Bab 8 : Di Balik Layar

Adskan berusaha bangkit meskipun tubuhnya babak belur. Nafasnya tersengal, setiap tarikan udara terasa seperti pisau yang menusuk paru-parunya. Luka-luka di tubuhnya berdenyut perih, darah merembes di pakaiannya, tetapi matanya tetap tajam. Ia menatap makhluk raksasa di depannya—sebuah kombinasi teknologi dan biologi, dengan tubuh besar berlapis baja dan sorot mata hijau yang menyala redup, seolah masih memantau pergerakannya meskipun tubuhnya sendiri sudah terhuyung.

Sambil mengeratkan genggaman pada Pisau Cakar Kiri, Adskan menyeringai. "Mata itu!? Apa kau sedang menonton sekarang?" pikirannya, lalu meludahkan darah yang menggenang di mulutnya.

Adskan menghela napas, mencoba berdiri tegak dengan susah payah.Dari sudut matanya, ia melihat Aiza bergerak, siap menghampirinya.

"Tetap di situ!" ucap Adskan tegas. Seperti perintah seorang kapten di medan perang. "Dengar, kau harus memanipulasi sensor itu lagi. Kali ini, pastikan benar-benar lumpuh. Aku akan mengakhirinya."

"Tapi, kakak—" Aiza menggigit bibirnya, suaranya terdengar khawatir. "Kau sudah terluka..."

"Percaya padaku, ini harus berhasil."

Aiza mengangguk ragu, lalu segera bekerja dengan alatnya. Tangannya gemetar, tapi dia tetap fokus. Sekarang, dia tidak hanya mencoba mengganggu sensor, tapi berusaha mengambil alih kendali makhluk itu.

------------------------

Di Sebuah ruangan gelap diterangi oleh cahaya dari beberapa layar besar yang menampilkan pertarungan Adskan dan Aiza. Leo duduk bersandar di kursinya, menyaksikan dengan ekspresi santai, namun matanya tidak lepas dari layar.

Di sampingnya, seorang wanita berjas lab putih melipat tangan di dada. Wajahnya menunjukkan ketidaksenangan. "Leo, ini sudah keterlaluan. Mereka masih anak-anak. Hentikan ini."

Leo hanya tersenyum tipis. Meskipun terlihat tenang dia menyimpan kekhawatirannya. "Kita amati sebentar lagi." 

"Kau menyebut ini 'ujian', tapi ini lebih seperti penyiksaan!" bentak wanita itu, kali ini suaranya lebih tegas. "Pemuda itu nyaris tidak bisa berdiri, dan gadis itu... dia hampir menangis!"

Seorang pria tua berambut abu-abu yang duduk di sudut ruangan tertawa pelan meremehkan. "Biarkan mereka. Jika mereka tidak bisa bertahan, mereka tidak pantas mendapatkan artefak itu."

Leo melirik pria tua itu sekilas dengan pandangan peringatan. Pria tua seketika terdiam. "Kita hanya mengamati, tidak lebih. Kalau mereka gagal, ya sudah."

Seorang teknisi muda yang duduk di depan layar komputer mengetik cepat, lalu melirik Leo. "Pak, mereka hampir menemukan titik lemah monster itu. Apa kita biarkan mereka menang?"

Leo tersenyum kecil. "Tentu. Itu akan jauh lebih menarik."

Wanita berjas lab menggeleng frustasi. "Kau gila. Mereka bukan pion di permainanmu, Leo."

Leo tidak menjawab, hanya menatap layar. Tatapannya berubah tajam saat melihat Adskan mulai bergerak lagi.

----------------------------------

Di medan pertarungan, Adskan berusaha menahan demi serangan yang dilancarkan makhluk besar itu sembari menunggu adiknya berhasil memanipulasi sensor.

Aiza menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata. Ia melihat kakaknya yang babak belur menahan serangan itu sendirian, tetapi ia tahu ini bukan waktunya untuk panik. Tangannya mulai menekan tombol, mengakses sistem sensor makhluk itu.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Ia bisa merasakan perlawanan. Seolah makhluk itu punya mekanisme pertahanan sendiri terhadap gangguan luar. Keringat mulai mengalir di pelipisnya.

"Jangan gagal, jangan gagal..." gumamnya pelan.

Tiba-tiba layar kecil di perangkatnya berkedip merah. Ada sesuatu yang salah.

"Tidak... kenapa...?!" Aiza mulai panik, tangannya semakin gemetar.

Adskan melirik ke arah adiknya. "Aiza! Kau bisa melakukannya!" menyemangati adiknya. Sambil menghindari kibasan ekor sang ular besar.

Aiza menarik napas dalam-dalam. Ia menutup matanya sejenak, lalu membukanya lagi dengan tekad baru. Tangannya mulai bergerak lebih cepat, mengakses jalur lain.

Beberapa detik berlalu yang terasa seperti selamanya.

Lalu, tiba-tiba layar berkedip hijau.

"Berhasil!" Aiza berseru pelan, matanya terbelalak. Tidak hanya mengacaukan sensor, namun Ia berhasil mengambil alih kendali gerak makhluk itu.

"Kakak, sekarang!" teriaknya dengan sekuat tenaga.

Adskan sontak bergerak dengan kecepatan yang luar biasa, ia melesat maju, tubuhnya hampir seperti bayangan hitam yang bergerak cepat di bawah sinar lampu medan pertempuran.

Ceklek!

Dalam satu gerakan mulus, ia melompat seakan terbang di udara, mengangkat Pisau Cakar Kiri tinggi-tinggi sebelum menghunjamkannya ke permata yang bercahaya di mahkota makhluk itu.

CRACK!!

Bunyi retakan menggema, diikuti oleh raungan mengerikan dari makhluk itu. Tubuhnya bergetar hebat, seolah meronta dalam keputusasaan. Kemudian, dengan suara berat yang menggetarkan tanah, ia jatuh ke belakang, menghantam pasir dengan debu yang berhamburan.

Adskan berdiri terengah-engah, tubuhnya bergetar akibat kelelahan yang luar biasa. Perlahan, lututnya melemas, dan ia membiarkan dirinya terjatuh ke pasir.

Aiza, yang melihatnya dari kejauhan, jatuh berlutut dengan napas lega. Tangannya yang masih gemetar terkulai di sisinya.

Dengan sisa tenaga, Adskan menggertakkan giginya. Tubuhnya berdenyut nyeri, dadanya naik turun tak teratur. Lututnya hampir menyerah, tapi dia memaksakan diri untuk bangkit menghampiri tubuh monster itu. Dia memperhatikan mata monster itu yang masih menyala redup, kameranya masih aktif.

Dia mencengkram kepala monster itu, mengangkatnya dengan susah payah. Mata hijau redupnya masih berkedip—rekaman masih berjalan. Dia pun mengarahkan kameranya ke wajahnya sendiri.

"Kau lihat itu, Paman Leo?!" suara Adskan serak, tapi penuh tantangan. Matanya membara meskipun tubuhnya hampir runtuh. Seringai kemenangan terlukis di wajahnya.

Di ruang kendali, 

Leo sontak terkejut tidak menyangka matanya membelalak.

"HAHAHAHA!" Tiba-tiba tawanya menggema di ruangan. Dia menyandarkan diri ke kursi, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan irama pelan seakan merasa puas.

"Ternyata dia mengetahuinya. Instingnya... luar biasa," gumamnya. Matanya berbinar penuh kegembiraan, seolah Adskan baru saja membuktikan sesuatu yang penting.