Normal, itulah kata pertama yang mungkin akan muncul jika aku menceritakan kisah hidupku. Selama hidupku, aku hampir tidak pernah mencari masalah, malah, aku lebih memilih menghindarinya.
Sekolah di tempat yang biasa, keluarga yang biasa, secara ekonomi, aku tidak punya masalah apapun yang terlalu membebani. Kecerdasanku pun rata-rata, meski aku akui, daya imajinasiku agak diatas orang biasa, terutama ketika kamu sudah dewasa. Biasanya, imajinasimu akan memudar bahkan cenderung menghilang, semua itu bisa terjadi karena kamu telah melihat kenyataan hidup.
Namun sekarang, aku mengerti kenapa aku lebih memilih dunia imajinasiku, meskipun melihat kenyataan itu penting, tapi aku lebih memilih untuk tidak melihat situasi ini secara langsung.
"Saya gak mau tahu, ya!" teriak perempuan gila dengan ludahnya yang bermuncratan, "Pokoknya anakmu itu harus tanggung jawab! Bisa-bisanya anak sekolah, bukannya belajar, malah mukulin anak orang!"
"Ma-maaf Bu, saya akan kasih tahu anak saya," jawab wanita di depannya dengan nada memelas.
Dengan tatapan jijik, perempuan gila itu sekali lagi berteriak layaknya orang utan. "Enak aja minta maaf! Kamu pikir anak saya luka-luka begini bisa diobatin pake maaf?! Belum lagi kalau dia trauma terus gak mau masuk sekolah, kamu emang bisa tanggung jawab?!"
Lucu rasanya mendengar kalimat-kalimat ala sinetron bisa keluar dari mulut perempuan itu. Apa di dunia ini, hati nurani manusia pun sudah hilang? Atau sedari awal, aku salah karena mengharapkan adanya hati nurani diantara manusia?
Biarlah, aku juga tidak begitu peduli. Sekarang, karena semuanya sudah seperti ini, aku akan membuat situasinya jadi lebih keruh.
Kekesalan melanda hatiku, kepalaku pun menjadi keras dan panas. Aku berdiri tegap dihadapan orang-orang yang tengah heboh, menatap wajah mereka satu persatu. Sekilas terlihat lucu karena mereka kebingungan, lalu tanpa berbasa-basi, aku pun melontarkan api yang membara.
"Bu, berhenti meminta maaf. Aku menghajar mereka untuk membela diri, karena sebelumnya akulah yang dirundung oleh mereka semua."
"Hei, apa yang kamu bicarakan, mana ada anakku seperti itu?!" sahut perempuan gila itu.
"Kalau tidak percaya, tanya saja sama anak anda," balasku sembari menunjuk anak itu dengan telapak tanganku.
Perempuan itu menoleh secepat kilat, wajahnya semerawut begitu melihat anaknya yang langsung tertunduk, tidak berani menatap siapapun yang berada di ruangan itu.
Perempuan itu mendecakkan lidahnya, kecewa dengan kepengecutan anaknya sendiri, meski begitu, kegilaan justru semakin meledak-ledak, "Terus kenapa kalau anakku dan teman-temannya ingin bermain sedikit denganmu?! Itu tidak mengubah kenyataan kalau kamu yang menyakiti mereka, kan!"
Hah... Aku sudah duga dia akan memaksa untuk menolak mengakui kesalahan anaknya. Yasudahlah, lagipula, sedari awal aku membuat kekacauan memang agar diperhatikan oleh makhluk itu.
Di dunia luar, perempuan gila itu terus berteriak tidak jelas, namun sesaat aku menutup mata, aku dapat merasakan kehadirannya. Untungnya, makhluk mitos di pengulangan ke-100.000 sudah otomatis hidup berdampingan dengan manusia, jadi aku bisa langsung berinteraksi dengan mereka selama persyaratannya terpenuhi.
"Ifrit, Asmodeus, dan Chaos Eater, jawablah panggilanku, jika kalian tertarik denganku."
Seketika, suara yang berasal dari luar berhenti, bukan hanya suara, melainkan semua pergerakan, lebih tepatnya, waktu telah berhenti di ruangan itu.
Perlahan, aku membuka mataku, aku melihatnya, yang berdiri di depanku, bukan lagi ibu-ibu yang cerewet, melainkan sosok perwujudan api yang menatapku dengan rasa penasaran.
Sosok itu tinggi kurus, ia tidak memiliki kulit, atau lebih tepatnya sudah terbakar, wajahnya tidak terlihat, gelap, namun bagian mata kanannya dipakaikan penutup mata berwarna putih, corak naga berwarna merah menyelimuti penutup mata itu hampir penuh.
"Wah~wah~ Lihat ini, ada seorang anak manusia yang berani memanggil 3 sosok yang bahkan ditakuti surga" ujarnya yang mendekatkan wajahnya ke arahku.
Pemandangan itu cukup menakutkan, mengingat ini pertama kalinya aku melihat langsung karakter yang aku ciptakan, namun jika aku menunjukkan sedikit saja ketakutan disini, ifrit akan kehilangan minatnya padaku, dan kami mungkin tidak akan pernah berinteraksi lagi.
Dengan begitu, aku pun memberanikan diri untuk mengeluarkan suara, namun secara tak sengaja, aku mendengus layaknya orang yang menahan tawa, "Hah, ditakuti surga? Kalau itu Chaos Eater, aku mungkin akan percaya, tapi kamu? Coba katakan itu lagi setelah kamu berhasil mengacak-acak mitos Yunani."
"Hah...?!! Coba katakan itu sekali lagi? Sepertinya ada seorang manusia lemah yang banyak omong disini."
Tubuh ifrit yang terlihat gosong karena terbakar, tiba-tiba berubah menjadi api yang menyembur layaknya kulit matahari. Melihat dari reaksinya, seketika itu pula aku sadar bahwa hidupku sedang berada diujung tanduk. Meski begitu, aku tidak bisa berhenti berpura-pura berani, karena jika aku menunjukkan keraguan sedikitpun, nyawa ku mungkin akan langsung melayang seketika.
"Ifrit, kamu mungkin tidak tahu ini, tapi pertemuan kita hari ini bukan kebetulan maupun kesalahan semata. Aku berusaha memanggil kalian yang mengamati kekacauan di seluruh semesta, karena aku ingin membuat sebuah kesepakatan."
Ifrit terdiam sejenak setelah mendengar kalimatku, lalu seketika ia tertawa hingga rasanya langit akan runtuh, "Hah! Kau, ingin membuat kesepakatan?! Hahaha...! Konyol sekali anak manusia satu ini, kau pikir sosok seperti kami mau membuat kontrak dengan bocah sepertimu?! Seharusnya kau bersyukur karena diberi kesempatan untuk bertukar kata dengan—"
"Azazel," ucapku.
Tawa itu terhenti saat mendengar nama yang membuat Ifrit muak hingga ke ubun-ubun. "Nak, sebaiknya kamu jangan menyebutkan nama itu sembarangan jika kamu tidak ingin celaka."
Tatapan Ifrit kini berubah, meski aku tidak dapat melihat matanya, jelas aura yang dibawakannya berubah drastis. Dalam momen itu, aku bahkan sempat menelan ludah.
Dalam keheningan, aku menarik napasku dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan, "Ifrit, jika kamu mau menerima kesepakatan yang aku tawarkan, aku akan memberitahumu, cara membuat Azazel berlutut dihadapanmu."
"Sialan kau nak, ini sudah tidak lucu lagi, bahkan jika ini di dalam domainku, orang itu masih bisa mendengarkan percakapan kita tahu, kau tidak tahu seberapa menakutkannya orang itu?" balas Ifrit yang terdengar lebih tenang dan serius.
Di momen inilah aku sadar, bahwa sekarang adalah saatnya bagiku untuk menjelaskan rencanaku secara agresif dan percaya diri. "Tenang saja, Azazel bukan tipe orang yang mau mengurusi hal-hal sepele seperti ini."
"Aku pun tahu tentang itu, masalahnya, saat ini kau juga melibatkan Asmodeus, memangnya kau tidak tau apa, kalau Asmodeus itu salah satu bawahan terpercaya Azazel?"
"Dasar bodoh~" balasku menggelengkan kepala.
"Apa!—" sebelum Ifrit bisa protes, aku pun melanjutkan penjelasan ku.
"Jika Asmodeus memang setia, dia pasti sudah melaporkan kejadian yang saat ini dia amati juga, dan pada saat itu, kita berdua akan langsung berakhir ditangan mammon, tapi kenyataannya, kita masih bisa mengobrol santai disini."
Ifrit pun kehabisan kata-kata, sebelumnya, ia tak pernah menyangka bahwa bawahan yang dekat dengan Azazel justru malah menjadi orang yang ingin mendengar kesepakatan iblis semacam ini.
Dengan diamnya Ifrit, aku pun meneruskan rencanaku, "Ifrit, sebagai ganti dari informasi yang akan aku berikan padamu, aku ingin kamu menerima tiga permintaanku."
Ifrit masih terdiam, hanya mengamatiku tanpa bergeming, melihat hal itu justru membuatku senang, dan tanpa sadar tersenyum. "Permintaan pertama, aku ingin kamu membakar ingatan orang-orang yang terlibat dalam kejadian hari ini, entah itu yang terlibat langsung atau hanya sekadar melihat."
"Ha? Kau menggunakan kesempatan permintaanmu hanya untuk masalah sepele seperti itu?"
"Yah, aku hanya ingin melihatnya secara langsung, seberapa tinggi nilai dari kemampuanmu itu."
"Hah!? Kau mengejekku, ya?! Meski aku terlihat seperti ini, aku ini masuk kedalam peringkat 20 besar di dunia iblis tau!"
"Iya, aku tahu, tapi aku ingin melihatnya langsung, apakah kamu keberatan? Padahal aku sudah menggunakan kesempatan permintaanku untuk hal sepele ini loh, atau apa kamu lebih ingin dimintai untuk membawakan tanduk naga bintang?"
Ifrit, iblis peringkat dua puluh besar, terkenal karena sangat tenang dan gila, tiba-tiba menutup mulutku, tangannya yang menutup mulutku itu gemetar ketakutan.
Dalam gemetar, Ifrit berbisik kepadaku dengan nada yang agak marah, beberapa kali, ia juga menoleh ke kanan dan kiri seakan sedang memeriksa kondisi sekitar, "Dasar bajingan gila, kau sudah tidak sayang nyawa, ya?! Kenapa kau suka sekali menyinggung nama-nama besar, sih, memangnya mereka itu temanmu apa?!"
Aku hanya tersenyum tenang, lalu menjawab, "Jadi, kamu terima tawaranku tidak?"
Dengan cepat, Ifrit menganggukkan kepalanya, rasanya, ia sudah tidak memiliki tenaga untuk menjawab kegilaanku dengan benar.
"Baiklah, ayo kita buat kontrak agar kamu tidak menolak saat aku meminta permintaan kedua dan ketiga," ujarku sembari mengulurkan tangan kananku.
"Ugh... Dasar bocah gila, kau tidak akan menyuruhku untuk mati dalam permintaanmu itu, kan?" Ifrit mengukir pola-pola yang mirip dengan sebuah lingkaran ritual, lalu menaruh apinya di punggung tangan kananku.
"Tentu saja tidak, aku baru akan memberitahu rahasia Azazel padamu jika ketiga permintaanku telah terpenuhi, jadi tidak mungkin aku akan membunuhmu dalam permintaan itu, bisa-bisa kontrak kita nanti batal, dan malah aku yang akan mati."
Sembari mengoceh, aku menggigit jempol kiri aku, lalu menuangkannya pada tangan Ifrit. Setelah selesai membuat kontrak, sekejap cahaya yang menyilaukan menyinari tubuh kami berdua, hal itu menjadi pertanda bahwa kontrak telah dibuat.
"Oh ya, Ifrit, sebelum kamu pergi, apa kamu sudah memiliki inkarnasi di dunia ini?" tanyaku dengan santai sembari mengelap sisa api Ifrit yang telah mengeras di tanganku.
"Cih, aku sudah punya, bahkan jika belum punya, aku tidak ingin orang gila sepertimu yang menjadi inkarnasi aku," jawab Ifrit yang membalikkan badannya, bersiap untuk pergi, "Omong-omong, bagaimana kau bisa tahu begitu banyak tentang kami para mitos, apa kau bukan manusia?"
Aku membelalakkan mataku, tak aku sangka pertanyaan semacam itu akan pertama kali keluar dari mulut Ifrit yang tidak peduli pada apapun, tanpa sadar aku pun tersenyum jahil, dan menjawab, "Kalah aku bilang, pencipta kalian semua adalah aku, apa kamu akan percaya?"
"Tch, bilang saja kau tidak ingin memberitahunya."
Dengan begitu, Ifrit pun kembali ke alamnya, kejadian pada hari itu pun sudah benar-benar dilupakan, meski beberapa orang tua bertanya-tanya kenapa mereka ada di sekolah, namun tidak ada satupun yang dapat menjawabnya.
Bagaimanapun, tampaknya Ifrit memberikan sedikit service, kepadaku, karena meski anak-anak perundung itu sudah disembuhkan juga, namun rasa takut mereka masih ada padaku.
Lalu, berakhirlah hari keduaku di dunia ini dengan sangat ekstrem. Namun, dimasa depan, hal-hal di dunia akan menjadi semakin rumit, maka dari itu, aku masih belum bisa tenang, dan masih banyak persiapan yang harus aku lakukan.