Ruangan terasa tegang. Aiza menatap pria di depannya dengan penuh kecurigaan, sementara Adskan duduk di sampingnya, mencoba menahan diri untuk tidak langsung menyimpulkan.
Leo hanya tersenyum tipis, seolah menikmati situasi ini. Pria itu bertubuh tegap, dengan rahang tegas dan mata tajam yang sulit dibaca. Meski begitu, ada sesuatu dalam sorot matanya yang terasa familiar bagi Adskan.
"Pekerjaan macam apa yang Paman maksud? Apa kami tampak seperti penangguran? Paman kira kami akan percaya?" suara Aiza dingin, kedua tangannya terlipat di dada.
"Hahaha…" Leo sontak tertawa mendengar tanggapan Aiza, Leo merasa sedang menanggapi anak kecil yang sedang merajuk. "Kepercayaan memang tidak bisa dipaksakan. Aku tidak datang untuk menuntutnya, hanya untuk menyampaikan sesuatu yang kalian perlu tahu." Lanjut Leo dengan tenang. Senyum tipis terlukis diwajahnya, namun terasa tidak cocok karena wajahnya yang seram.
"Oh, betulkah?" Aiza mendengus. "Kalau Paman benar-benar rekan Ayah, kenapa Ayah tidak pernah cerita tentang Paman? Atau tentang perang rahasia yang Paman sebutkan tadi?"
Leo mengangkat bahunya. "Karena beberapa hal lebih baik tetap tersembunyi."
"Jawaban yang sangat klise." Aiza menghela napas panjang, tatapannya penuh skeptisisme. "Jujur saja, aku tidak percaya satu kata pun dari yang Paman katakan. Ayah kami bukan tentara super yang melawan organisasi bayangan atau apalah itu. Jika benar begitu, kenapa kami harus hidup seperti orang biasa selama ini?"
Leo tersenyum, seolah sudah menduga pertanyaan itu. "Karena itulah yang Ayah kalian inginkan. Kehidupan yang damai dan normal untuk keluarganya."
"Haah! Basi." Aiza memutar bola matanya. "Kenapa sekarang Paman baru muncul? Kenapa tidak sejak awal saat Ayah menghilang?"
Leo menatapnya dalam-dalam sebelum menjawabnya dengan hati-hati, "Soal itu… Paman minta maaf." Tampak penyesalan menyelimuti wajah Leo. "Mungkin ini akan terdengar seperti alasan namun, Aku saat itu masih mempercayai bahwa dia bisa kembali dengan sendirinya. Aku berharap dia akan muncul di saat yang tepat. Tapi kini situasinya berbeda. Ada pihak yang mulai bergerak, dan mereka bukan orang yang bisa diremehkan."
Adskan yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. "Pihak siapa?"
Leo menyandarkan punggungnya di kursi. "Ordo Bayangan. Aku yakin kalian sudah merasakan keberadaan mereka."
Aiza mengerutkan dahi. "Jadi, mereka yang menculik Ayah?" Bahunya bergetar.
Leo terdiam sejenak. "Belum bisa dipastikan. Tapi yang jelas, mereka tahu tentang kalian. Dan begitu mereka menganggap kalian ancaman... mereka tidak akan ragu untuk menyingkirkan kalian."
Aiza mengepalkan tangannya. "Jadi, maksud Paman, kami harus percaya pada Paman jika ingin selamat?"
Leo menatapnya lekat. "Aku tidak meminta kalian percaya. Aku hanya memberi pilihan. Mau tetap hidup dalam kebingungan, atau mencari jawaban sendiri?"
Aiza mendesis. "Bagaimana kalau ini jebakan? Bagaimana kalau Paman sebenarnya bagian dari Ordo Bayangan?"
Leo tertawa kecil. "Kalau aku bagian dari mereka, kau pikir aku akan datang sendirian dan berbicara baik-baik seperti ini?"
Aiza membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi. Ia tidak bisa menyangkal logika itu.
Adskan akhirnya menatap Aiza dengan tatapan peringatan. "Sudah cukup."
Aiza mendongak. "Apa?" Kaget.
Adskan mengusap kepala Aiza untuk menenangkannya. "Kita sudahi perdebatannya." Ucap Adskan tegas. "Aku tahu kita harus hati-hati." Adskan menatap dalam Aiza untuk memberi isyarat. "Percayakan Padaku." Adskan tersenyum tipis.
Meski Aiza masih tidak puas, tapi akhirnya memilih diam. Karena Azia tidak pernah meragukan kemampuan pengambilan keputusan sang kakak.
Adskan menoleh ke Leo. "Kami butuh waktu untuk berpikir."
Leo mengangguk, seolah tidak terkejut dengan keputusan itu. "Itu pilihan yang bijak." Ia merogoh sakunya dan meletakkan kartu nama di meja. "Hubungi aku jika kalian sudah siap."
Leo bangkit berdiri, berjalan menuju pintu, lalu berhenti sejenak.
"Tapi satu hal yang harus kalian tahu," katanya, tanpa menoleh. "Semakin lama kalian ragu, semakin mereka mendekat."
Mendengar itu seketika Adskan dan Aiza merinding seakan sedang ditatap dari kejauhan.
Leo pun melangkah keluar.
Ruangan hening setelah kepergian Leo.
Hari sudah larut, suara angin dan serangga terdengar dari luar. Aiza berjalan ke meja dan mengambil kartu nama yang ditinggalkan. Ia membolak-baliknya dengan ekspresi ragu. "Aku masih tidak yakin."
Adskan duduk di sofa, berpikir dalam-dalam. "Tapi kita tidak bisa menutup diri dari informasi. Jika dia kawan, kita bisa bekerja sama. Jika dia lawan..."
Aiza menatapnya menunggu Adskan melanjutkan pendapatnya.
"Mungkin, Kita bisa memanfaatkannya." Lanjut Adskan menyeringai.
"Kau tampak seram jika seperti itu." Kata Aiza datar.
Adskan tertawa, "Yah… Setidaknya, itu lebih baik daripada tidak tahu apa-apa."
Aiza mendesah. "Baiklah. Sepertinya tidak ada ruginya. Tapi jika terjadi sesuatu yang mencurigakan, kita keluar dari ini."
Keesokan harinya,
Adskan berdiri di balkon rumahnya sambil memegang ponsel dan mengetik nomor yang tertera di kartu. Ia bermaksud menghubugi Leo.
Nada sambung berbunyi beberapa detik sebelum akhirnya suara Leo terdengar di seberang. "Aku sudah menunggu."
Adskan tidak basa-basi. "Kami menerima tawaranmu. Di mana kita bisa bertemu?"
Leo terdengar tersenyum. "Bagus. Datanglah ke sebuah gedung di pusat kota. Aku akan menunggu kalian di lantai atas."
Adskan mengernyit. "Gedung mana?"
Hening sejenak sebelum Leo menjawab. "Menara Saidah."
Adskan membeku sesaat. "Dimana?"
Leo tertawa kecil. "Kau tidak salah dengar, datang saja, dan kalian akan tahu kenapa aku memilih tempat ini."
Sambungan terputus.
Adskan menghampiri Aiza yang sedang fokus dengan laptopnya. Adskan hanya menatap tidak berbicara?
"Apa katanya?" Tanya Aiza akhirnya.
"Dia minta bertemu di menara Saidah."
Jawab Adskan.
Aiza yang mendengar nama itu langsung menoleh tajam.
"Kau bercanda?" suara Aiza bergetar sedikit. "Gedung itu sudah lama ditinggalkan. Semua orang tahu tempat itu… ada hantunya." "Jangan mempermainkanku." Lanjut Aiza sambil menatap Adskan. Aiza menilai ucapan Adskan tadi bukan bercanda.
"Ini jebakan," gumam Aiza.
Adskan menghela napas. "Atau mungkin ujian. Kau ingat kita dalam tahap proses panggilan kerja" Adskan tersenyum bersemangat.
Hanya ada satu cara untuk mengetahui jawabannya—mereka harus pergi ke Menara Saidah.