Hari Dimana Aku Menyelesaikan Dendam

Suara kendaraan terdengar saling sahut menyahut, terutama suara klakson kendaraan roda empat, entah yang besar atau yang kecil, menjadi sebuah alarm yang membangunkan tidur pulasku.

Aku menekuk wajahku, seumur-umur aku tidak pernah dibangunkan dengan cara seperti ini, aku sekarang bisa sedikit memahami stress yang dirasakan oleh orang-orang yang rumahnya dipinggir jalan.

"Pandang sayang, cepat siap-siap berangkat, ayahmu sudah menunggu di depan!" teriak seorang wanita yang tengah sibuk mengoseng penggorengannya.

"Tidak usah mandi?" sahutku yang baru saja keluar kamar.

"Lihat saja wajah ayahmu itu, kalau ditekuk separah kamu, artinya sudah tidak ada waktu. Cuci muka, dan ambil saja sarapan ini..!"

Mengikuti saran wanita itu, aku menoleh ke kiri, tepat dibawah bingkai pintu, pria itu bersandar setengah badan, tersenyum, namun ujung mata dan alisnya yang mengkerut tidak dapat membohongi perasaannya yang sebenarnya.

"Hah... Baiklah, aku cuci muka dan ganti baju dulu."

Semenit, dua menit, pintu kayu di depan mulai diketuk, aku semakin mempercepat kegiatanku. Begitu aku keluar, wanita itu sudah menaruh kotak bekal di meja tv, sedangkan yang satunya lagi diberikan langsung kepada pria itu.

Wanita itu menciumnya pipinya, suatu pemandangan yang jarang aku lihat, bukan karena aku jomblo atau semacamnya, hanya saja, jarang sekali aku melihat ada pasangan suami istri yang sudah memiliki anak masih bisa semesra ini.

"Bu, aku pergi dulu!" sahutku sembari melambaikan tangan dari atas motor Sapru ayah yang nampak telah bekerja keras selama bertahun-tahun.

Wanita itu pun balas melambaikan tangan, perjalanan menuju sekolah menjadi waktu bagiku untuk berpikir, apalagi angin sepoi-sepoi membuatku menjadi semakin ingin melupakan semua kejadian gila yang terjadi semalam.

Sejujurnya, aku berharap jika semalam hanyalah mimpi, tapi sekarang, aku benar-benar tidak bisa lari lagi dari kenyataan yang berada di depanku.

Semalam, aku mungkin terlalu kaget, makanya aku tidak bisa berpikir dengan jernih. Tapi, sekarang aku harus menetapkan tujuanku, bukan hanya sekadar bertahan hidup, namun aku juga harus memikirkan cara untuk kembali ke dunia asli.

Mungkin jika ini adalah novel atau manga, para protagonis yang terjebak di dunia lain akan merasakan kenikmatan, dan tidak ingin kembali, namun aku memiliki keluarga yang menungguku. Aku mencintai keluarga ku, tidak mungkin aku akan membiarkan dunia novel bodoh ini mempermainkanku.

Namun untuk sekarang, aku masih belum tahu bagaimana caranya. Mungkin, satu-satunya harapanku adalah dengan bertemu karakter yang cukup tinggi posisinya dalam dunia novel ini, dan menanyakan perihal duniaku.

Terlena dengan pikiranku, pria yang mengendarai motor Sapru di depanku tiba-tiba saja berhenti, saat itulah aku juga sadar bahwa perjalananku bersamanya berakhir disini.

"Kita sudah sampai, Pandang, belajar yang benar di sekolah, ya, nak," ujar pria itu sembari mengusap kepalaku dengan lembut.

Sebenarnya aku ingin menepis tangannya, namun aku membiarkannya, aku pun tidak tahu kenapa aku melakukan itu. "Iya, aku berangkat dulu, yah"

Setelah aku berjalan beberapa langkah, pria itu telah menghilang bersama suara berisik yang keluar dari motor tua itu. Aku pun terus berjalan masuk bersama dengan puluhan murid lainnya ke dalam sisi lain gerbang.

Sialnya, aku pun tidak pernah terpikirkan untuk menulis kelas apa yang dimasuki karakter-karakter seperti ini, lagipula pembaca akan bosan.

Dengan begitu, aku pun tersasar selama beberapa menit sebelum akhirnya aku memutuskan untuk bertanya kepada salah satu guru yang ada di ruang guru.

Meski terasa sangat malu, aku harus melakukannya, guru itu pastinya menganggapku aneh, namun beruntungnya, dia adalah guru yang mengajar dipelajaran pertama hari ini.

Mengikuti dari belakangnya, aku pun akhirnya memasuki ruang kelas di lantai dua, semua orang menatapku, mereka pasti mengira aku terkena masalah karena berjalan masuk setelah guru.

Karena aku adalah anak terakhir yang masuk kelas, jadi terpaksa aku duduk di kursi paling pinggir, di dekat jendela, baris kedua dari belakang, sedangkan orang-orang yang duduk dibelakangku tertawa cekikikan.

Pelajaran pertama matematika, sangat sial, aku tidak suka mata pelajaran eksak, untungnya ini masih ditingkat SMP, jadi cukup mudah, pelajaran kedua biologi, dua kali berturut-turut aku bertemu pelajaran eksak, namun aku masih cukup suka yang kedua.

Setelahnya waktu istirahat dimulai, sembari terus memikirkan rencana kedepannya, aku membuka tasku, mengeluarkan bekal yang sudah disiapkan oleh wanita itu.

"Haha, bekal apalagi yang kamu bawa hari ini anak mami~"

Tiba-tiba seorang anak laki-laki bersama gerombolannya mengelilingi mejaku, ekspresi mereka mencoba mengintimidasi, tidak ada satupun anak di kelas yang berani menginterupsi kejadian menjijikan itu.

Aku tahu betul ini perundungan. Tapi apa yang harus aku lakukan, aku hanya bisa melihat kegiatan mereka saat ini seperti permainan bodoh yang dilakukan saat sedang bosan.

Apa kalian sebagai orang dewasa berumur 21 tahun, pernah takut saat ditantang oleh sekelompok anak SMP? Begitu pula denganku.

Aku pun berdiri dari tempatku, menatap balik orang yang ber-omong kosong di depanku dalam keheningan. Hanya dengan melakukan itu saja, sekelompok anak ini langsung terdiam, mereka pasti memikirkan hal-hal yang bisa membuat mereka takut saat ada seseorang yang hanya menatap diam kearah mereka.

Sebelum mereka sempat bereaksi dan melawan balik, aku pun menggertak.

Braakk...!!!

Sebuah meja aku pukul sekuat tenaga, pastinya itu tidaklah mudah, rasa sakit menjalar hingga bahuku, punggung tanganku memerah, namun aku tetap menyesuaikan ekspresi datarku.

"Bah! Bocah ini berani banget sekarang, langsung hajar aja!"

Bodoh, pertarungan anak-anak, terlebih tanpa dasar beladiri.

Satu tangan melayang kearah wajah, aku langsung menangkapnya dengan santai, lalu kupelintir menggunakan gaya gerak yang tercipta dari tenaganya sendiri.

Dari sebelah kiri, seseorang menerjangku, dalam sekejap aku tahu dia hendak mengunci pergerakanku, dalam kondisi seperti itu, aku memiringkan tubuhku, membuat anak itu tersungkur dengan sendirinya.

Anak-anak lain mencoba memukul, mencengkeram lenganku, namun apalah daya, mereka bahkan tidak mengerti apa itu persendian, aku terus bergerak, menghindar dan mengcounter sudah menjadi acara utama dari pertarungan anak-anak ini.

Dalam kejadian itu, semua orang yang berada di dalam dan di luar kelas dapat melihatnya, dengan ketenangan dan gerakan yang efektif, aku, tidak tersentuh.

Setelah beberapa saat, para guru yang mendengar kegaduhan langsung mengintervensi pertarungan yang telah aku selesaikan hampir tanpa usaha.

Masalah hari itu menjadi berkepanjangan akibat para orang tua yang dipanggil. Meski sebelumnya, aku sudah menjelaskan situasi yang sebenarnya terjadi. Bagaimanapun, karena akulah yang menyakiti mereka, tanggung jawab pun dilimpahkan kepadaku, terutama protes keras yang dilayangkan para orang tua perundung.

Saat ini, aku duduk dengan tenang di ruang bimbingan konseling, di seberang meja, ada satu anak yang menjadi pemimpin mereka, dan perwakilan orang tua yang memiliki pengaruh terhadap sekolah. Para wali murid lain dengan tidak sabar menggunjing di luar ruangan.

Di sebelah kiri, ada seorang guru perempuan yang terlihat khawatir dan panik. Berbanding terbalik dengan aku yang hanya merespon segala hal yang terjadi disekitar dengan tatapan datar.

"Heh, mau berapa lama lagi saya nunggu orang tua bajingan ini?! Apa tidak bisa langsung hubungi polisi dan penjarakan saja!?" teriak orang tua perundung itu, seketika mengubah wajahnya seperti tomat.

"Ma-maaf Bu, tapi tolong tunggu sebentar lagi, dan tolong jangan bawa masalah ini ke polisi..." jawab guru di sampingku yang kedua tangannya naik turun layaknya sedang berdoa.

Dunia novel, adalah sesuatu yang indah bagiku. Karena aku bisa dengan bebas menulis apapun yang terasa bagus bagiku maupun pembaca.

Tapi jika ingin melihat kenyataan, maka mungkin inilah salah satu kenyataan kejam nan pahit yang masih ada di dunia asli. Sekolah hanya memikirkan reputasi, makanya guru ini menolak memanggil polisi. Anak di depanku samar-samar tersenyum kecil merasa bahwa dirinya sudah menang, bukan karena kemampuannya, melainkan dukungan salah kaprah dari orang dewasa yang telah melahirkannya.

Braak..!!

Pintu ruangan terbuka dengan paksa bukan karena amarah, melainkan kekhawatiran yang terlukiskan pada wajah seorang wanita, yang jika semua orang yang memiliki hati nurani melihatnya pasti akan merasa tersayat-sayat.

"Ibu..." gumamku tanpa sadar.

Pada saat itu, aku dapat melihat keringatnya yang bercucuran, ia jelas berlari dari rumah untuk sampai kesini. Mata kami sempat bertemu, rasanya sakit sekali ditatap oleh mata itu, lebih sakit dibanding ketika gigi copot karena tendangan.

Mata wanita itu pun dengan cepat beralih kearah wali murid yang sudah ongkang-ongkang kaki dengan wajah tidak peduli.

Dalam keheningan yang heboh, aku melihat wanita itu memohon-mohon, memeluk kaki, bahkan hampir-hampir ia sujud kalau saja tidak dihentikan guru itu. Namun semua itu tidak berguna, wanita sombong itu tetap ingin menuntut aku.

Disinilah aku, duduk diam. Aku mengira dunia ini akan berbeda, aku kira fokus pada alur novel untuk mencari jalan keluar sudah cukup, namun rupanya....