Bab 9: Pertanyaan Pemimpin

Adskan terbangun dengan kepala berdenyut, matanya menyipit saat cahaya putih dari lampu di atasnya menusuk retinanya. Ia berusaha menggerakkan tubuhnya, tetapi rasa nyeri menjalar dari setiap ototnya. Ruangan itu terasa steril, dengan bau antiseptik yang kuat memenuhi udara. Suara bip pelan dari mesin monitor jantung terdengar di sampingnya. Di sekelilingnya, ada dinding putih polos, rak dengan berbagai peralatan medis, serta tirai tipis yang sedikit bergoyang karena embusan udara dari ventilasi di sudut ruangan.

Ia menatap langit-langit, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi. Terakhir yang ia ingat adalah pertarungannya dengan makhluk setengah ular di area kosong berpasir. Ia mengingat pasir yang berterbangan, suara mendesis tajam, dan tekanan kuat di tubuhnya saat serangan makhluk itu menghantamnya. Ia juga ingat sudah mengalahkan makhluk itu. Lalu, kegelapan menyelimuti segalanya.

Matanya beralih ke tangannya yang terasa kaku. Ada perban melilit lengan kirinya, dan selang infus tertancap di punggung tangannya. Tubuhnya terasa berat, seolah setiap gerakannya menuntut usaha lebih besar dari biasanya. Dengan susah payah, ia mencoba mengangkat kepalanya, mengamati ruangan dengan lebih jelas. Di sudut ruangan, ada sebuah meja dengan beberapa dokumen dan layar monitor yang menampilkan grafik kesehatan. Seakan memastikan, ia mencubit lengannya sendiri. Nyeri yang timbul mengkonfirmasi bahwa ini bukan mimpi.

"Bagaimana aku bisa ada di sini...?" gumamnya pelan, suaranya serak.

Ia menarik napas dalam, berusaha mengendalikan rasa panik yang mulai merayap di pikirannya. Jika ia ada di sini, berarti seseorang telah menyelamatkannya. Tapi siapa? Dan bagaimana caranya? Pertanyaan itu berputar-putar di benaknya tanpa jawaban yang jelas.

Ketika ia hendak mencoba bangkit, rasa pusing menyerang, membuatnya terhuyung kembali ke tempat tidur. Jelas tubuhnya masih belum sepenuhnya pulih. Ia menatap ke langit-langit, mencoba mencari petunjuk lebih lanjut. Hanya suara monitor dan mesin pendukung medis yang terdengar di ruangan itu, menciptakan kesunyian yang menambah kesan aneh pada situasi yang ia alami.

Sebuah suara ceria memecah kebingungannya.

"Wah, kau sudah bangun!"

Adskan menoleh ke arah suara itu. Seorang wanita berdiri di sisi tempat tidurnya dengan senyum lebar di wajahnya. Rambut panjangnya yang diikat bergerak sedikit saat ia mendekat. Itu Aoi.

Adskan semakin bingung. "Aoi...?"

Wanita itu mengangguk, masih dengan senyum yang sama. "Tepat sekali! Kau terlihat kaget. Atau jangan-jangan... kau terpesona?" ia mengedipkan mata dengan nakal.

Adskan mengabaikan candaan itu dan langsung bertanya, "Di mana aku? Bagaimana kau bisa ada di sini?" Adskan mencoba mencerna situasi, seketika teringat adiknya. "Aiza?! Dimana dia?" 

"Hei!Tenang, kendalikan dirimu! Tekanan darahmu jadi naik." Melirik monitor pasien sambil kemudian menggenggam tangan Adskan untuk memeriksa denyut nadinya.

"Kau pasrah sekali, aku jadi merasa kau tertarik padaku." Aoi menggoda karena Adskan tidak melawan saat Aoi menyentuhnya. Sadar akan hal itu Adskan langsung mengibaskan tangannya untuk melepaskan diri.

"Adikmu baik-baik saja. Sedang istirahat di ruangan lain. Dia tidak terluka, namun sepertinya kelelahan. Ku dengar dia tidak berhenti menangis melihatmu pingsan"

Mendengar itu Adskan merasa bersalah namun lebih tenang karena adiknya baik-baik saja. Adskan bertekat untuk mentraktirnya makan enak untuk menebusnya.

"Tapi kau ini benar-benar kakak yang perhatian, ya." lanjut Aoi. "Aku penasaran akan reaksimu jika aku yang terluka." ujarnya dengan nada menggoda.

Adskan mengabaikan godaan Aoi

"Di mana aku? Apa yang kau lakukan disini?" Adskan masih tidak mengerti dengan situasi yang dialami.

Aoi meletakkan tangan di pinggangnya dan berkata dengan nada santai, "Kau ada di pusat medis pasukan khusus. Dan aku? Aku memang bekerja di sini. Aku dokter yang bertanggung jawab." Ia terkikik kecil.

Barulah Adskan sadar bahwa ada sesuatu yang tidak masuk akal. "Tunggu... kau dokter? Dan kau bekerja di tempat yang sama dengan Paman Leo?" Matanya menyipit curiga. "Jangan bilang kau sudah tahu rencana ini? Pertemuan kita di halte sebelumnya, aku tidak yakin itu kebetulan."

Aoi langsung mengangkat tangannya, seolah membela diri. "Hei, hei! Aku tidak bersalah! Pertemuan kita, itu murni kebetulan."

"Aku baru tahu setelah kau yang babak belur dan adikmu yang tidak berhenti menangis dibawa ke sini."

Adskan menatap Aoi dalam, masih tidak percaya.

"Astaga! Percayalah! Apa kau tahu betapa terkejutnya aku melihatmu pingsan dan luka-luka?"

Adskan tetap diam, kali ini sengaja menatapnya lebih lama hanya untuk mengusili Aoi.

"Jangan menatapku seperti itu! Percayalah!" Aoi merajuk, ekspresinya sedikit kesal.

Adskan terkekeh, tapi tawanya terhenti saat nyeri tajam menusuk dadanya. Ia langsung terbatuk, nafasnya tersengal, merasakan sisa efek pertarungan di setiap tarikan nafasnya.

Aoi langsung refleks mendekat untuk membantunya, namun tetap saja tak bisa menahan dirinya untuk menggoda. "Jika aku tahu, apa mungkin aku membiarkan pangeranku terluka?" Ia mengedipkan sebelah mata dengan gaya khasnya.

Adskan hanya bisa menghela nafas panjang, tak tahu harus merespons bagaimana terhadap candaan Aoi kali ini.

Di luar ruangan, suara langkah sepatu berat bergema di sepanjang koridor. Setiap petugas medis yang berpapasan dengan sosok itu segera berhenti dan memberi hormat. Tatapan mereka penuh rasa hormat sekaligus segan.

Leo.

Pria itu berjalan dengan langkah tegap, auranya begitu kuat hingga atmosfer sekelilingnya seakan menegang. Tatapan tajamnya lurus ke depan, dan sorot matanya tak menyisakan ruang untuk kelengahan. Begitu ia sampai di depan ruangan Adskan, ia membuka pintu dengan tenang.

Aoi, yang masih berbicara dengan Adskan, langsung berdiri tegak dan memberi hormat begitu melihat Leo masuk. Tanpa berkata-kata, Leo mengisyaratkan Aoi untuk meninggalkan mereka berdua. Aoi mengangguk cepat dan keluar, tetapi sebelum menutup pintu, ia sempat melirik Adskan dan berbisik, "Bos besar datang. Kita bertemu lagi nanti."

Leo berjalan mendekat, lalu duduk di kursi di samping tempat tidur Adskan. Ia menatap pemuda itu dalam-dalam, ekspresinya sulit ditebak. Setelah beberapa detik, ia akhirnya membuka mulut dan bertanya dengan suara datar, "Bagaimana kau tahu itu aku?" Leo membicarakan tindakan Adskan setelah berhasil mengalahkan makhluk setengah ular.

Adskan tersenyum kecil mendengar pertanyaan itu. Seolah sudah menebaknya.