Aku dibisukan, tak ada jawaban maupun tindakan. Hanya berdiri diam dengan kedua kakiku yang bergetar hebat.
Apa yang ada dihadapanku tidak lebih dari lapangan yang kontur tanahnya telah rusak parah, tidak itu bukan lagi lapangan, itu tanah yang belum terjamah dengan warna kecoklatan.
Kabut di sekelilingku pun semakin menebal, menghilangkan jejak rumah-rumah yang menjadi tanda campur tangan manusia. Perubahan yang mendadak itu membawaku pada sebuah teriakan tanpa henti.
Teriakan yang terasa menyakitkan, bukan hanya untuk didengarkan, namun juga untuk dirasakan,karena kamu dapat merasakannya, ketika seseorang benar-benar berteriak kesakitan atau tidak.
Suara-suara itu menggema, bukan, itu tidak masuk melalui gendang telingaku, melainkan langsung kedalam kepalaku.
Aku menekan-nekan kepalaku sekeras mungkin, meringkuk diatas tanah layaknya ulat. Tidak ada siapapun disana, meski begitu, suara yang aku dengarkan tidak lebih dari penyiksaan.
Sebelum aku menyadarinya, aku melihat sepasang kaki anak kecil yang pucat, berdiri tepat di depan mataku yang sedikit aku paksa terbuka.
Samar-samar, aku bisa mendengarkan suara tawa yang sama seperti sebelumnya, kali ini, dibanding kesal, aku hanya bisa gemetar dihadapannya.
Rasa sakit di dalam kepalaku telah membangun ketakutanku, belum pernah aku merasakan ini selain saat aku bertemu ayahku, atau saat aku ditinggal ibuku.
Perlahan, suara teriakan memudar, digantikan oleh suara seorang anak kecil yang juga langsung menerobos ke dalam diriku tanpa meminta izin.
"Hihihi, ternyata kita memang sama. Orang itu tidak salah, kamu pasti bisa menjadi temanku," ujar anak itu yang terdengar bahagia.
Semenjak suara-suara teriakan itu telah menghilang, aku pun memberanikan diri untuk membuka mata lebar, meski kepalaku masih mencium tanah, aku memaksa untuk menonggak.
Diatas kepalaku, aku melihat sesuatu yang berada di luar dunia ini, sesuatu yang diluar pemahaman manusia, sosoknya sering ditakuti, namun juga lebih sering dibenci.
Penampilannya seperti anak laki-laki berumur enam hingga tujuh tahun, kulitnya pucat pasi, matanya putih, pupilnya membentuk lingkaran kecil, gigi taringnya yang harusnya kecil justru menjulur keluar seakan dia ingin memakan manusia, telanjang dada, hanya bermodalkan celana dalam putih yang sudah tercampur dengan tanah.
Aku dengan lirih pun bergumam, "Tuyul...?"
Anak itu, tidak, hantu itu tersenyum, sangat lebar, sangking lebarnya, bibirnya sampai membentuk lingkaran sempurna pada pinggiran wajahnya, seketika mengeluarkan cairan merah dari giginya yang mengkilap.
Seakan sudah tahu apa yang akan terjadi padaku, aku pun merangkak menjauhi hantu itu, tuyul. Berteriak hanya menghabiskan tenaga, aku pun menutup mulutku rapat-rapat, meski begitu, segala hal yang berada di sekitarku sudah bukan lagi tempat yang aku kenal sejak lahir.
Sesekali aku menoleh kearah hantu itu, ia hanya berjalan santai, namun tetap mempertahankan senyum mengerikannya.
"Jangan mendekat! Kenapa kamu melakukan ini padaku! Memang apa salahku!?"
Suara tawa bergema hebat di tengah lebatnya kabut, tanah merah yang aku pijak pun menjadi merah, tanah merah, tidak lebih mengerikan dari sosok yang mengejar ku seakan aku adalah makan siangnya.
Tanpa sadar, air mata dan lendir dari hidungku mencuat keluar, namun aku tidak peduli, aku terus menerus mempertanyakan alasan dari perlakuan yang terjadi padaku saat ini.
"Kenapa kamu melakukan ini, aku tidak pernah berbuat jahat, malah, aku sudah melakukan banyak kebaikan untuk ibuku, bahkan orang asing yang baru aku kenal selama seminggu! Aku selalu tersiksa oleh ayahku, ibuku selalu meninggalkanku, namun aku tetap menjadi anak baik, kenapa kamu melakukan ini?!"
Hantu itu tidak menghiraukan, terus berjalan dengan tawa. Namun pada satu titik, dia berhenti, aku tidak mengerti kenapa ia melakukan itu, meski begitu, aku tetap merangkak menjauhi makhluk mengerikan itu.
Dalam perjalanan mengerikan itu, aku berkedip, hanya butuh satu hal itu, segala hal yang ada di sekitarku berubah menjadi dunia cermin.
Cermin seukuran tubuh mengelilingiku dari segala arah tanpa memberikan celah untuk jalan keluar, aku terperangkap, hanya bisa pasrah sebelum menyadari sesuatu yang menarik.
Ekspresi wajahku terpantul dengan sangat baik, kualitasnya sangat hebat, semuanya dapat aku lihat, mata yang bergetar, baju dan celana yang sudah sobek akibat terseret di tanah. Wajahku kotor, tanah dan air mata menjadi hiasan bagiku.
Jantungku berdegup kencang, aku tidak bisa berkata-kata, hanya terdiam memandangi pemandangan yang tidak sedap dilihat.
Pemandangan yang sama seperti ibuku, dan orang asing itu, penampilan hancur ini tidak mengenakkan, namun aku berpikir jika setelah melalui semua itu, kita akan ke tempat yang lebih baik.
Lalu, kenapa aku merangkak, kenapa aku memohon, kenapa aku menangis, kenapa....
Keheningan yang aku ciptakan seketika pecah saat suara tangisan seorang anak laki-laki menggaung dari belakan pundakku. Seketika membuatku menoleh kearah belakang.
Aku melihatnya, seorang perempuan muda dan anak laki-laki yang tersungkur ke tanah, menangis karena baru saja terjatuh, "Aduh, sayang, hati-hati kalau berlari. Dimana bagian yang sakit?"
Tidak berhenti sampai disana, cermin dari berbagai arah, depan, kanan, kiri, atas , bawah, bahkan cermin-cermin itu berubah menjadi kepingan yang retak, menunjukkan pemandangan yang mungkin familiar bagiku.
"Ini, aku...? Apa dulu, ibu selalu seperti ini? Lalu, kenapa ibu selalu meninggalkan aku? Apa aku melakukan hal yang salah?"
Pemandangan masa lalu, kini berubah, semua cermin telah menghilang, terbang bagaikan asap, sebelum pemandangan mengerikan terpampang jelas melalui mataku.
Seorang wanita paruh baya, kulitnya sedikit keriput, rambutnya yang dulu hitam mengkilap, kini tergerai lemas di sudut ruangan. Ia tidak lagi membuka matanya yang penuh kasih sayang, ia tidak lagi tersenyum lembut layaknya dimasa lalu.
"Ibu...."
Satu kata yang terlontar, menghasilkan ribuan tetes air yang membasahi wajahku, rasanya tubuhku diremas oleh ratusan gajah, teriakan yang berbeda dari sebelumnya menjadi satu-satunya suara yang dapat aku dengar.
Menyesal, aku baru menyadarinya, aku menyesal, tolong kembalikan ibuku, aku bersalah, seharusnya ia bahagia, kenapa harus aku yang hidup.
Tolong, bunuh aku.
Satu lengan pucat menjulur kearah wajahku, aku menengok, melihat adanya anak laki-laki yang tersenyum hangat kepadaku, tanpa ragu, aku meraih tangan itu, rasanya hangat seperti dia masih hidup, meskipun kulitnya pucat.
Dalam kehinaan dan rasa bersalah, aku berjalan bersamanya menuju sumber cahaya yang tiba-tiba muncul dengan sinar yang teramat terang.
***
Aku bukan orang yang baik, namun aku juga tidak mau menjadi penjahat. Selama ini, aku selalu membatasi diriku untuk terlihat baik, meski aku memiliki sisi diriku yang jahat.
Matahari sudah naik sedikit lebih tinggi, namun bayanganku masih menutupi tumpukan abu yang berada tepat di depanku.
Tidak ada seorangpun di lapangan itu, aku hanya berdiri sendiri, suara burung di pagi hari masih belum berhenti, orang-orang pun mulai sibuk sendiri.
"Tampaknya, kali ini aku yang menjadi penjahat, Verdi. Sebagai penciptamu, aku meminta maaf karena melakukan semua ini padamu, setidaknya, aku memberikanmu kematian yang layak."
"Selamat tinggal, penjahat. Kejahatamu terlihat indah di mataku."
Bersamaan dengan diriku yang meninggalkan lapangan, abu anak itu telah diterbangkan oleh angin, agar dirinya dapat terbebas dari keegoisanku.