CHAPTER 1:Lapar, Haus, dan Hampir Mati Konyol
Aku berdiri di tengah padang rumput luas, angin sejuk berembus lembut di sekelilingku. Langit cerah. Udara segar. Pemandangan indah sejauh mata memandang.
Tapi...
Perutku berbunyi keras.
Aku menghela napas panjang dan memegangi perutku yang kosong. "Sial... Aku lapar."
Bukan sekadar lapar biasa. Ini lapar yang bisa bikin seseorang mulai mempertimbangkan makan rumput. Aku harus cari makanan.
Aku mulai berjalan, melewati bukit kecil, menuruni lembah hijau, hingga akhirnya aku melihat sekumpulan pepohonan di kejauhan. Hutan. Mungkin ada sesuatu yang bisa dimakan di sana.
Dengan langkah gontai, aku memasuki hutan. Suasananya seketika berubah. Dari padang rumput terbuka yang damai, kini aku dikelilingi pepohonan tinggi yang menjulang seperti raksasa bisu. Bayangan dedaunan menutupi sebagian besar cahaya matahari, membuat udara terasa lebih dingin.
Aku berjalan lebih dalam, mataku mulai mencari sesuatu-buah, jamur, apa saja yang bisa dimakan. Tapi sejauh ini... nihil.
Aku mulai merasa lemas. Kakiku berat. Tenggorokanku kering. Aku butuh air.
Aku berhenti sejenak, mencoba mendengarkan suara sekitar. Gemericik air. Aku menoleh ke kiri. Di kejauhan, samar-samar terdengar suara air mengalir.
Aku tersenyum kecil. "Akhirnya sesuatu yang benar di dunia ini." Dengan semangat baru, aku berjalan lebih cepat menuju suara itu.
Namun, sebelum aku sampai-
GROOOAAARRR!
Langkahku langsung terhenti. Bulu kudukku meremang. Pelan-pelan, aku menoleh ke kanan.
Di balik semak-semak, sepasang mata merah menyala menatapku. Seekor serigala raksasa muncul dari balik bayangan pohon. Bulunya hitam pekat. Taringnya tajam. Dan air liurnya menetes di antara giginya.
Aku terpaku di tempat. Serigala ini besar. Sangat besar. Jauh lebih besar dari serigala normal. Bahkan ukurannya mendekati kuda dewasa.
Aku mencoba berpikir jernih. Oke, Kosagi. Jangan panik. Jangan gerak tiba-tiba. Jangan tampak lemah.
Serigala itu menyeringai. Suara geraman terdengar dari tenggorokannya.
Oke. Ini buruk.
Aku menelan ludah. Lalu aku tersenyum kecil.
"Baiklah... Ayo kita bicara dulu. Aku yakin kita bisa menyelesaikan ini tanpa kekera-"
Serigala itu meloncat ke arahku.
Aku langsung berbalik dan lari sekencang-kencangnya.
"AHAHAHAHA! AKU BELUM MAU MATI, BODOH!"
Aku menerobos semak-semak, lompat melewati akar pohon, bahkan nyaris tersandung batu besar. Aku bisa mendengar napas berat serigala di belakangku. Semakin dekat.
Aku terus berlari. Napasku mulai tersengal. Kakiku gemetar. Di depan, aku melihat cahaya terbuka-tebing!
Di bawahnya, sebuah air terjun mengalir deras. Aku punya dua pilihan:
1. Melompat dan berharap bisa selamat.
2. Tetap di sini dan jadi santapan serigala.
Pilihan yang mudah, kan?
Aku menggertakkan gigi, siap melompat-
Tapi tubuhku sudah terlalu lemah. Sebelum aku sempat bergerak, kakiku kehilangan tenaga. Aku jatuh terduduk di ujung tebing.
Perutku melilit. Dadaku naik turun. Tubuhku benar-benar kehabisan tenaga.
Serigala itu berhenti beberapa meter dariku. Ia tidak langsung menerkam. Seolah ia tahu aku sudah tak bisa melawan.
Aku mendongak ke langit, terbatuk kecil, lalu tertawa lirih. "Haha... Jadi begini rasanya mati di dunia lain..."
Mataku perlahan mulai menutup. Namun, sebelum kesadaranku hilang, aku menangkap sesuatu di sudut pandangku.
Seseorang.
Di atas pohon.
Aku mengangkat kepala dengan sisa tenaga, menatap ke atas.
Di sana, siluet seseorang berdiri di atas ranting pohon besar. Jubah panjang berkibar pelan dalam angin. Siluetnya samar dalam cahaya bulan.
Tapi... aku bisa melihat sepasang mata biru tajam menatap ke bawah. Rambutnya sedikit panjang, sebagian tersembunyi di balik jubah yang mirip seragam sekolah sihir.
Siapa dia...?
Aku ingin bertanya. Tapi semuanya sudah gelap.
Dan...
Aku jatuh.
Ke tanah.
Bukannya jatuh seperti pahlawan yang dramatis lalu langsung berdiri gagah, aku malah terlentang lemas di lumpur, tidak bergerak sama sekali. Aku bahkan bisa merasakan tanah dingin menempel di wajahku.
Kosagi tertawa kecil dalam hati.
"Haha... Aku sih bisa saja seperti itu... kalau saja aku tidak sedang kelaparan dan hampir mati."
Sebelum semuanya benar-benar gelap, pikiran terakhir yang melintas di kepalanya adalah...
"Aku... baru saja melihat seseorang, kan?"
Lalu-
Kesadaranku menghilang...