Chapter 46

Bang.

Target 25 poin itu jatuh.

"Sial…"

Seiring berjalannya permainan, umpatan penjaga stan semakin panjang. Di sisi lain, suara decak kagum yang datang dari sebelah Leon semakin terdengar jelas.

"Wow, itu keren sekali."

Leon tidak pernah membayangkan keterampilan menembaknya yang selama ini diasah akan berguna di tempat seperti ini.

"Ini akan berguna suatu hari nanti saat kau menemukan gadis yang kau suka."

Tiba-tiba, ia teringat kata-kata ayahnya ketika mengajarinya menembak. Itu bukan tentang memburu wanita, juga bukan tentang membunuh saingan demi memiliki seseorang. Mungkin, inilah yang dimaksud ayahnya?

Pada akhirnya, dengan total 125 poin, Leon tidak hanya memenangkan boneka lumba-lumba, tetapi juga kupon untuk stan permen.

"Ini."

Leon mengambil boneka itu dari pemilik stan yang menggerutu dan meletakkannya di pelukan Daisy.

"Luar biasa! Kakakku atau Jimmy bahkan tak pernah berhasil."

Saat gadis itu menatapnya dengan kagum, ia merasa seperti seorang pahlawan.

Di stan permen, Daisy memilih apel karamel. Lalu, ia mengulurkan stik dengan apel berbalut sirup merah mengilap.

"Kau juga makan."

"Aku tidak terlalu suka yang manis…"

"Ah…"

Saat Daisy menarik kembali apelnya dan menggigitnya, Leon kehilangan kata-katanya. Dengan apel merah di mulutnya, gadis itu menatapnya dengan mata bulat yang berkilau di bawah cahaya.

Terpikat oleh pemandangan itu, Leon menundukkan kepalanya.

Kriuk.

Ia menggigit sisi lain dari apel itu. Rasa segar apel berpadu dengan manisnya gula yang meleleh di lidahnya.

Apakah ciuman rasanya seperti ini?

Mata mereka bertemu, hanya dipisahkan oleh apel sebesar kepalan tangan. Saat itu, Grace menyadari bahwa cahaya di langit bisa terasa sepanas kembang api. Sementara itu, Leon merasa canggung dan ingin menjauh, tetapi ia tak bisa. Bibirnya menempel pada sirup lengket dan enggan melepaskannya.

…Mungkin, itu hanya alasan yang dibuat-buat.

Ketika ia sedikit memiringkan kepalanya, kelopak mata yang tadi tertutup perlahan terbuka, memperlihatkan sorot mata yang menatapnya dalam diam.

Leon mengulurkan tangan dan menyentuh pipi Grace yang masih terdiam, lupa menggigit apelnya. Saat merasakan kelembutan kulit gadis itu, jantung Grace berdebar kencang.

Ia merasa seperti akan pingsan, padahal yang dilakukan Leon hanyalah menyingkirkan helai rambut dari pipinya.

"Rasanya seperti kita sedang berciuman."

Mereka berbagi pemikiran yang sama, berbagi satu apel dengan wajah yang lebih merah dari apelnya sendiri.

Sejak saat itu, mereka berjalan sambil berpegangan tangan, menggunakan alasan bahwa mereka bisa tersesat di tengah keramaian. Saat langkah mereka terus berjalan, mereka meninggalkan karnaval yang sesak dan memasuki distrik perbelanjaan yang lebih tenang—namun, tangan mereka tetap saling menggenggam.

Mereka mengintip ke dalam sebuah toko perhiasan, tempat yang biasanya tidak akan mereka masuki. Mata Grace terpaku pada gelang manik kaca yang memancarkan warna biru seperti cahaya laut yang menyegarkan.

"Menurutku ini akan cocok untukmu."

Leon meraih dompetnya, tapi Daisy segera menggeleng dan melambaikan tangannya.

"Tidak. Tidak usah."

"Kenapa? Kalau kau tidak suka, kita bisa cari yang lain…"

"Ibuku bilang aku tidak boleh berdandan cantik."

Leon tertegun.

Di mana ada ibu yang melarang putrinya untuk berdandan dan tampil cantik?

Daisy memang terlihat sederhana—tanpa kalung, tanpa pita di rambutnya. Awalnya, Leon mengira itu karena dia miskin. Tapi ternyata bukan… Dia memang tidak boleh berdandan?

"Kenapa?"

"Aku tidak tahu. Tapi ibuku sangat, sangat cantik."

"Kau juga sangat cantik. Ada keindahan laut di matamu."

Sekali lagi, jantung Grace berdebar.

"Ada laut… di mataku?"

Anak laki-laki di depannya ini berbicara dengan begitu indah.

Laut yang pertama kali ia lihat dalam hidupnya sungguh menakjubkan. Tapi, pemandangan yang lebih indah justru ada di dalam matanya?

Ia ingin tersenyum seperti orang bodoh.

"Aku… cantik?"

Gumam gadis itu pelan, lalu menarik kerah bajunya untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah. Leon tertawa kecil, mengambil topi jerami dari dinding, dan meletakkannya di kepala Daisy.

"Kalau begitu, pakai ini saja."

Leon tidak ingin berpisah.

Ia tidak melepas tangan Daisy sepanjang hari, meskipun ia tahu bahwa seharusnya ia mengantarnya kembali sebelum terlalu larut.

"Aku pasti akan dimarahi saat kembali ke vila."

…Namun, bahkan saat pikiran itu melintas, matanya tetap terpaku pada bibir merah Daisy.

Setelah menyaksikan matahari terbenam di pantai, mereka menikmati makan malam di restoran seafood. Anak-anak yang mulai beranjak dewasa itu berkeliaran tanpa pendamping, menarik perhatian orang-orang di sekitar. Tapi, mereka berdua sama sekali tidak peduli dengan tatapan itu.

Satu per satu, bar jazz mulai dibuka, irama musik jazz bercampur dengan suara ombak. Mereka berjalan menyusuri laut yang semakin gelap dan kembali ke karnaval.

Kini, karnaval yang hampir tutup terasa jauh lebih sunyi.

Satu per satu, wahana mulai berhenti, mematikan lampu-lampu terang dan musik yang riuh. Waktu perpisahan mereka pun semakin mendekat.

Tak ingin berpisah, Leon menggenggam tangan Daisy dan membawanya ke bianglala, satu-satunya wahana yang masih menyala.

"Hari ini sudah berakhir. Kembalilah besok."

Setelah membayar lima kali lipat harga tiket, staf wahana itu membukakan pintu bianglala dengan sopan, seperti seorang pelayan yang membuka pintu kereta kuda.

Kabin bianglala yang hanya berisi mereka berdua mulai berputar perlahan.

"Wow…"

Saat cahaya dan kegelapan terbentang di bawah kakinya, Grace terpesona. Jalan-jalan perbelanjaan yang berkilauan dan pantai yang gelap tampak terpisah oleh jalan pesisir.

Di atas laut hitam yang dihiasi seberkas cahaya bulan dan lampu kapal pesiar, bianglala yang mencapai puncaknya tiba-tiba berhenti.

Seakan itu belum cukup, musik jazz yang terdengar samar kini benar-benar menghilang, tertelan oleh suara angin laut.

Bianglala tanpa jendela itu bergoyang tertiup angin, membuatnya ketakutan.

Mengalihkan pandangannya dari pemandangan malam, Grace merapatkan dirinya ke lengan Leon, memeluknya lebih erat, lalu mendongak menatapnya.

'Ada apa?'

Leon menatap Grace lekat-lekat.

Jika dipikir-pikir, dia sudah seperti ini selama berjam-jam. Saat senja, dia hanya menatap wajahnya. Bahkan di restoran, dia hampir tidak menyentuh hidangan lobster yang lezat dan terus saja melihat ke arah Grace.

Entah kenapa, rasa gugup yang ia rasakan saat melihat ke bawah kini kembali muncul. Tanpa sadar, Grace menggigit bibir bawahnya.

"Daisy, kau berdarah."

"Oh…"

Ia terlalu keras menggigit bibir tipisnya.

"Ah, saputangan…"

Leon merogoh sakunya, tampak kebingungan. Saputangan yang terkena noda stroberi tadi siang sudah ia buang. Seharusnya ia membeli yang baru.

"Tunggu."

Daisy menjulurkan lidahnya, berniat menjilat luka di bibirnya, tetapi Leon dengan lembut menahan dagunya.

Saat ia menundukkan kepala di bawah bayangan topi jerami, ujung hidung mereka saling bersentuhan.

Begitu Leon sedikit memiringkan kepalanya, bibir Daisy pun terbuka.

Semua itu terjadi sebelum ia sempat berpikir apakah hal ini boleh dilakukan atau tidak.

Mungkin, ia bisa beralasan bahwa ini adalah hal yang biasa dilakukan pengasuhnya saat kecil ketika ia terluka. Tapi, tidak ada alasan untuk melakukan ini, terutama saat ia sadar betul bahwa yang disentuhnya adalah bibirnya.

Sepanjang hari, ia bertanya-tanya seperti apa rasanya bibir Daisy.

Sama seperti Daisy yang bertanya-tanya bagaimana rasanya menyentuh rambut Leon.

Ini lembut dan hangat.

Leon menekan lembut bibirnya yang empuk dengan miliknya, lalu dengan hati-hati menjilat luka berdarah itu dengan ujung lidahnya.

Tubuh Daisy bergetar.

Leon telah melakukan banyak hal buruk yang bisa membuatnya dimarahi jika ketahuan, tapi tak pernah sekalipun jantungnya berdetak sekencang ini.

Saat ia menjilat luka itu, bibir mereka sedikit terbuka, dan gadis itu berbisik dengan suara terkejut.

"Ini… ciuman. Ciuman pertamaku…"

Leon yang mengira Daisy akan merasakan hal yang sama, justru terkejut dengan pengakuannya.

"Jadi, kau tidak suka…?"

"…Suka."

Kata-kata jujur itu lolos dari bibirnya yang tersenyum malu-malu.

Leon menyukai kejujurannya yang polos itu.

"Bolehkah… aku melakukannya lagi?"

Begitu Daisy mengangguk, bibirnya yang tersenyum kembali menyatu.

Rasanya tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa ciuman terasa seperti terbang.

Ciuman yang diam-diam dibagi di atas bianglala yang menggantung tinggi di langit, dengan dunia di bawah kaki mereka, terasa begitu mendebarkan.

Saat angin kencang bertiup, Leon menekan wajah Daisy lebih dekat dengan satu tangan sambil menahan topi jeraminya yang hampir terbang tertiup angin.

Bianglala kembali bergoyang diterpa angin.

Takut terjatuh, Daisy semakin erat memeluk lengan Leon. Bibir mereka semakin menekan satu sama lain, dan tubuhnya terasa panas—aroma segar permen apel, tekstur lengket toffee, rasa lembut milkshake, serta darah yang merembes dari bibirnya yang terasa seperti karnaval.

Darah itu manis.

Leon berpikir begitu, tenggelam dalam serbuan sensasi yang membutakan pikirannya.

Mungkin, mulai hari ini, dia akan mulai menyukai makanan manis.

***

Vila Daisy terletak di pegunungan terpencil.

Untungnya, Leon datang dengan sepeda yang memiliki lampu minyak.

Ia menyusuri jalan setapak yang gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lampu minyak, sambil menggenggam tangan Daisy dengan satu tangan dan menuntun sepedanya dengan tangan yang lain.

"Tempat ini cukup jauh dari vilaku."

Leon menghela napas saat menaiki tanjakan terjal.

Di sisi jalan gunung, ia bisa mendengar deburan ombak kasar yang menghantam tebing pantai di dekat mereka.

"Kau berjalan kaki setiap hari?"

Daisy mengangguk.

'Seharusnya aku berbicara denganmu lebih awal…'

Di saat penyesalan dan rasa bersalah bercampur, Leon menyadari sesuatu.

Ada satu pertanyaan penting yang belum sempat ia tanyakan.