Bab 6 : Menara Saidah

Malam itu, Aiza duduk di depan laptopnya dengan ekspresi serius. Jemarinya bergerak lincah di atas keyboard, membuka beberapa tab sekaligus. Ia mencari informasi tentang Menara Saidah, gedung yang disebut Leo sebagai lokasi pertemuan mereka.

"Menara Saidah…" gumam Aiza sambil membaca artikel yang terpampang di layar. "Dulunya gedung perkantoran mewah, tapi sekarang kosong dan terkenal karena… hantu?"

Aiza mendengus. "Astaga, kenapa harus tempat ini?"

Berbagai cerita tentang penampakan makhluk astral di menara itu berseliweran di forum-forum daring. Ada yang mengaku melihat sosok wanita berbaju merah, suara langkah kaki tanpa wujud, bahkan cahaya misterius di malam hari.

Namun, ada sesuatu yang menarik perhatian Aiza. Terdeteksi sinyal komunikasi. Ini Aneh!… Pikir Aiza.

Ia pun mempersempit jaringannya dan menemukan ada aktivitas sinyal yang lemah di dalamnya.

"Ini aneh…" Aiza menyipitkan mata, mencoba melacak asalnya. Tapi sinyal itu seperti bergerak, kadang muncul, lalu menghilang begitu saja.

Ia mengaktifkan sistem peretasan kecil dan mencoba mengakses kamera pengawas di sekitar gedung. Mayoritas CCTV di sana sudah mati atau rusak, tetapi beberapa masih aktif di sekitar jalan utama.

"Mungkin bisa kupakai untuk berjaga-jaga," gumamnya.

Ia menandai jalur masuk dan keluar dari gedung, memastikan mereka tidak masuk perangkap. Setelah itu, ia menghubungi Adskan.

"Kak, aku dapat sesuatu."

Adskan yang tengah bersiap di kamarnya langsung menjawab. "Apa itu?"

"Selain cerita horor, aku menemukan sinyal komunikasi di dalam menara itu."

Adskan mengernyit. "Sinyal? Apa hantu berbaju merah itu mengirim pesan pada mu?" 

"Kakak ini serius!" Ucap Aiza kesal.

"Baiklah-baik!" Adskan mulai memberi perhatian pada adiknya. "Coba jelaskan lebih detail." 

"Ada sinyal komunikasi yang terdeteksi, meskipun samar tapi aku yakin sumber sinyalnya dari menara seram itu."

"Padahal gedung itu harusnya kosong. Apa hantu juga kadang butuh internet?" Adskan bergurau.

"Itu tidak lucu!" Sahut Aiza sambil mengerutkan dahi.

"Aku curiga. Ini bisa jadi jebakan," kata Aiza serius. "Tapi kalau kita nggak ke sana, kita nggak akan tahu apa yang maksud Paman itu."

Adskan berpikir sejenak sebelum berkata, "Kalau begitu, kita tetap pergi. Tapi kita pakai cara yang lebih aman."

Aiza menyeringai. "Setuju."

Pagi harinya, Sesuai rencana mereka akan pergi secara terpisah. Mereka menilai rencana ini yang terbaik untuk mengecoh penguntit yang masih saja mengikuti mereka. 

"Apa mereka bodoh? Apa mereka tidak tahu kalau mereka sudah ketahuan." Ucap Aiza geram sambil bersiap berangkat.

"Jangan pedulikan mereka. Kau hanya akan sakit kepala." Adskan menenangkan Aiza sambil membantunya bersiap. "Kenapa bawaanmu banyak sekali? Tanya Adskan. "Wah! kau bahkan membawa ini." Sambil mengangkat double stick 

"Untuk jaga-jaga!" Aiza mengambil double stick dari tangan Adskan kemudian menjejalkan ke tasnya. "Taksiku sudah datang." Aiza bergegas pergi. 

"Hati-hati!" Ucap Adskan sambil melambaikan tangan ke adiknya.

Adskan menghela nafas sambil menatap jam tangannya.

"Aku juga harus segera pergi." Gumam Adskan.

Adskan turun dari kendaraan dan berjalan santai menuju halte yang telah mereka sepakati sebagai titik pertemuan. Tatapan tajam dari kejauhan membuatnya sadar bahwa penguntit itu masih mengikuti setiap gerakannya.

Ia mencoba tetap tenang, namun sebelum bisa mengambil tindakan, suara ceria seorang wanita memanggilnya dari seberang jalan.

"Oi! Adskan? Serius ini kamu?"

Adskan menoleh dan langsung mengenali sosok yang memanggilnya. Seorang wanita cantik berambut hitam panjang dengan kulit cerah khas keturunan Jepang-Indonesia. Matanya yang coklat keemasan bersinar penuh antusias.

"Aoi?" Alis Adskan terangkat, sedikit terkejut. "Apa yang kau lakukan di sini?"

Aoi tertawa kecil dan berjalan mendekat. "Kantorku ada di sekitar sini. Harusnya aku yang tanya! Udah bertahun-tahun nggak ketemu, tiba-tiba lihat kau di sini… Masih tetap keren kayak dulu."

Adskan hanya tersenyum tipis, sikapnya tetap santai meskipun menyadari penguntit mungkin sedang mencatat setiap gerakannya.

Mereka berbincang ringan, mengingat masa lalu. Aoi dan Adskan adalah teman SMA sekaligus rekan satu tim di ekstrakurikuler Judo. Aoi sebagai ketua, sementara Adskan wakilnya. Karena sifat Aoi yang ceroboh, Adskan sering kali harus turun tangan, entah itu mencari barangnya yang hilang atau menyelamatkannya dari masalah di sekolah.

"Aku ingat, dulu kau selalu datang di saat yang tepat," kata Aoi dengan nada menggoda. "Kau itu pahlawan tanpa jubah. Tapi kenapa sekarang tampak seperti pria misterius yang menyembunyikan sesuatu?"

Adskan hanya tertawa kecil. "Aku hanya menjalani hidup seperti biasa."

Aoi mendekat sedikit, matanya berbinar. "Serius? Jangan bilang kau ada janji kencan?"

Adskan menggeleng. "Bukan begitu."

Sementara itu, di sudut lain kota, Aiza sedang bergerak menuju halte. Tidak seperti Adskan, ia tetap waspada, memantau kamera CCTV yang telah diretas sebelumnya. Matanya meneliti setiap pergerakan di sekitar Menara Saidah, memastikan tidak ada ancaman tersembunyi.

Saat Aiza akhirnya tiba di halte, matanya langsung tertuju pada seorang wanita yang berdiri terlalu dekat dan tampak sangat akrab dengan kakaknya. Matanya menyipit.

Tanpa ragu, Aiza mempercepat langkahnya, lalu berdiri di depan mereka dengan tangan terlipat di dada. "Kakak! Siapa ini?" tanyanya tajam.

Aoi menoleh dan tersenyum lebar, seolah sudah menunggu momen ini. Dengan santai, ia merangkul lengan Adskan. "Oh? Jadi ini adikmu, Adskan?" Wajahnya penuh kepuasan saat melihat ekspresi kesal Aiza. "Halo, aku Aoi, calon kakak iparmu."

Adskan langsung menatap Aoi dengan ekspresi frustasi. "Aoi, apa maksudmu?."

Aiza melirik tangan Aoi yang masih bertengger di lengan kakaknya. "Kak, kita ini ada urusan penting, malah asik mencari jodoh?"

Aoi terkekeh. "Astaga, kakakmu tidak sedang mencari, tapi sudah menemukannya." Ia menoleh ke Aiza dan menambahkan dengan nada jahil, "Dulu kakakmu populer, lho. Aku salah satu penggemarnya."

Aiza menatap Adskan curiga. "Jadi, Kakak ini dulu seorang playboy?"

Adskan menghela nafas panjang dan berusaha melepas rangkulan tangan Aoi. "Mereka yang mendekatiku sendiri. Aku cuma membantu kalau ada yang butuh."

Aoi pura-pura terkejut. "Aku kira kau menganggapku spesial. Dulu kau selalu ada buatku." Kemudian merangkul Adskan lagi. Adskan menatap Aoi frustasi, Aoi membalasnya dengan senyum.

Aiza semakin menyipitkan mata. "Aku heran bagaimana Kakak bisa bertahan hidup tanpa aku."

Adskan hanya mendesah. "Aiza, kita ada urusan."

Aoi akhirnya melepas rangkulannya dan mengangkat tangan tanda menyerah. "Baiklah, baiklah. Aku cuma bercanda." Ia menatap Aiza dengan senyum jahil. "Kau ini protektif sekali terhadap kakakmu."

Aiza mengangkat bahu. "Kalau bukan aku, siapa lagi?"

Aoi tertawa kecil, lalu menepuk pundak Adskan. "Baiklah, kapan-kapan kita ketemu lagi, My Hero." Ucap Aoi jahil. "Dan Aiza, kalau kakakmu ini berbuat macam-macam, beri tahu aku, ya?"

Dengan santai, Aoi melangkah pergi, meninggalkan mereka.

Begitu Aoi menghilang dari pandangan, Aiza langsung menatap Adskan dengan curiga. "Apa itu? Aku cuma pergi sebentar, dan tiba-tiba Kakak sudah dikelilingi cewek?"

Adskan tersenyum tipis. "Itu hanya kebetulan."

Aiza mendengus. "Kalau begitu, ayo fokus."

Adskan mengangguk dan menoleh ke sekeliling, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka terlalu dekat.

Di tempat lain, seorang pria berbaju gelap menekan tombol di alat komunikasinya.

"Target terlihat bersama seorang wanita. Kemungkinan teman lama. Tidak ada indikasi ancaman langsung, namun tetap dalam pantauan."

Mereka tiba di depan Menara Saidah, gedung megah yang kini terbengkalai. Lampu-lampunya mati, jendela-jendela sebagian pecah, dan pintu masuknya terbuka sedikit, seolah sudah lama tidak digunakan.

Udara di sekitar menara terasa lebih dingin dari biasanya, padahal ini masih siang hari.

"Kita masuk?" tanya Aiza, menelan ludah.

Adskan mengangguk. "Kita sudah sejauh ini."

Mereka melangkah masuk. Begitu mereka melewati ambang pintu, suasana berubah drastis. Udara semakin berat, seperti ada sesuatu yang mengawasi mereka.

Lobi yang luas tampak kosong, hanya ada beberapa kursi dan meja berdebu. Tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Namun, begitu mereka berjalan lebih jauh ke tengah lobi, sesuatu terjadi.

Lantai di bawah kaki mereka tiba-tiba bercahaya dengan pola aneh. Sebelum mereka bisa bereaksi, tubuh mereka ditelan oleh cahaya keunguan yang bersinar dari lantai.

Dalam sekejap, mereka tidak lagi berada di lobi Menara Saidah.

Mereka berdiri di atas pasir, sepanjang mata memandang hanya terlihat gunung pasir. Udara di sekitar mereka lebih panas, dan langit berwarna ungu kemerahan. Di kejauhan, terdengar suara auman makhluk yang tidak dikenal dan suara angin.

Debu pasir berterbangan membuat mata menjadi perih.

Aiza menatap sekeliling dengan panik. "Kak… kita di mana?" 

Adskan mengangkat tangannya, mencegah debu pasir masuk ke matanya dan mengamati medan di sekitar mereka.

"Apa yang terjadi? Bagaimana bisa kita di sini?" Ucap Adskan bingung.

Tiba-tiba terlihat sesosok wanita raksasa dengan tubuh ular dari kejauhan.

"Aku rasa… kita bukan lagi di dunia kita yang kita kenal." Ucap Adskan sambil menatap Aiza.