Bab 3 : Identitas Musuh

Hujan masih turun dengan deras saat Adskan berdiri di hadapan pria bertudung hitam yang mengawasi mereka. Wajah pria itu tersembunyi di balik bayangan, namun gestur tubuhnya menunjukkan ketegangan. Tanpa menunggu lama, pria itu berbalik dan berlari.

"Kau tidak boleh pergi begitu saja!" Adskan segera mengejar.

Penguntit itu lincah, melompati pagar dan berbelok cepat di gang-gang sempit. Adskan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mengejar, menerobos genangan air dan melompati beberapa tong sampah yang menghalangi jalannya. Hujan membuat tanah licin, tapi Adskan terus melaju. Dia melihat penguntit itu mulai kelelahan, langkahnya sedikit melambat.

Saat pria itu berbelok ke sebuah lorong sempit, Adskan melihat kesempatan. Dengan lompatan cepat, dia menerjang ke depan dan mengayunkan Pisau Cakar Kiri. Pria itu berusaha menghindar, tapi tebasan Adskan mengenai bahunya.

"Argh!" erang pria itu, darah merembes dari pakaiannya.

Namun, sebelum Adskan bisa menangkapnya, pria itu melemparkan sesuatu ke tanah—sebuah tabung kecil yang mengeluarkan asap tebal. Asap itu langsung menyelimuti lorong, membuat Adskan batuk dan kehilangan pandangan.

Saat kabut mulai menghilang, pria itu sudah tidak terlihat. Adskan menggeram kesal, tapi matanya menangkap sesuatu di tanah. Sebuah pin berkilau dari kegelapan, berukir simbol aneh tergeletak di sana.

"Apa ini?" gumamnya. Dia memungut benda itu dan menggenggamnya erat. "Setidaknya aku mendapat petunjuk."

---

Di tempat lain, ruangan remang-remang yang sama kembali menjadi saksi bisu percakapan penting.

Penguntit yang terluka berdiri dengan satu tangan menekan bahunya yang diperban. "Dia melukaiku," suaranya bergetar antara marah dan tak percaya. "Anak itu bukan orang biasa."

Seseorang yang duduk di kursi besar menghela napas pelan, matanya berkilat di bawah cahaya lampu redup. "Menarik. Jika dia bisa melukai anggota kita, berarti kita telah meremehkannya."

"Apa rencana kita selanjutnya?" tanya salah satu anggota yang berdiri di sudut ruangan.

Sang pemimpin tersenyum tipis, tatapannya tajam. "Kita hentikan pendekatan kasar. Kali ini, kita dekati mereka dengan cara yang lebih halus. Biarkan mereka merasa aman, lalu kita buat mereka datang pada kita."

---

"Jadi, kau dapat ini dari dia?" Aiza mengamati pin di tangan Adskan.

Pin itu sebesar kancing berwarna emas dengan bentuk unik. Sebuah batu permata hitam di tengah pin, dengan retakan yang membentuk bayangan sayap garuda dengan aksen sayap di sisi permata.

Mereka duduk di kamar, menatap serius pin tersebut.

"Aku nggak tahu ini lambang apa, tapi rasanya familiar," jawab Adskan sambil menyandarkan diri ke kursi.

Aiza mengetik sesuatu di keyboardnya. "Aku juga merasa pernah melihat simbol ini sebelumnya..." Matanya menyipit saat dia memperbesar gambar simbol itu.

Beberapa saat kemudian, wajahnya menegang. "Ini simbol dari salah satu perusahaan besar yang memproduksi barang-barang mewah!"

Adskan menatap layar, keningnya berkerut. "Perusahaan? Maksudmu musuh kita adalah bisnisman?"

Aiza menggeleng. "Belum tentu. Tapi ini petunjuk penting. Aku akan menggali lebih dalam."

Adskan menatapnya dengan serius. "Kau yakin bisa melacak ini?"

Aiza tersenyum miring. "Akanku coba."

Waktu berlalu dalam keheningan. Jari Aiza bergerak cepat di atas keyboard, membuka berbagai situs yang tersembunyi di balik jaringan anonim. Sesekali dia menggigit bibirnya, merasa waspada.

Tiba-tiba, layar laptopnya berkedip. Sebuah peringatan muncul.

"Akses Ditolak."

Aiza mengerutkan kening. "Aneh..." gumamnya, mencoba metode lain. Beberapa kali, sistem menolaknya. Namun, dengan trik khusus, dia akhirnya menembus firewall terakhir.

Matanya melebar ketika akhirnya dia menemukan sesuatu.

"Kakak... aku menemukan sesuatu di dark web."

Adskan mendekat, menatap layar dengan cermat. "Apa yang kau temukan?"

Aiza menelan ludah, lalu menggeser layar laptopnya agar Adskan bisa melihatnya lebih jelas. "Ini bukan sekadar perusahaan biasa. Mereka memiliki hubungan dengan organisasi bayangan yang beroperasi di pemerintahan. Organisasi ini melakukan tugas kotor untuk pemerintah dan menyediakan jasa pembunuh bayaran."

Tiba-tiba, layar laptop mereka berkedip lagi. "PERINGATAN: Anda sedang diawasi."

Aiza tersentak. "Sial! Mereka tahu kita mengakses ini!"

Adskan langsung berdiri. "Matikan! cepat matikan semua sekarang!"

Aiza dengan cepat menutup laptopnya dan mencabut koneksi internet. Napasnya memburu.

"Kau yakin mereka melacak kita?" Adskan bertanya dengan nada tegang.

Aiza mengangguk pelan. "Mereka bukan organisasi biasa. Jika kita sudah masuk dalam radar mereka, berarti ini lebih berbahaya dari yang kita kira."

Adskan mengepalkan tinjunya. "Jadi, ini tidak akan mudah!"

Aiza menatap pin bersimbol itu dengan gelisah. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Aiza bertanya sambil menatap Adskan.

Mereka telah membuka pintu ke dunia yang jauh lebih gelap dari yang mereka bayangkan.