Hujan rintik-rintik membasahi jendela kamar Adskan. Ia menatap buku tua di tangannya, halaman-halamannya yang mulai menguning dipenuhi tulisan tangan yang rapi namun terasa kuno. Cahaya lampu meja menerangi tulisan itu, membuatnya bisa membaca dengan jelas kisah tentang Tujuh Relik Sakti yang dinamakan Serpihan Garuda.
Adskan menghela napas panjang lalu mendesah keras-keras. "Aiza, apa yang kau kerjakan? Aku menemukan sesuatu yang penting."
Aiza masih fokus dengan kesibukannya dan tidak mengindahkan rengekan kakaknya.
"Aiza, apa begini caramu memperlakukan kakakmu?"
Aiza yang sedang mengetik sesuatu di laptopnya hanya melirik sekilas. "Hening itu emas. Nikmati saja kesenanganmu sendiri."
"Tapi ini penting!" Adskan merengek seperti anak kecil yang diabaikan. "Lihat Buku ini. Ini bisa mengubah hidup kita!"
Aiza akhirnya mendesah, menutup laptopnya, dan berjalan ke arah Adskan. "Baiklah, baiklah. Apa itu?" tanyanya malas.
"Ini." Adskan mengangkat buku itu. "Menjelaskan tentang ayah kita. Dan tentang artefak yang selama ini kita anggap hanya cerita legenda." Adskan menelan ludah, matanya dipenuhi ketegangan. "Dan Ayah pemegang kunci dari artefak-artefak itu. Kita punya salah satunya."
Aiza mengernyitkan dahi. "Pisau aneh itu? Kau bercanda, kan?"
Adskan menatap Aiza serius. Ia membalik halaman dan menunjuk sebuah simbol di dalam buku itu. "Lihat! Simbol ini sama persis dengan ukiran di gagang pisau kita. Ini bukan kebetulan, Aiza. Ayah menulis buku ini!"
Mata Aiza membesar. Ia mengambil buku itu dari tangan Adskan dan meneliti halaman-halamannya dengan saksama. "Mustahil." Aiza tidak percaya "Ayah menulis petunjuk tentang artefak di dalam buku ini?" katanya sambil membolak-balik halaman.
Adskan mengangguk. "Dan jika semua ini benar, kita harus menemukan semua artefak. Karena aku yakin, ini adalah satu-satunya cara untuk menemukan Ayah."
Aiza menatap buku itu lalu kembali menatap Adskan.
Aiza mendesah panjang. "Lalu, kenapa aku merasa kau hanya ingin berpetualang tanpa harus bekerja?"
Adskan memasang wajah polos. "Hei, itu bonus!"
Aiza memijat pelipisnya. "Baiklah, kita mulai dari mana? Jangan bilang kita harus menggali kuburan tua atau menelusuri gua yang penuh jebakan..."
Adskan tersenyum lebar. "Mungkin keduanya."
Aiza mengerang. "Jangan bilang aku harus merayap di tempat gelap dan sempit lagi. Aku masih trauma dengan kejadian di loteng rumah!"
Adskan menepuk pundaknya sambil tertawa. "Tenang saja, kali ini aku yang akan masuk dulu. Kau bisa tetap di luar dan teriak kalau ada hantu."
"Kau benar-benar kakak yang buruk," gerutu Aiza sambil mengambil jaketnya. "Baiklah, sebelum aku berubah pikiran dan memilih hidup normal."
Dengan semangat, Adskan menutup buku itu dan menyeringai.
Namun tiba-tiba suara klik terdengar dari jendela kamar. Mereka berdua langsung menoleh. Bayangan seseorang berdiri di luar, seperti sedang menatap mereka dari balik kaca yang berkabut.
"Kak, kau lihat itu? Apa kau mengundang tamu?" Aiza menatap Adskan
Adskan menggeleng cepat. "Tidak! Mungkin tukang paket."
Sebelum mereka sempat memeriksanya, kaca jendela bergetar—seolah ada sesuatu yang mencoba masuk.
Kemudian, lampu di rumah mereka padam.