Mimpi

Arnak, Minru, nama-nama itu sekali lagi muncul, mengambang dengan tulisan berwarna putih diantara lautan kegelapan.

Aku ingat pernah menulis mereka, tapi kenapa aku juga merasa mengalami kejadian yang sama persis dengan apa yang mereka alami, bukankah itu kontradiktif? Aku bahkan bukan orang yang sebegitunya mencari kebebasan ataupun pahlawan tanpa tanda jasa yang menyelamatkan milayaran nyawa. 

Ini aneh, seharusnya ini pertama kalinya aku masuk kedunia novelku ini, kan? Lalu kenapa aku bisa sangat cepat beradaptasi? tidak, kalau itu sih, semua orang yang iq nya diatas 78 pasti bisa melakukannya. Tapi yang terpenting, kemungkinan mimpi ini memiliki petunjuk atau setidaknya alasan dibalik datangnya aku ke dunia novel.

Kemarin, aku sudah agak berlebihan, cepat atau lambat, orang-orang berbahaya itu akan menyadari sisa-sisa aura kedatangan makhluk mitos. Sekarang aku tidak punya pilihan selain masuk lebih dalam, dan mempengaruhi karakter-karakter penting yang mungkin bisa melindungiku dengan informasi yang aku punya.

Lalu, bagaimana dengan mereka?

Aku melirik ruang tamu dari kamar, kedua orang tua Pandang masih duduk sembari berbincang dengan bahagia selama satu jam.

Meskipun ini hari libur, mereka seharusnya melakukan kegiatan lain selain menggoda satu sama lain. Aku mengatakan ini bukan karena aku merasa iri atau apapun.

Menghela napas ringan, aku pun berdiri dari ranjangku, berjalan melewati dua orang itu tanpa menoleh seakan mereka tidak ada disana. Aku hanya bilang ingin keluar sebentar, dan mereka hanya bilang, "Hati-hati"

Di luar rumah, cahaya menyengat kulitku, rasanya seperti terbakar, ini akhir pekan, tapi jalanan masih saja dipenuhi hiruk-pikuk. Kali ini aku tidak hanya berjalan, aku harus menggunakan kendaraan umum untuk bisa menemui 'orang itu' segera, sebelum ia pergi ke tempat yang jauh.

Turun dari di depan halte bus, aku kembali berjalan menuju perumahan elit yang diisi dengan berbagai macam rumah besar yang terlihat bagaikan istana bagi orang sederhana seperti aku.

Setelah berjalan selama beberapa menit, aku terhenti di depan sebuah rumah berlantai tiga, cat nya dipenuhi oleh warna putih, mulai dari dinding, pagar, hingga hiasan rumah yang dipajang di depan rumah.

Seperti itulah deskripsi yang aku tulis di dalam novelku. Tanpa berlama-lama, aku menekan tombol bel, yang seketika membuat seisi rumah dipenuhi dengan suara yang sangat menggangu.

Hasilnya, seorang laki-laki berjalan dengan kedua kakinya yang melangkah cepat menuju kearah gerbang rumah.

"Hei, siapa yang menekan bel, apa kau tidak tahu bel kami rusak?! Kalau dipencet, bunyi tidak akan berhenti tahu—" pria itu seketika terdiam saat membuka pagar, di depan matanya, berdiri aku.

Mata kami saling beradu, wajah bingung padanya, dan tatapan percaya diri padaku. Dalam waktu singkat itu, bahkan sebelum aku bisa memulai percakapan, pria itu menarik ku ke dalam rumahnya.

"Apa kamu sudah bisa menebak tujuanku," ujarku dengan nada menguji dan percaya diri.

"Aku tidak pernah bertemu denganmu, tapi tampaknya kamu sangat mengenalku, jadi kamu sudah berhasil menarik perhatianku, jelaskan detailnya di dalam."

Istana, begitulah yang deskripsi singkat sesaat aku melihat interior rumah pria itu, tersusun rapi, elegan, dan mewah, meski akulah orang yang membuat latar belakang karakter ini, namun aku juga yang dibuat terkejut dengannya.

Saat dia mempersilahkan aku untuk duduk, dia justru berjalan menjauh sekitar sepuluh meter, bersandar pada dinding abu, menyilangkan tangannya, menatap waspada kearah aku.

"Jadi, alasan apa yang membuat anak SMP seperti kamu mendatangi rumahku? Seingatku, tidak ada satupun anak SMP dalam circle pertemananku."

Aku menarik napas, bersiap untuk berakting kuat dengan sebaik mungkin dihadapan seorang jenius yang dapat melihat hampir segalanya, "Aku akan langsung ke intinya. Tanbie, tolong lindungi aku dan keluargaku dari orang-orang yang mengincarku, sebagai gantinya, aku akan memberitahumu keberadaan wanita dari negeri yang dingin."

Tanbie agaknya tersentak, meski tidak terlalu terlihat, dia menunduk cukup dalam, hingga setengah ekspresinya tertutup oleh rambut coklatnya. Dalam situasi dimana aku hanya bisa menelan ludah, mata Tanbie perlahan menunjukkan bara menyala.

"Apa kamu siap dengan konsekuensi nya?"

Pertanyaan itu, sepertinya aku mengenalnya. Sebuah pertanyaan yang hanya digunakan oleh Tanbie paling banyak empat kali dalam hidupnya. Ketika ada orang yang berhasil membuatnya mengatakan itu, kamu bisa menganggap bahwa kamu telah melakukan perjanjian dengan iblis paling mengerikan yang hidup di kedalaman jurang neraka.

Secara tak sadar aku menyunggingkan bibirku dengan kaku, rasa takut dan antisipasi menyengat jantungku, "Siap tidak siap, faktanya aku memiliki informasi itu, bahkan, lebih dari itu, aku ingin bekerja sama denganmu untuk melakukan sesuatu."

".... Ikut aku, jika kamu memang sehebat itu, aku harus menentukan kelayakanmu," ujar Tanbie yang menjauhi dinding abu, dan mulai berjalan kearah pintu yang berada dibawah tangganya.

Saat pintu dibuka, tampak ruang bawah tanah yang gelap dan dingin, debu-debu berterbangan keluar, jelas tempat itu tidak pernah digunakan apalagi dibersihkan.

Pada waktu yang singkat, aku menyadari lirikan Tanbie, sepertinya, dia ingin menguji kekuatan mentalku, biasanya, anak-anak seumuran denganku ini akan langsung menunjukkan ekspresi yang tidak enak sesaat mereka melihat ruang bawah tanah seperti itu, sayangnya, aku berbeda.

"Ayo masuk."

Satu persatu anak tangga aku turuni, lantai dasar yang kupijak rupanya lebih dingin dari yang aku bayangkan, debu di lantai dan sarang laba-laba di langit-langit lebih banyak dari yang aku bayangkan, sedikit menjijikan, dan terasa tidak nyaman.

"Apa yang sebenarnya ingin kamu tunjukkan padaku disini?" ujarku dengan nada penasaran. Meski sudah tahu apa yang ingin ia tunjukkan padaku.

"...."

Bagus sekali, sekarang dia mengabaikanku, lihat saja nanti, akan aku tunjukkan akibat dari melawan penciptanya.

Di dalam ruang bawah tanah itu, ada sebuah kotak besi mencurigakan di tengah-tengah ruangan, seperti pilar, namun tidak sampai langit-langit, seperti sebuah loker, tapi tidak bisa dibuka dengan cara biasa.

Tanbie yang mengetahui tentang itu, menempelkan kedua tangannya di depan kotak besi, yang seketika membuat sisi di depan kami terbuka lebar, menyuruh kami untuk segera masuk.

Kami berdua saling bertatapan, meski ada perbedaan tinggi, namun kami merasakan ketidaknyamanan yang sama. Dalam satu kotak besi, kami berdiri di dalamnya, tempatnya tidak begitu lebar, sulit bernapas malah, namun kotak besi itu tidak peduli, menutup satu-satunya jalan angin bagi kami, dan seketika bergoyang hebat seakan gempa bumi sedang melanda tempat ini.

Kejadian itu berlangsung setidaknya tiga menit, kondisi dimana kamu hanya bisa berdiri pasrah, di depanmu ada seorang pria tampan yang berkeringat karena panas, jika aku seorang wanita aku mungkin akan senang....

"Stop!!! Sialan, narasi macam apa ini?!"

Dengan alis yang terangkat dan mata yang melebar, Tanbie bertanya dengan ragu, "Ka-kamu kenapa..."

"Eh, ah, tidak ada, aku hanya sedang memikirkan sedikit pekerjaan." jawabku asal-asalan, tidak sempat memikirkan alasan dari tindakan tidak masuk akal yang baru saja aku lakukan.

"Huh... Terserah," wajah Tanbie yang pasrah segera mengalihkan pembicaraan kearah yang dia mau, dan menunjuk sebuah entitas membeku yang tampaknya sudah lama mati, "lihat kesana, itu adalah, warisan terbesar dari keluarga kami."

Benar, aku mengingatnya seperti kemarin, Tanbie Anto, keturunan keluarga pahlawan kuno, julukan yang terkenal bagi keluarganya sebelum dia membuat namanya sendiri terkenal adalah....

"Keluarga Pembasmi Naga"