya! Sepertinya lembut dan halus."
"Aku bukan anjing."
"Bukan begitu maksudku…"
"Aku belum pernah melihat gadis sepertimu."
Gadis itu langsung manyun. Matanya yang besar mulai berair. Leon mendadak gugup, takut kalau-kalau dia akan menangis.
"Bukan, aku tidak bermaksud begitu…"
Bukan dalam arti yang buruk.
Dia hanya terkejut melihat seorang anak yang berbicara dengan begitu blak-blakan, berbeda dari gadis-gadis lain yang selalu menyembunyikan perasaan mereka. Sejujurnya, ini cukup menghibur. Dia jadi penasaran kata-kata aneh apa lagi yang akan keluar dari mulut gadis ini.
"Ini."
Leon menundukkan kepalanya. Masih lebih tinggi darinya, gadis itu berjinjit, dan Leon sedikit menekuk lututnya.
Tangan mungil gadis itu menyentuh rambutnya yang tertata rapi dengan pomade. Leon sempat berpikir betapa lucunya jika ada yang melihat putra Mayor Winston diperlakukan seperti anak anjing oleh seorang gadis biasa.
Namun, saat gadis itu tersenyum lebar seperti anak anjing yang kegirangan, sudut bibir Leon yang semula sinis perlahan melurus.
"Wow, lembut sekali. Kupikir akan terasa dingin karena warnanya dingin, tapi ternyata hangat."
"Karena sekarang musim panas."
Anak ini benar-benar bodoh.
"Kurasa begini rasanya jika menyentuh matahari."
Begitu gadis itu menarik tangannya, Leon kembali meluruskan tubuhnya.
"Terima kasih."
"Semoga semua rasa penasaranmu sudah terjawab."
Gadis itu mengangguk.
"Aku iri. Aku juga ingin berambut pirang. Seluruh keluargaku berambut pirang, tapi hanya aku yang berambut cokelat."
Anak itu mulai menceritakan hal-hal yang tidak ditanyakannya.
Biasanya, saat gadis-gadis mulai berbicara tentang hal yang tidak menarik baginya, Leon akan mencari alasan untuk pergi. Dia akan berdalih ada kelas berkuda atau urusan lain yang harus dilakukan. Namun, anehnya, kali ini kakinya enggan melangkah pergi.
Gadis itu terus berceloteh sendiri, lalu tiba-tiba wajahnya memerah. Dia mulai mengobrak-abrik tas kecil yang melintang di tubuhnya.
"Ini, cokelat."
Cokelat dengan merek murahan yang berasal dari tempat cukup jauh itu tampak penyok di sudut-sudutnya, seolah sudah lama tersimpan di dalam tas.
Leon tidak suka makanan manis. Biasanya dia akan langsung menolak, tetapi entah kenapa, kali ini dia menerimanya begitu saja. Padahal cokelat murah seperti itu pasti akan langsung dibuang oleh ibunya seolah sesuatu yang tidak layak dimakan…
"Kenapa memberikannya padaku?"
"Sebagai bayaran untuk mengintip."
"Padahal aku menyimpannya untuk kumakan sendiri," tambah gadis itu sambil tersenyum malu-malu.
Rasanya seperti merampas permen dari mulut anak yang kurang mampu.
Saat itu, Leon hanya ingin mengembalikannya.
"Aku akan datang mengintip lagi lain kali."
Gadis itu melambaikan tangan dan berlari pergi. Dengan bangganya, dia bahkan mengatakan akan kembali mengintip.
'Dia benar-benar anak yang aneh.'
Saat itu, Leon menyadari bahwa dia lupa menanyakan namanya.
Melupakan hal mendasar seperti itu… Ia merasa itu adalah kesalahan gadis itu sendiri karena begitu mengganggu pikirannya.
Dia berniat menanyakannya jika mereka bertemu lagi, tetapi keesokan harinya hujan turun sepanjang hari.
Anak itu terlihat agak polos. Leon sempat khawatir apakah dia akan tetap datang untuk mengintip meskipun cuacanya buruk seperti ini.
Namun, mungkin justru Leon yang lebih naif. Karena sepanjang hari itu, dia duduk menunggu di dekat jendela yang menghadap ke dinding tempat gadis itu biasa muncul. Bahkan, dia sempat meletakkan payung di dekatnya.
Tapi gadis itu tidak pernah datang.
…Itu melegakan, tapi kenapa dia merasa kesal?
'Kau tidak datang hari ini?'
Begitu kelas selesai, Leon segera menuju jendela tempat tatapannya terpaku sepanjang hari kemarin, dan sekali lagi merasa kecewa. Saat dia membalikkan badan untuk menatap pohon jeruk, yang ada di sana hanyalah jeruk-jeruk yang bergelantungan.
"Mau ke mana? Ada tamu yang datang."
Saat dia sedang mengeluarkan sepedanya dari tempat parkir, si kutu buku dengan dasi kupu-kupu datang dan mengeluh.
"Ya, aku tahu."
"Mereka orang-orang yang dipanggil ibu untuk menyambutmu."
"Jerome Winston, demi ibu yang ingin kau menjadi anak sulung, hari ini kau lah anak sulungnya."
Leon naik ke sepedanya dan berkata dengan nada perintah yang merupakan favorit ayahnya.
"Aku bukan bawahanmu!"
Saat dia mulai mengayuh, Jerome berteriak dari belakang. Leon berhenti sejenak dan melirik ke arah adiknya.
"Kenapa kau tidak lahir lebih dulu saja?"
"Aku akan mengadu!"
"Dasar pengadu cengeng."
Dia kembali meniru kebiasaan ayahnya. Jerome langsung terdiam, seolah harga dirinya tersentuh, lalu mendengus kesal.
"Jerome, kau terlalu jujur, jadinya tidak seru."
Leon tertawa kecil ke arah adiknya, lalu kembali mengayuh sepedanya.
'Kalau kau tidak datang, aku yang akan mencarimu.'
Masalahnya dia tidak tahu di mana gadis itu tinggal. Haruskah dia memeriksa semua pohon jeruk di pantai Abbington? Setelah sekitar satu jam mencari di bukit tempat vila-vila mewah berkumpul dan di jalanan pertokoan di bawahnya, dia mulai merasa sedikit putus asa.
Matahari perlahan naik, panasnya semakin terasa. Bersepeda di bawah terik membuatnya kehausan.
Saat mengikuti jalur di tepi pantai, Leon berhenti ketika melihat kios jajanan yang menjual es krim. Dia pun memarkir sepedanya di pagar pinggir jalan…
"Tidak punya uang?"
…Itu suara gadis itu.
'Ketemu kau.'
Leon dengan rapi menyapu rambutnya yang mungkin berantakan karena bersepeda.
"Aku kepanasan dan haus… Aku akan membayarnya besok."
Grace berpegangan pada kios koran dan memohon sekali lagi.
"Bawa orang tuamu."
Namun, pria penjual es krim itu tetap tak bergeming sedikit pun.
Aku tidak tahu di mana orang tuaku. Pagi ini, jelas sekali aku mendapat uang dari ayah, tapi setelah bermain di pantai, uang itu menghilang. Benar-benar pemborosan. Jika ayah tahu, dia pasti akan memarahiku. Jadi, apakah aku hanya harus makan jeruk di jalan sepanjang hari ini?
Di kota kami, tidak seperti ini. Semua orang di luar sini sepertinya memiliki hati yang terbuat dari es.
Air mata mulai menggenang. Dengan perasaan sedih dan terluka, Grace mundur selangkah dan menggerutu kepada penjual yang tak bersalah itu.
"Kenapa tidak? Tsk… keterlaluan. Ini berhasil di kota kami."
"Kalau begitu, kembali saja ke desamu. Jangan mengganggu kalau kau hanya seorang pengemis."
"Aku bukan..."
Saat dia menundukkan kepala dan hendak pergi, sebuah tangan asing menggenggam bahunya dengan lembut.
"Kau tak bisa menolong seorang gadis dalam kesulitannya, tapi malah bersikap kasar dan memperlihatkan keburukanmu."
Mata Grace melebar saat dia mendongak.
'Astaga! Anak tampan itu.'
Pipinya langsung memanas. Mungkin karena tangan yang dengan lembut menahan bahunya, atau mungkin karena rasa malu setelah menunjukkan sisi dirinya yang paling tidak berharga.
"Aku mau sebotol air soda. Bukan Appenzeller, tapi Chalet. Dan untuk nona...?"
Saat anak laki-laki itu bertanya dengan sopan, kembali menyebutnya nona, Grace buru-buru menjawab.
"Satu stik es krim untukku. Itu saja."
Anak laki-laki itu terlihat begitu keren saat membeli sebotol air soda.
Dia bahkan memesan merek dengan label yang sulit dalam bahasa asing, membuat air soda itu tampak seperti anggur mewah. Sementara itu, memesan es krim stik membuat Grace merasa seperti anak kecil. Jadi, dia menambahkan alasan bahwa dia tidak tahu harus memesan apa, meskipun sebenarnya dia memang ingin makan es krim.
"Rasa apa?"
Anak itu tidak hanya tampan, tetapi juga baik hati. Dia bahkan menanyakan rasa apa yang ingin Grace makan.
"Cokelat dan vanila paling laris. Kalau tidak suka, ada jeruk, lemon, stroberi..."
Penjual yang tadi tampak menyeramkan bagi Grace kini terlihat berbeda di hadapan anak laki-laki itu. Dia mengeluarkan semua pilihan es krim dari kotak pendingin dan menunjukkannya. Mungkin, bahkan jika Grace membawa uang, dia tidak akan diperlakukan seantusias ini.
Mungkin karena anak itu terlihat seperti seorang bangsawan, tidak peduli bagaimana pun caranya.
Bahkan tanpa melihat kemeja polo mahal dan jam tangan di pergelangannya, sikapnya yang berdiri tegak dengan pandangan santai sudah memancarkan aura kebangsawanan.
"Kalau begitu, stroberi..."
Saat anak laki-laki itu memperhatikan, si penjual dengan sigap mengambil es krim rasa stroberi dan menyodorkannya kepada Grace dengan kedua tangan.
"Ya, stroberi untuk nona. Ini dia."
Sejak kecil, dia diajarkan bahwa bangsawan itu mengerikan. Orang dewasa menyebut para bangsawan sebagai babi rakus. Namun, begitu dia keluar dari kotanya, dia menjadi ragu. Semua orang di luar tampaknya menyukai para bangsawan.
Grace memang tidak mengenal bangsawan lain, tetapi anak laki-laki ini baik.
"Terima kasih."
Anak itu tersenyum dengan anggun.