Sinar Matahari memancarkan cahaya pucat yang menyinari hamparan gurun pasir luas. Angin dingin bertiup, menerbangkan butiran pasir halus yang berputar di udara. Di kejauhan, sisa-sisa bangunan kuno setengah terkubur pasir, menunjukkan bahwa tempat ini dulunya pernah dihuni. Beberapa pilar batu besar masih berdiri tegak, meskipun lapuk oleh waktu dan terkikis angin.
Di tengah kesunyian, Adskan dan Aiza terkejut melihat kemunculan makhluk setengah ular yang sangat besar. Mata hijau berkilaunya memancarkan cahaya redup, tubuh bersisik logam berkilauan seperti kombinasi teknologi dan sihir. Makhluk itu mengeluarkan desisan tajam, suaranya beresonansi aneh, seperti perpaduan suara manusia dan ular.
Tanpa berpikir panjang, mereka langsung berlari, meninggalkan jejak kaki di pasir yang terus berubah bentuk. Nafas mereka memburu saat akhirnya menemukan bongkahan batu besar yang mencuat dari pasir—mungkin bagian dari reruntuhan peradaban yang telah lama hilang. Mereka segera menyelinap ke celahnya, punggung mereka menempel ke permukaan batu yang dingin. Dari tempat persembunyian, mereka masih bisa mendengar gesekan tubuh monster itu dengan tanah, menandakan ia masih mencari mereka.
Adskan menempelkan punggungnya ke batu, mencoba menenangkan diri. "Apa-apaan tadi itu?!" suaranya setengah berbisik, tapi nadanya penuh tekanan.
Aiza juga berusaha mengatur nafasnya. Ia mengintip sedikit dari celah batu, matanya membelalak melihat siluman ular itu bergerak perlahan, kepalanya menoleh ke segala arah seakan mencari mereka. "Aku... aku nggak tahu! Makhluk itu aneh sekali!" katanya dengan suara tertahan.
"Kau lihat matanya? Itu bukan hanya makhluk mitos... ada sesuatu yang berbeda..." Lanjut Aiza dengan nafas tersenggal. Adskan melirik Aiza yang masih mencoba menenangkan diri. Kemudian dia mencari botol minuman. "Kau baik-baik saja?" seraya Adskan memberikan minuman itu ke adiknya.
"Aku baik." bisik Aiza cepat menerima minuman dari tangan Adskan kemudian meminumnya. "Kurasa itu bukan benar-benar Makhluk legenda. Lihat tubuhnya—kilau logam di sisiknya, mata hijau nya yang bersinar seperti sensor. Aku curiga... ini bukan makhluk asli."
Adskan mengernyit. Adskan yang penasaran menoleh dan memperhatikan makhluk itu dari balik batu dengan hati-hati.
Makhluk itu berbadan manusia dengan mahkota menghiasi kepalanya, permata yang menghiasi mahkota itu memancarkan cahaya samar. Namun semakin diperhatikan, ada sesuatu yang lebih mencurigakan, di sela-sela sisiknya, tampak celah-celah kecil yang berpendar samar dengan cahaya kebiruan, seolah ada arus listrik yang mengalir di dalamnya. Tatapan matanya yang hijau tampak terlalu sempurna, seolah bukan hanya bola mata biasa, tetapi lebih mirip lensa yang terus-menerus menganalisis lingkungannya.
"Apa maksudmu? Kau bilang itu robot? Atau semacam hibrida?"
Aiza mengangguk, meskipun ragu. "Mungkin kombinasi keduanya. Teknologi dan sihir? Aku belum yakin, tapi yang jelas, kita nggak bisa berharap itu punya kelemahan seperti monster biasa."
Adskan mengusap wajahnya. "Tapi kita tidak mungkin kita bersembunyi di sini selamanya, kan?"
"Tepat. Tapi kita juga nggak bisa sembarangan keluar. Kita harus tahu cara menghadapinya," Aiza menelan ludah, menatap kakaknya. "Aku akan mencoba mendeteksi sinyal elektronik di sekitar kita. Kalau aku benar, mungkin ada cara untuk melumpuhkan atau setidaknya mengalihkan perhatiannya."
Adskan menatap Aiza dengan tajam, mencoba memahami rencana adiknya. "Oke, tapi jangan terlalu lama. Kalau makhluk itu mendekat... kita harus siap kabur atau bertarung."
"Aku tahu," gumam Aiza. "Tapi lebih baik kita kabur dulu daripada mati konyol."
Aiza mulai memindai lingkungan sekitar dengan alat kecil yang tersambung ke sistem komunikasinya. Matanya berbinar ketika mendeteksi sinyal elektronik yang memancar dari makhluk itu. "Benar dugaanku! Makhluk itu punya sensor elektronik di tubuhnya!"
Adskan mengangguk, mengencangkan genggaman pada pisau cakar kiri. "Bagus. Jadi, bagaimana cara kita memanfaatkan ini?"
"Aku bisa mengacaukan salah satu sensornya untuk mengalihkan perhatiannya. Tapi kita harus segera kabur setelahnya. Kita nggak punya waktu untuk melawannya!" Aiza menatap Adskan dalam. Meragukan idenya akan diterima oleh Adskan, mengingat sifat dan karakter kakaknya itu.
Adskan terdiam sesaat, lalu berkata, "Baik. Lakukan sekarang!"
Aiza terkejut idenya diterima. Meskipun begitu Aiza menjadi merasa lebih tenang.
Kemudian Aiza dengan cepat mengutak-atik perangkatnya, lalu menekan tombol. Sesaat kemudian, makhluk itu mengeluarkan raungan kesakitan, kepalanya menoleh ke arah lain, tampak kebingungan.
"Ayo!" Aiza memberitahukan ini waktunya melarikan diri.
Namun, tanpa diduga, Adskan sudah bergerak, bermaksud menyerang makhluk itu.
"Kakak?! Apa yang kau lakukan?!"
Adskan menatap tajam ke arah makhluk itu, lalu berteriak, "Kita nggak bisa terus lari selamanya!" Dengan cepat, ia melompat tinggi ke arah siluman ular itu, menghunuskan pisaunya ke dada makhluk tersebut.
Seketika raung memekakan telinga menggema. Aiza refleks menutup telinganya dengan tangan. Kemudian makhluk itu mengibaskan tangannya ke arah Adskan dengan kasar. Tubuh Adskan terpental keras, menghantam batu di belakangnya.
"Kakak!!" Aiza berteriak panik melihat kakaknya terhempas. Wajahnya pucat, tangannya gemetar.
Adskan terbatuk, merasakan darah hangat di sudut bibirnya. Tangannya gemetar saat mencoba bangkit, tapi tubuhnya terlalu lemah. Aiza menahan napas, matanya melebar saat makhluk itu melangkah maju, bayangannya menutupi kakaknya yang tak berdaya.
Makhluk itu masih berdiri, meskipun luka telah menganga di tubuhnya. Mata hijau menyala menatap Adskan yang tergeletak di atas pasir.