Chapter 3

Chapter 3: Langkah Pertama di Dunia Baru

Aku terbangun dengan kepala berat, seperti baru bangun dari tidur siang yang terlalu panjang. Tubuhku terasa kaku, ototku seperti baru saja digeprak palu godam. Aku berkedip beberapa kali, menyesuaikan diri dengan cahaya yang masuk dari mulut goa. Api unggun kecil masih menyala di depanku, aroma kayu terbakar samar-samar menguar ke udara.

Sial. Aku masih di dunia ini.

Aku mengerang pelan, berusaha duduk, lalu menyadari seseorang sedang menatapku. Seorang gadis berambut pirang dengan ujung merah duduk di seberang api unggun, memeluk lututnya sambil menatap nyala api. Mata birunya tajam, tapi ada sedikit kebosanan di sana.

Aku meneguk ludah. "Siapa kau?"

Dia mengangkat kepalanya, lalu mendesah. "Kau bahkan tidak tahu siapa yang menyelamatkan hidupmu?"

Aku mengerutkan kening. "Maksudmu?"

Dia menyilangkan tangan di dada. "Aku yang menyelamatkanmu di hutan. Kau hampir mati dimakan serigala, ingat?"

Serigala.

Aku mengingatnya sekarang. Nafas panas, taring tajam, dan suara geraman yang nyaris membuat jantungku berhenti. Aku menatap gadis itu lagi. "Oke... jadi kau yang menyelamatkanku. Tapi siapa kau sebenarnya?"

Dia menghela napas, seolah berbicara dengan anak kecil. "Tamari. Tamari Velgalion."

Aku mengulang namanya dalam hati. Velgalion... terdengar seperti nama keluarga bangsawan. "Jadi kau bangsawan?"

Tamari menyeringai. "Oh, jadi otakmu masih bisa bekerja?"

Aku mendesah. "Terima kasih sudah menyelamatkanku, Tamari."

Tamari mengangkat alis. "Wow. Kau akhirnya sadar bagaimana caranya berterima kasih."

Aku tidak membalas, hanya memijat pelipis, lalu melihat ke bawah. Aku masih mengenakan baju dari dunia asalku-kaos dan celana yang sudah penuh lumpur, debu, dan... oke, ini bau banget. Aku mengendus sedikit dan langsung menyesal.

Sial. Aku harus mandi.

Aku berdiri dan merentangkan tubuh. "Aku harus pergi sebentar."

Tamari melirikku, lalu mengangkat satu alis. "Ke mana?"

Aku menghela napas dan mengacak rambutku. "Ke sungai. Aku merasa seperti gumpalan debu berjalan."

Tamari menyipitkan mata. "Aku juga berpikir begitu."

Aku menatapnya. "Hei, itu tidak perlu dikonfirmasi!"

Tamari menyeringai. "Semoga airnya cukup kuat buat menghilangkan baumu."

Aku mendecak, tapi tetap berjalan pergi.

--------------------------------------------------

Disaat Di sungai:

Sungai ini dingin.

Tapi jujur saja, aku tidak peduli. Aku benar-benar perlu mandi setelah sekian lama hidup seperti pengungsi perang. Aku merendam tubuhku, membiarkan air membilas semua debu dan kotoran yang menempel. Aku juga mulai mencuci bajuku, menggosoknya dengan tangan sebisaku.

Saat aku menjemur baju di atas batu, aku duduk di tepian sungai dan melihat refleksi wajahku di air.

"Ini benar-benar aku. Dan ini benar-benar dunia lain."

Aku menampar pipiku sendiri. Plak!

Oke, tidak ada sistem cheat yang akan membantuku. Aku terjebak di sini, tanpa uang, tanpa rumah, tanpa identitas. Dan yang lebih parah... aku tidak punya cara untuk bertahan hidup.

Aku menarik napas panjang. Aku harus cari solusi.

Aku kembali ke goa setelah selesai mengeringkan bajuku. Tamari masih di tempat yang sama, kali ini duduk sambil memainkan api kecil di tangannya-sihir api merah yang berputar di atas telapak tangannya. Aku menggaruk rambut belakang, mencoba tersenyum santai. "Jadi, Tamari..."

Tamari, yang sedang duduk di dekat api unggun, melirikku dengan tatapan curiga. "Apa?"

Aku memasang ekspresi ramah terbaikku. "Kita kan sudah melalui banyak hal bersama-aku hampir mati, kau menyelamatkanku, kita duduk di api unggun ini seperti dua sahabat lama..."

Tamari mengerutkan kening. "Jangan bilang kau mau mulai omong kosong lagi."

Aku tertawa kecil, mengangkat tangan santai. "Omong kosong? Tidak, tidak. Aku hanya berpikir..." Aku mencondongkan tubuh sedikit ke arahnya, menatap dengan ekspresi penuh harapan.

"Sebagai teman seperjuangan, kau tidak keberatan memberiku sedikit... modal awal untuk bertahan hidup, kan?"

Tamari berhenti sebentar. Lalu, dia tertawa.

Bukan tawa kecil-tawa keras yang jelas penuh dengan hiburan.

"AHAHAHAHA! Kau serius?!" Tamari memegang perutnya, matanya berkaca-kaca karena terlalu terhibur. "Jadi setelah semua ini, kau mencoba memanipulasiku dengan 'persahabatan' murahan?"

Aku mendecak lidah. "Bukan manipulasi, Tamari. Ini... bentuk kerja sama!"

Tamari menatapku dengan ekspresi 'kau pikir aku bodoh?' "Kerja sama?"

Aku mengangguk mantap. "Kau bantu aku sekarang, nanti aku juga pasti akan membantumu. Kita saling menguntungkan!"

Tamari mendengus. "Kedengarannya seperti hutang yang tidak akan pernah lunas."

Aku memasang wajah polos. "Tapi aku benar-benar akan membayarmu suatu hari nanti."

Tamari menghela napas panjang, akhirnya merogoh kantongnya dan melemparkan sebuah koin emas ke arahku. Aku menangkapnya dengan satu tangan, refleks biasa sebagai mantan buruh bangunan.

Aku menatap koin itu. Dingin, berat, dan nyata. Aku menatap Tamari dengan alis berkerut. "Berapa nilai ini? Satu koin emas?"

Tamari mengangkat bahu santai. "Cukup buat makan dan tempat tinggal beberapa hari... kalau kau tidak boros."

Aku menggenggam koin itu erat, lalu menatap Tamari dengan ekspresi serius. "Aku akan membalas hutang budi ini."

Tamari hanya menatapku sebentar sebelum tersenyum kecil. "Heh. Jangan hanya omong besar. Aku tidak butuh janji kosong."

Aku mengangguk mantap. "Tenang saja. Aku tidak akan melupakan ini."

Tamari mendecak, lalu kembali memainkan apinya. "Baik. Aku tunggu sampai hari itu tiba."

Aku menghela napas lega, memasukkan koin emas itu ke dalam kantong, dan merenung sebentar. Hidup di dunia ini... tidak akan mudah. Tapi setidaknya, aku punya langkah pertama.

Aku menatap api unggun yang berkedip-kedip di depan.

Aku tidak punya tujuan besar. Aku bukan pahlawan, bukan orang yang dipanggil dengan misi menyelamatkan dunia. Tapi kalau aku ingin bertahan, aku harus bergerak. Aku harus belajar. Aku harus menjadi seseorang yang bisa hidup di dunia ini tanpa bergantung pada keberuntungan semata.

Manusia tidak ditentukan oleh di mana mereka lahir, tapi oleh bagaimana mereka menjalani hidup mereka.

Aku tidak tahu akan jadi apa aku di sini. Tapi yang jelas, aku tidak akan hanya diam dan menunggu nasib membawaku entah ke mana.

Untuk pertama kalinya sejak aku tiba di dunia ini, aku melangkah dengan kesadaran penuh.

Bersambung.....