Kegaduhan memenuhi ruangan di markas Ordo Bayangan. Sistem keamanan mereka mendeteksi penyusupan. Beberapa layar menampilkan jejak digital yang samar, tetapi cukup untuk membunyikan alarm. Para teknisi bekerja cepat melacak sumbernya.
"Siapa yang berani menyusup ke dalam jaringan kita?" Suara berat seorang pengawas menggema, menambah ketegangan di ruangan.
Seorang pria berseragam hitam dengan emblem khas Ordo Bayangan maju ke depan. "Kami menemukan jejak digitalnya. Mustahil dia peretas biasa. Kami yakin ini berasal dari kelompok yang terkait dengan pemuda itu."
Seorang pria tua berjubah panjang menatap layar dengan penuh minat. "Pemuda itu dan saudarinya... menarik. Mereka lebih berani dari yang kita kira."
"Hebat sekali mereka! Mungkin kita bisa menarik mereka ke pihak kita?" Seorang wanita yang berpangkat lebih tinggi ikut menanggapi dengan suara penuh antusiasme.
---
Di sisi lain, Adskan sedang bekerja paruh waktu sebagai pelatih judo di sebuah dojo kecil. Ia tengah mengawasi murid-muridnya ketika ponselnya bergetar di saku.
"Kak, ini serius. Ada seseorang yang datang ke rumah. Dia mengaku sebagai rekan Ayah dulu, tapi aku nggak yakin," suara Aiza terdengar waspada.
Adskan mengernyit. "Apa dia bilang sesuatu yang mencurigakan?"
"Belum, tapi setelah kejadian sebelumnya, aku nggak bisa percaya begitu saja. Kau harus segera pulang."
Adskan menarik napas dalam. "Oke, tahan dia di sana. Aku akan segera ke rumah. Jangan lakukan apa pun sendirian."
---
Begitu tiba di rumah, Adskan langsung mengenali tamu yang duduk di ruang tamu bersama Aiza.
Pria itu bertubuh tegap, posturnya tetap kokoh meskipun usianya tak lagi muda. Wajahnya keras dan berkarisma, dengan rahang tegas serta tatapan tajam yang seakan mampu menembus isi pikiran lawan bicara. Namun, ada sesuatu yang kontras—senyum ramah yang terasa bertentangan dengan aura menakutkannya. Sebuah luka mencolok melintang di pelipis kirinya, menambah kesan bahwa dia bukan orang biasa.
Adskan membatin, merasa pria itu mengingatkannya pada seseorang. Wajah Guile dari Street Fighter seketika melintas di kepalanya. "Astaga, mirip banget," pikirnya dalam hati.
Pria itu berdiri perlahan dan mengulurkan tangan. "Senang akhirnya bisa bertemu denganmu lagi, Adskan."
Adskan tetap waspada, tetapi perlahan menjabat tangannya. "Aku mengenalmu. Ayah pernah membawaku bertemu denganmu dulu. Maaf, tapi aku tidak ingat namamu, Paman."
Pria itu tertawa kecil. "Hahaha... Aku Leo, teman seperjuangan ayah kalian."
Adskan duduk, matanya tetap meneliti pria di depannya. "Jadi, ada perlu apa Paman kemari? Jika Paman mencari Ayah, Ayah tidak ada."
Leo tersenyum tipis. "Aku datang dengan kabar penting. Ada hal yang harus kalian ketahui tentang ayah kalian."
Aiza melipat tangan di dada, masih curiga. "Apa maksud Paman?"
Leo menarik napas panjang sebelum berkata, "Ayah kalian bukan orang biasa. Dia adalah komandan pasukan khusus pemerintah yang menangani musuh tidak biasa... musuh yang selama ini bersembunyi di balik bayangan."
Aiza mengangkat alis. "Tunggu sebentar, musuh tidak biasa? Monster? Alien?"
"Aiza, kita dengarkan dulu," tegur Adskan.
Leo menatap keduanya dengan serius sebelum melanjutkan. "Kalian mungkin berpikir ayah kalian hanyalah pria biasa dengan pekerjaan biasa. Tapi kenyataannya, dia berada di garis depan perang yang tidak diketahui oleh masyarakat umum. Ada kekuatan besar yang beroperasi di bawah permukaan dunia ini—organisasi yang mengendalikan politik, ekonomi, bahkan kehidupan sehari-hari kita. Ayah kalian adalah bagian dari unit elit yang bertugas melawan ancaman-ancaman ini, sesuatu yang tidak bisa ditangani oleh kepolisian atau militer biasa."
Aiza menelan ludah, sementara Adskan mengepalkan tangannya. "Kalau begitu... ke mana dia sekarang? Jika dia sekuat itu, kenapa dia menghilang?"
Leo menghela napas. "Itulah yang harus kita cari tahu. Tidak ada yang tahu pasti apa yang terjadi padanya, tapi yang jelas... musuh-musuh lamanya masih mengawasi. Dan sekarang mereka tahu tentang kalian."
Adskan dan Aiza saling bertukar pandang, mencoba mencerna informasi itu.
"Aku datang ke sini... untuk menawarkan pekerjaan."
Mendengar itu, Adskan dan Aiza terheran kemudian saling pandang.