Aku mengedipkan mataku beberapa kali, detak jam dinding yang asing memasuki telingaku. Di depanku, ada piring kaca yang diisi nasi, tempe, dan telur rebus. Saat aku mengangkat kepalaku, dua orang dewasa yang terlihat masih cukup muda mengobrol dengan senyuman disetiap kalimat yang mereka lontarkan.
Salah satu dari mereka menyadari tatapanku, ia tersenyum, memanggil nama yang terdengar asing namun terasa familiar bagiku, "Pandang, kenapa kamu diam begitu? Apa kamu seterkejut itu mendengar berita barusan?"
"Haha, dia pasti kaget karena baru punya adik disaat dia sudah masuk kelas tiga SMP," ucap pria di seberang meja makan.
Aku masih tertegun, bingung, sulit bagiku untuk dapat mencerna semua hal yang begitu asing di depan mataku. Secara tidak sadar, aku membuat sebuah alasan agar aku dapat keluar dari situasi itu.
"Ah, aku baru ingat, malam ini temanku bilang kalau kedua orangtuanya sedang pergi keluar kota, jadi dia memintaku untuk datang dan menginap dirumahnya."
Tanpa menunggu jawaban, aku berdiri dari kursi, berjalan cepat menuju pintu keluar. Pemandangan yang menungguku di luar rumah adalah gedung-gedung yang menjulang tinggi dari kejauhan.
Malam hari, angin yang menerpaku mungkin akan membuatku sakit esok hari, namun aku berlari seperti orang gila, bahkan sempat menabrak beberapa orang saat melewati gang-gang sempit.
"Hah... Ha... Aku pasti sudah gila," aku mengatur napas sembari menolak segala pemikiran yang ada di dalam kepalaku saat melihat jalan raya yang dipenuhi hiruk-pikuk kota besar, "Aku masih bisa mengingatnya dengan jelas, aku sedang tidur di kamar kos-ku. Tapi sekarang, apa ini?"
Aku seorang mahasiswa sastra tahun keempat, setelah kelelahan melewati jam kelas dan bekerja, aku tertidur seperti sebatang pohon, hanya untuk menunggu hari-hari yang melelahkan saat mentari menyinari dunia.
Namun, alih-alih tidur pulas, aku malah dihadapkan dengan omong kosong seperti ini, hanya dengan mengedipkan mata, aku langsung berpindah tempat.
Pikiranku kusut, perasaanku pun rumit jika ingin dijabarkan, meski begitu, aku tetap berjalan kembali ke rumah itu, karena saat ini, mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi padaku adalah prioritas utama.
Setidaknya, aku tahu tempat ini masih di Indonesia, terlebih kota besar. Selain hal itu, aku juga tahu tentang nama yang aneh, "Pandang" itu terdengar seperti lelucon ketika dijadikan sebagai nama seseorang.
"Aku pulang," sahutku membuka pintu rumah, hanya untuk melihat seorang pria duduk dilantai, menonton televisi yang menayangkan pertandingan bola dengan sangat fokus.
"Oh, kamu sudah pulang, nak? Bagaimana dengan temanmu?" jawabnya tanpa menoleh sedikitpun, masih fokus dengan acara bola yang kian memanas.
Aku terdiam sejenak, aku bingung bagaimana harus menjelaskannya, terlebih, anak ini memanggil orang tuanya dengan sebutan apa? Ayah? Papa? Babeh? Aku pun menutup otak-ku, menjawab singkat, "Temanku ternyata pergi bersama orang tuanya, yah."
"Oh..." balasnya acuh tak acuh.
Aku menarik napas ringan, lalu menghembuskannya. Selama perjalanan pulang, aku terus terpikirkan mengenai nama Pandang, apakah ini seperti yang aku pikirkan, atau bukan, sejujurnya, aku terus berdoa bahwa aku hanya merasuki seseorang dengan nama yang konyol, berharap agar apa yang aku pikirkan tidak menjadi kenyataan.
"Ayah, ini mungkin terdengar tiba-tiba, tapi, apa sebenarnya arti dari nama panjangku?"
"Hm? Ah, soal itu, sebenarnya agak memalukan, sih, tapi khusus untukmu, ayah akan beritahu. Sebenarnya, Wahyudi Pandang Sumara...."
Pria itu menjelaskan arti dari nama anak laki-laki ini, tentang kisah cintanya dengan sang istri, namun aku tidak mendengarkan, seakan angin yang berhembus terhisap tak bersisa, secara bertahap aku tidak dapat mendengarkan apapun.
Perlahan, aku berjalan lurus melewati ruang tamu, disebelah kanan ada dua pintu kamar, yang satu memiliki pintu krem bercampur putih polos, dan yang satunya memiliki tulisan yang melarang siapapun masuk sebelum mengetuk.
Jelas, kamar mana yang milik anak itu. Saat pintu kamar aku tutup, aku menyenderkan punggungku dibalik pintu, menyeret tubuhku hingga terjatuh ke lantai.
Gila kataku, mana mungkin ini benar-benar terjadi, nama Wahyudi Pandang Sumara bukanlah nama manusia di dunia nyata, hampir mustahil rasanya. Karena nama itu bukan dari dunia asli, melainkan nama karakter novel yang aku buat saat masih duduk dibangku SMA kelas tiga.
"Sial, aku benar-benar sial. Kalau ini prank, aku pasti akan menuntut orang yang menciptakan situasi ini."
Wahyudi Pandang Sumara, karakter yang sebenarnya tidak penting, hanya saja secara kebetulan aku memasukkannya karena hidupnya yang sudah digantikan oleh karakter kuat lainnya.
Seharusnya, karakter yang merasuki tubuh ini adalah Pandang Madavin, aku melakukan itu sebagai bentuk troll karena nama panggilan mereka yang aku buat sama.
Tapi, bukan tanpa alasan aku membuat karakter yang begitu kuat merasuki tubuh bocah ini, karena bagaimanapun, cerita utama yang dibawakan dalam novelku terlalu kompleks.
Saat itu aku benar-benar gila. Aku membuat novel dengan alur gila yang membuat karakter utamanya terus melakukan regresi hingga hitungan yang bahkan aku sendiri sudah lupa nama dari jumlah angka pengulangannya.
Dengan begitu banyaknya pengulangan, karakter utama pasti akan menjadi gila, maka dari itu, aku pun tidak menulis secara detail apa saja yang dilakukan sang karakter utama. Meski begitu, selama triliunan pengulangan, karakter utama akan terus-menerus menggila dan menghancurkan dunia sampai pada akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan tujuannya untuk menghentikan pengulangan.
"Kuh... Maafkan aku, Main Character, aku mengaku salah karena sudah membuatmu mengalami berbagai macam masalah karena kegilaanku..."
Tidak ada gunanya, aku harus menerimanya, saat ini, aku berada di dalam novel buatanku. Rasanya, aku bisa mengerti kenapa para author lebih ingin membuat karakter ciptaan mereka mendapatkan happy ending dibanding bad ending .
Aku menutup mataku, menghela beberapa ketukan napas, sampai akhirnya aku mencari buku dan pulpen. Sebelum aku terlibat lebih jauh di dunia gila ini, aku harus mencatat kejadian penting yang mungkin akan terjadi.
Saat pulpen berada di genggaman tangan kananku, aku menatap sebuah buku yang telah dibuka, aku terdiam, mencoba mengingat kembali kejadian penting yang ada di dalam novel. Saat keheningan itulah, aku tersadar....
"Aku kan gak tahu ini pengulangan ke berapa, anjing...!!!"
Atau setidaknya begitulah isi hatiku, pada kenyataannya, aku hanya menjambak rambutku sendiri dengan frustasi. Sulit bagiku untuk mengungkapkan isi hatiku dengan lingkungan sempit ini.
Aku menyerah, aku harus bertemu dengan karakter utama dulu. Untuk sekarang, aku akan menuliskan kejadian yang sudah pasti terjadi entah apapun yang dilakukan si karakter utama.
Aku menuliskan tiga poin, pertama, alam semesta yang kacau. Kedua, perebutan tiket menuju kota Nexuspire. Ketiga, perebutan tahta surgawi.
Sebenarnya, aku bahkan tidak perlu memikirkan dua poin terakhir, bagaimanapun, itu akan terjadi ratusan tahun lagi. Pada saat itu, tubuh anak ini pasti sudah tidak bersisa.
Tapi, hal yang paling krusial adalah poin pertama, karena meski tidak bisa dibatalkan, kejadian ini bisa dipercepat dengan campur tangan karakter utama maupun karakter imba lainnya, lalu aku juga bisa memperkirakan kapan kejadiannya dapat berlangsung jika aku mengetahui tepatnya pengulangan saat ini.
"Tunggu, setelah aku pikir-pikir, disini, aku tidak bisa mengatakan sesuatu yang biasanya aku lakukan."
Benar, dalam setiap kalimatku, aku selalu menggunakan kata "Aku" ketimbang "Gua" yang lebih cocok untuk digunakan oleh anak yang tinggal dekat Jakarta.
Satu fakta unik tentang novelku, disana, manusia dan makhluk mitos hidup berdampingan, hanya saja, mereka tidak bisa saling mempengaruhi kecuali mereka sudah siap terkena hukuman.
Namun, kejadian "Kiamat Alam Semesta," atau "pengulangan ke-100.000" adalah pengecualian. Seperti sebelumnya, pengulangan ke-100.000 tidak lebih dari sekedar troll dariku sebagai penulis.
Lalu, ketika mitos-mitos hidup dapat mempengaruhi alam para manusia, maka bisa dipastikan, mereka tidak akan mengizinkan bahasa yang tidak baku, terlebih, mereka semua akan otomatis mengubah semua bahasa yang ada di dunia menjadi bahasa Indonesia, meski begitu, tidak akan ada orang yang menyadari hal ini, kecuali beberapa karakter penting.
"Hah! Sulit sekali mencerna semua informasi ini sekaligus, sepertinya aku harus melakukan ini besok lagi, untuk sekarang, aku harus istirahat, semua kegilaan ini benar-benar membuatku lapar dan mengantuk."