Bab 2 : Penguntit

Bab 2: Penguntit

Malam itu, listrik tiba-tiba padam. Kegelapan menyelimuti rumah Adskan dan Aiza. Hanya suara deras hujan yang terdengar di luar. Aiza menghela napas dan meraih ponselnya untuk menyalakan senter.

"Adskan, tolong bilang ini cuma pemadaman biasa," gumam Aiza sambil berjalan ke ruang tamu.

"Aku juga berharap begitu, tapi firasatku nggak enak." Adskan menyusul Aiza dengan langkah hati-hati.

Ketika mereka sampai di ruang tamu, pemandangan yang mereka lihat membuat dada mereka berdegup kencang. Sofa bergeser, lemari terbuka, dan buku-buku berserakan di lantai. Jelas ada seseorang yang telah mengacak-acak rumah mereka.

"Astaga... Apa kita dirampok?" bisik Aiza.

Adskan berjongkok dan memeriksa sekitar. "Nggak ada tanda-tanda paksa masuk. Dan nggak ada barang yang hilang. Aneh." Adskan merasa Heran.

Aiza mengernyit. "Kalau bukan mau mencuri, lalu apa yang mereka cari?"

Adskan mengambil sesuatu dari lantai dan menunjukkannya kepada Aiza. Itu adalah buku tua tentang Serpihan Garuda. Halamannya terbuka di bagian yang menjelaskan tentang artefak pertama, Pisau Cakar Kiri.

"Aku rasa kita baru saja mendapat tamu," gumam Adskan dan Aiza saling pandang.

---

Di tempat lain, sebuah ruangan remang-remang menjadi saksi percakapan serius. Sekelompok orang berjubah hitam berdiri mengelilingi seorang pria dengan wajah tertutup bayangan.

"Misi gagal," suara berat seorang pria memenuhi ruangan.

"Bagaimana bisa?" tanya suara lain.

"Informasi kita mungkin salah. Tidak ada tanda-tanda artefak di rumah mereka," jawab pria pertama.

"Lalu, kita hentikan pengawasan?" seseorang bertanya.

Pria berjubah hitam yang duduk di tengah ruangan menggeleng. "Tidak. Jika buku itu benar, anak-anak itu pasti tahu sesuatu. Pantau mereka, awasi setiap gerakan mereka. Jangan sampai kita kehilangan jejak."

---

Seminggu telah berlalu sejak kejadian malam itu. Sejak saat itu, Adskan dan Aiza merasa seperti diawasi. Kadang, mereka melihat bayangan mencurigakan di sudut jalan, atau merasakan tatapan aneh saat mereka berjalan pulang.

"Oke, ini sudah keterlaluan," kata Aiza saat mereka duduk di kedai kopi. "Aku nggak suka jadi target pengintaian seperti ini."

"Aku juga. Tapi kita nggak bisa terus-menerus paranoid. Kita harus melakukan sesuatu." kata Adskan sambil menyesap kopinya.

Aiza menyeringai. "Aku suka idemu. Jadi, bagaimana kalau kita jebak mereka?"

Malam itu, mereka kembali ke rumah dengan rencana matang. Aiza sibuk di depan laptopnya, jari-jarinya menari di keyboard dengan cepat.

"Aku akan retas CCTV di sekitar sini. Kalau mereka benar-benar mengawasi kita, aku bisa melacaknya," kata Aiza berbicara dengan kakaknya melalui microphone.

Adskan tersenyum penuh semangat. "Dan aku jadi umpannya, kan?"

Aiza mendelik. "Ya, jangan bikin drama berlebihan! Dan hati - hati."

Adskan tertawa kecil. "Tenang saja, aku profesional, jangan khawatir."

Beberapa saat kemudian, Aiza mengetik beberapa perintah terakhir, lalu menatap layar dengan mata berbinar. "Dapat! Ada seseorang mencurigakan. Dia bergerak..."

Adskan berdiri perlahan, mengeluarkan Pisau Cakar Kiri dari sarungnya. Cahaya lampu yang temaram memantulkan kilatan tajam di bilahnya.

"Baiklah," katanya dengan suara rendah. "Mari kita lihat siapa sebenarnya mereka."

Di luar, seseorang berbalik arah, seakan menyadari bahaya yang mendekat. Namun... "Anda mencari sesuatu?" Ucap Adskan tersenyum percaya diri.