Bab 10: Dua Pilihan

Adskan menyandarkan punggungnya ke tempat tidur, menatap Leo dengan tajam. "Sejak awal, pertarungan itu terasa aneh."

Leo menaikkan alisnya. "Aneh bagaimana?"

Adskan menghela napas, mencoba mengingat kembali momen-momen saat ia bertarung melawan makhluk setengah ular itu. "Serangannya kuat, sangat kuat... tapi tidak mematikan. Seperti ada batasan yang tidak bisa dilanggar."

Leo tetap diam, membiarkan Adskan melanjutkan.

"Setiap kali aku kelelahan, monster itu tidak langsung menyerangku seperti memberikan ku kesempatan untuk bertahan. Setiap kali aku hampir kalah, seolah-olah ia mengurangi tekanannya. Itu bukan pertempuran sungguhan. Itu lebih terasa seperti... simulasi latihan."

Leo menyilangkan tangannya, ekspresinya tetap dingin, tetapi ada kilatan di matanya yang menunjukkan bahwa ia tertarik dengan analisis Adskan. "Jadi, kau berpikir pertarungan itu seperti simulasi latihan?" menunjukan tatapan keheranan. "Meski kau seperti hampir mati begitu?"

Adskan ragu-ragu untuk memilih kata yang tepat untuk menjelaskannya. "Hmm… bagaimana ya? Entah lah aku pernah merasakan hal itu saat dilatih ayah dulu." 

Leo tidak menduga jawaban yang diberikan Adskan. Anak ini menerima pelatihan keras dari kapten.  Kata Leo dalam pikirannya.

"Dan orang yang cukup punya kekuatan dan pengaruh untuk mengatur sesuatu seperti itu... ya, cuma kau." lanjut Adskan.

Leo tersenyum tipis. "Kau cukup cerdas untuk seseorang yang baru hampir mati."

Adskan mendengus. "Jadi, aku benar, kan?"

Leo tidak langsung menjawab. Ia menatap lurus ke mata Adskan sebelum akhirnya berkata, "Ya, itu memang ujian."

Adskan mengepalkan tangannya. "Jadi, semua ini hanya permainan? Aku hampir mati, Aiza ketakutan setengah mati, dan bagimu itu hanya ujian?"

Leo tetap tenang. "Jika itu pertarungan sungguhan, kau tidak akan ada di sini sekarang."

Adskan terdiam. Ia ingin marah, ingin meneriaki Leo, tetapi ia juga tahu bahwa ada kebenaran dalam kata-kata pria itu. Jika makhluk itu benar-benar berniat membunuh, ia dan Aiza mungkin sudah tidak bernapas sekarang.

"Kenapa kau melakukan ini?" Adskan akhirnya bertanya, suaranya lebih rendah tetapi penuh tekanan.

Leo berjalan mendekat dan duduk di kursi di samping tempat tidur. "Kau harus menyadari kejadian beberapa minggu belakangan ini bukan kejadian yang akan terjadi dikehidupan manusia biasa."

Seketika Adskan melihat kilasan kejadian yang menimpanya, dari penemuan buku ayah, artefak pisau cakar, penyusup dan dibuntuti setiap hari.

"Kau benar… tapi ini tidak menjelaskan kenapa ujiannya harus seperti itu." jawab Adskan.

"Aku akan menjelaskannya setelah kau memilih satu dari dua pilihan tawaran yang akan aku berikan." 

Adskan menatapnya curiga. "Tawaran?"

Leo mengangguk."Tawaran pertama, ikut program perlindungan kami, kami akan menjaga kalian selama kalian hidup tapi kalian harus bersembunyi selamanya."

"Atau bergabunglah dengan kami. Aku akan melatihmu. Kau akan menjadi lebih kuat dari yang pernah kau bayangkan. Dan yang lebih penting... kau bisa melindungi Aiza dengan kekuatanmu sendiri."

Adskan terdiam. Tawaran kedua itu terdengar menarik, tetapi juga berbahaya. Ia tidak tahu apakah ia bisa mempercayai Leo sepenuhnya. Namun, satu hal yang pasti: jika seseorang seperti Leo melihat potensi dalam dirinya, maka dunia yang ia kenal mungkin lebih berbahaya dari yang ia duga.

Pintu ruang perawatan terbuka dengan keras.

BRAK!

"KA-KAK!"

Aiza menerobos masuk dengan langkah cepat dan mata berkilat penuh emosi. Alih-alih memeluk atau menangis seperti kebanyakan orang, ia langsung menendang kaki ranjang Adskan.

DUG!

Adskan yang baru sadar sepenuhnya hampir melompat dari tempat tidur. "HEI! KENAPA MALAH MENENDANG RANJANGNYA?!"

"ITU UNTUK MENYADARKANMU!" Aiza membalas dengan suara tinggi, wajahnya penuh amarah.

Adskan mendengus, mencoba duduk lebih tegak. "Kalau kau benar-benar khawatir, setidaknya kau harus memelukku."

"Cih!" Aiza menyilangkan tangan di dada, tatapannya tetap tajam. "Aku nggak tidur semalaman karena menunggu kakak sadar! Syukurlah kakak tidak mati."

Adskan terdiam sesaat, lalu berkata lebih pelan, "Aku nggak bermaksud bikin kau khawatir."

"Apa benar begitu? Tapi kakak tetap melakukannya!" Aiza menggeram, jelas masih kesal. Ia menatap kakaknya lama, lalu akhirnya mendengus. "Lain kali kalau ini terjadi lagi, aku bakal benar-benar marah."

Adskan menatapnya balik dengan ekspresi datar. "Barusan itu belum benar-benar marah?"

Aiza tidak menjawab, hanya menendang kaki ranjang sekali lagi sebelum akhirnya berbalik menuju pintu. "Kakak harus cepat sembuh. Aku nggak mau mengurus orang yang sok pahlawan."

Sebelum keluar, ia melirik ke belakang dan menambahkan dengan nada lebih pelan, hampir tak terdengar, "Jangan macam-macam lagi."

Adskan tersenyum kecil, meskipun tidak membalas secara langsung. Ia tahu itu adalah cara Aiza menunjukkan rasa pedulinya—tanpa harus ada pelukan atau kata-kata manis.

Setelah Aiza pergi—dengan langkah yang sedikit terlalu keras sebagai bentuk protes terakhirnya—ruangan kembali sunyi. Adskan menghela napas, merasa sedikit lebih tenang setelah memastikan adiknya baik-baik saja.

Namun, keheningan itu tak berlangsung lama.

"Kau beruntung dia hanya menendang ranjangmu."

Suara berat itu berasal dari Leo, yang masih berdiri di dekat jendela, mengamati interaksi kakak-beradik itu dengan tatapan tajam.

Adskan mendengus kecil. "Kurasa aku memang pantas mendapatkannya."

Adskan terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang. "Aku tidak suka caramu menguji kami tanpa peringatan. Tapi kalau ini memang bagian dari sesuatu yang lebih besar... aku ingin tahu alasannya."

Leo menyeringai tipis, ekspresi puas terlihat di matanya.

"Bagus," katanya singkat.

Adskan menatapnya dengan curiga. "Bagus... karena aku tidak marah, atau bagus karena aku ingin tahu lebih banyak?"

Leo bangkit berdiri, menepuk bahu Adskan (cukup kuat untuk sedikit menyakitinya, tapi jelas tidak bermaksud jahat).

"Keduanya," jawabnya sebelum berjalan menuju pintu. "Istirahatlah dulu. Kita akan bicara lebih banyak setelah kau cukup kuat untuk berdiri tanpa jatuh."

Adskan mengerang kesal. "Aku nggak selemah itu..."

Leo hanya tertawa pelan sebelum keluar dari ruangan, 

"Jika kau sudah cukup sehat… aku akan menceritakan tentang ayahmu." Leo meninggalkan Adskan dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.