Tamari Velgalion berdiri di atas ranting pohon besar, kedua tangannya bersedekap, matanya menatap pemuda yang tergeletak di tanah. Pakaian pemuda itu asing—bukan seragam akademi, bukan pakaian bangsawan, bahkan bukan baju petualang biasa. Dan yang paling jelas, dia sangat kotor. Tanah menempel di seluruh tubuhnya, rambutnya penuh debu, dan ada dedaunan tersangkut di kepalanya.
Tamari mengerutkan dahi. Dari mana orang ini datang? Dia yakin hutan ini kosong beberapa saat lalu, tapi sekarang tiba-tiba ada seseorang jatuh pingsan begitu saja. Namun, sebelum dia bisa menganalisis lebih jauh, matanya menangkap sesuatu di belakang pemuda itu. Sepasang mata merah menyala bersinar di kegelapan. Serigala. Bulu hitam pekat, taring tajam, dan air liur yang menetes di antara giginya.
Tamari membelalakkan mata. Jadi dia dikejar serigala?! Itu menjelaskan kenapa pemuda ini tumbang—dia pasti kelelahan dan kehabisan tenaga. Tapi itu tidak penting sekarang. Serigala itu sudah terlalu dekat, dan kalau dia tidak bergerak sekarang, pemuda itu akan mati.
Dia menghela napas pendek. Sejujurnya, dia juga tidak tahu kenapa harus menolongnya.
Beberapa Menit Sebelumnya – Flashback
Tamari berjalan sendirian di dalam hutan, jauh dari akademi sihir. Di sini, tidak ada guru yang mengkritik. Tidak ada teman sekelas yang menertawakannya. Tidak ada pelayan yang melihatnya dengan tatapan kasihan.
Hanya ada dia… dan kegagalannya.
Tamari Velgalion. Anak kedua dari keluarga bangsawan Velgalion, salah satu keluarga dengan garis keturunan sihir api terkuat. Kakaknya bisa mengendalikan api dengan sempurna sejak kecil, bisa membakar monster dengan sekali mantra, dan menjadi kebanggaan keluarga.
Tamari? Bahkan Fire Ball-nya lebih mirip percikan api kompor yang nyaris padam.
Dia menutup matanya, menarik napas dalam, lalu mengangkat tangannya. Lingkaran sihir merah muncul di udara. Dia membayangkan api yang besar dan panas, sesuatu yang bisa membakar apapun di hadapannya.
"Fire Ball!"
Bola api kecil terbentuk di telapak tangannya. Tamari menembakkannya ke pohon di depan—tapi bola api itu melayang ke samping, lalu menghilang sebelum sempat menyentuh apapun.
Tamari menggeram frustrasi. "Serius?! Bahkan mengenai pohon saja aku gak bisa?!"
Dia sudah berlatih berbulan-bulan, tapi hasilnya tetap sama. Tidak peduli berapa kali dia mencoba, sihirnya selalu meleset. Bahkan di akademi, guru-guru hanya bisa menghela napas setiap kali melihat latihannya.
Tamari mendesah panjang dan melangkah ke sebuah pohon besar, naik ke salah satu rantingnya, lalu duduk sambil menatap langit malam. "Apa aku memang tidak berbakat…?"
Namun, sebelum dia bisa berpikir lebih jauh—
GROOOAAARRR!
Suara geraman dari dalam hutan membuatnya tersentak. Tamari menoleh ke bawah. Di sana, lima ekor serigala hitam raksasa muncul dari balik bayangan pepohonan. Mereka tidak hanya berkeliaran, tapi mengelilingi seseorang.
Pemuda tadi.
Tamari terdiam. Dia masih hidup… tapi tidak lama lagi kalau aku tidak melakukan sesuatu.
Tanpa pikir panjang, dia melompat turun dari pohon. "Minggir, dasar anjing sialan!"
Tangannya terangkat, lingkaran sihir merah langsung muncul di udara. "Fire Arrow!"
Panah api meluncur ke arah serigala, tapi saat mengenai tubuh mereka—tidak terjadi apa-apa. Tamari membelalakkan mata. Tidak…
Salah satu serigala menoleh ke arahnya. Matanya menyala merah, penuh amarah.
GRAAAAAH!!
Dalam sekejap, serigala itu melompat ke arahnya. Tamari nyaris tidak punya waktu untuk bereaksi. Dia mencoba mengangkat tangannya untuk bertahan, tapi—
CRESHH!
Cakar tajam itu menggores bahunya. Rasa sakit menyebar, darah merembes keluar. Tamari terpental ke tanah, tubuhnya berguling beberapa kali sebelum akhirnya berhenti. Serigala itu berjalan mendekat, matanya mengatakan satu hal: "Kau sudah kalah."
Tamari mencoba bergerak, tapi tubuhnya menolak. Sakit. Kakaknya tidak akan pernah mengalami hal seperti ini. Kakaknya pasti bisa membakar habis serigala-serigala ini hanya dalam sekejap. Tapi dia? Dia bahkan tidak bisa melukai satu pun.
Aku memang gagal.
Serigala itu semakin dekat. Nafas panasnya terasa di kulit Tamari.
Tidak.
TIDAK!
Tangannya mencengkeram tanah, lingkaran sihirnya kembali menyala—tapi kali ini lebih terang. Tanah di bawahnya mulai bergetar, udara di sekitarnya memanas.
Serigala-serigala lain melangkah mundur, merasakan tekanan yang berbeda.
Tamari tidak lagi berpikir tentang teori sihir. Tidak ada teknik rumit. Tidak ada formula. Dia hanya membayangkan api yang cukup kuat untuk menghanguskan segalanya.
Lingkaran sihirnya berubah warna, dari merah menjadi keemasan. Api di dalamnya berputar liar seperti badai.
Tamari mengangkat tangannya tinggi.
Lalu, dia menjatuhkannya ke depan.
"HELLFIRE BALL!!"
BOOOOOM!!!
Api meledak dalam lingkaran besar, menyapu seluruh area. Serigala-serigala itu tidak sempat berteriak. Mereka tersapu gelombang api, tubuh mereka menguap menjadi abu.
Tamari berdiri terengah-engah.
Aku… berhasil?
Tangannya masih gemetar. Dia menoleh ke pemuda tadi.
Tamari mendekat, melihat wajahnya lebih jelas. Dia benar-benar kotor.
Tamari menatapnya selama lima detik penuh. Lalu mendesah panjang.
"Jadi… aku hampir mati, aku akhirnya bisa menggunakan sihir terkuatku… dan sekarang aku harus ngurus gumpalan tanah ini?"
Dia berkacak pinggang, menatap pemuda yang masih pingsan.
"Hari ini benar-benar menyebalkan."
Dengan luka di bahunya yang masih berdarah, dia mulai mengangkat tubuh pemuda itu ke pundaknya.
Bersambung.....