Langit malam dipenuhi warna merah, jalan gelap pun berubah merah, tampaknya, aku telah kehilangan kesadaranku selama beberapa saat.
Hanya untuk memastikan, aku mengusap jidatku, begitu aku perhatikan, cairan merah yang kental mengalir dari jemari aku.
Rasanya panas, seluruh tubuhku panas, belum pernah aku merasakannya. Apakah ini rasa kematian? Ataukah ini rasa dari keputusasaan ketika menghadapi maut?
Belum, aku belum mengakhiri hidupku dengan benar. Aku sudah mengakhiri dua orang, namun aku masih tidak mengerti bagaimana cara untuk pergi seperti mereka.
Ketika aku berdiam di kamar selama tiga hari, aku kehausan, aku kelaparan, pada akhirnya, tubuhku merangkak keluar untuk memenuhi kebutuhannya.
Ketika aku membenturkan kepalaku sendiri, inilah yang terjadi, aku terluka, namun masih belum bisa meninggalkan dunia menjijikkan ini.
Apakah aku masih belum boleh mati? Ataukah aku masih dibutuhkan di dunia ini? Pikiran-pikiran itu mengambang selama berjam-jam di dalam benakku.
Saat aku mulai kelaparan lagi, aku merangkak menunju dapur. Aku memakan apapun yang ada di dalam kulkas. Lalu segera bersandar pada pintu kulkas.
"Ah... Apa yang sebenarnya aku lakukan, kenapa aku masih belum menghilang juga, haruskah aku mencoba yang lainnya?"
Kematian, saat seseorang mengalami itu, kemana sebenarnya mereka pergi? Apakah mereka hilang begitu saja, ataukah ada tempat yang lebih baik menunggu mereka?
Jika memang seperti itu, untuk apa mereka berusaha hidup sekuat tenaga? Bekerja tanpa henti, tersenyum kepada orang-orang yang dibenci, tidakkah seharusnya mereka justru memohon untuk mengalami hal itu?
Ah, jadi begitu, apa mungkin mereka tidak tahu, kalau setelah kematian, mereka akan pergi ke tempat yang lebih baik. Jadi begitu rupanya, mereka yang kesepian tidak pernah diberitahu tentang itu, sama sepertiku, hanya saja, ibuku itu terlalu baik, jadi dia memberitahukan itu saat aku masih kecil.
Kalau memang begitu, maka aku harus memberitahu mereka, jika mereka tidak percaya, aku hanya perlu mengirim mereka kesana, mereka pasti akan berterimakasih padaku.
Tanpa sadar, aku tersenyum. Bulan yang terlihat begitu tinggi itu pun tersenyum, aku tahu itu, pilihanku tidak salah, aku tidak menyiksa ibuku, aku justru membebaskannya!
***
Pagi, waktu dimana mentari menyingsing, dunia menjadi tempat yang sulit untuk dilihat. Semua orang melupakan tujuan sejati mereka untuk hidup ketika mereka bangun dari tidur.
Aku benci matahari, dia begitu sombong, tidak seperti bulan yang dapat dilihat oleh semua orang, matahari sangat menyilaukan, ia melakukan itu agar semua orang tidak dapat melihatnya, tapi dia bisa melihat kami semua dari atas.
Aku benci orang sombong, sama seperti ayahku yang selalu menatap aku dan ibuku dari atas. Ketika aku melihatnya, dia memukulku agar tidak dapat dilihat, sama seperti matahari, rasanya menyakitkan.
Pikiranku masih mengawang setelah bangun dari tidur, meski begitu, aku dapat mendengarnya dengan jelas, seseorang mengetuk pintu rumahku.
Ibu bilang, jangan langsung membuka pintu yang diketuk, bisa jadi itu orang jahat. Jadi, aku berjalan merunduk, mengintip dari balik gorden, diluar, aku tidak melihat siapapun, selain sekotak kardus seukuran tangan.
Perlahan aku membuka pintu, menengok ke kanan dan kiri, tidak ada siapapun, bahkan tidak ada orang yang mengintip, lalu siapa sebenarnya yang membawa ini ke depan pintuku? Aku tidak tahu.
Diatas kardus itu, ada selembar kertas, ada tulisan yang tercantum. Meski aku selalu waspada, namun rasa penasaranku tidak bisa dibendung, sehingga tanpa pikir panjang, aku mengambil kertas itu.
Aku membacanya, "Halo, Verdi, aku menyapamu untuk berjaga-jaga jika kamu tidak mengambil kotak ini,"
Bagaimana dia tahu namaku?!
Aku tidak pernah keluar rumah semenjak aku berumur 7 tahun, tidak ada siapapun yang bisa mengenali penampilanku lagi, mereka yang mengenalku, hanya tahu penampilan waktu aku masih anak-anak, apakah itu berarti, seseorang yang aku temui selama beberapa hari ini?
Pada momen itu, aku tidak takut maupun gugup, hanya ada satu perasaan yang tidak bisa aku jelaskan, jantungku berdegup kencang, wajahku terasa panas, aku pun langsung memikirkan banyak hal tentang pengirim kotak ini.
Tanpa sadar aku pun mengambil kotak itu, melihat ke sekitar sekali lagi, lalu membawa masuk kotak itu bersamaku.
Untuk pertama kalinya aku merasakan ini dalam hidupku. Perasaan berdebar ketika seseorang mengenalmu, namun kamu tidak mengenalnya, benar-benar istimewa, seakan aku selalu diperhatikan.
"Ah... Sudah berapa lama rasanya, aku diperhatikan seperti ini...?" aku tersenyum lebar, dengan pipi yang memerah.
Dulu, ibuku pernah bercerita, ketika ibu mengenal ayah, ibu selalu dibuat berdebar, kalau tidak salah, ibu menamai perasaan itu dengan, Cinta.
Aku meneguk ludah, menatap harap pada kotak kardus itu, perlahan mengorek tape yang mengunci rapat kardus itu.
Celah dari kardus itu terlihat, di dalamnya gelap, aku sedikit khawatir kardus itu tidak memiliki isi, karena terasa begitu ringan. Namun aku tahu itu salah saat celah pada kardus terbuka lebar.
Seketika aku tersentak, tak kusangka, selembar uang lima puluh ribu rupiah tergeletak di dalamnya, sesuatu yang membuatku bingung, namun aku segera menyadari adanya gambar di bawah uang itu.
Aku mengangkat selembar kertas tak berguna, melihat isi sebenarnya dari kardus itu. Sebuah gambar yang terbuat dari spidol hitam, menunjukkan garis-garis dan dua persegi yang dihubungkan oleh garis, itu terlihat layaknya gambar peta.
Ada tulisan rumah di dalam gambar persegi bagian ujung kiri, sedangkan tulisan lapangan di ujung kanan. Seketika jaringan otak milikku menyampaikan pesan, bahwa itu adalah undangan untukku.
"Apa pengirim ini ingin aku pergi ke lapangan. Kalau garis-garis ini adalah jalan setapak, harusnya lapangan yang dimaksud tidak jauh dari sini."
Aku terkejut, orang yang mengirim kotak itu tiba-tiba saja mengirim peta, meski begitu, aku merasa penasaran, perasaan cintaku mengatakan bahwa hal ini akan menjadi pertemuan yang begitu indah.
Jika memang kami akan bertemu, aku harus menyiapkan peralatanku, aku tidak boleh mengecewakannya, aku harus memberikan cinta terbaikku padanya.
Dengan pikiran itu, aku pun membersihkan badanku, menyiapkan segala hal yang aku butuhkan agar hadiah yang diterimanya tidak mengecewakan.
Setelah semua aku rasa siap, aku pun memberanikan diri untuk keluar rumah sekali lagi, meski itu pagi hari, masih cukup berawan, bahkan mungkin sedikit berkabut dari sudut pandangku, entahlah, mungkin itu hanya karena langit mendung.
Sembari menutup pintu, aku berpamitan dengan ibuku yang masih berbaring di kamar, "Ibu, aku pergi sebentar, ya, ada seseorang yang sedang menungguku."
Setelah berpamitan, aku berjalan menjauhi rumah, melewati gang-gang sempit, menyusuri sungai kecil, hampir tanpa manusia yang dapat aku lihat.
Pada waktu ini, hanya ada orang-orang yang berangkat kerja, sehingga jarang sekali bisa melihat orang lain berjalan lalu-lalang, selain kendaraan roda dua yang egois.
Semakin lama aku berjalan, aku pun sadar ada sesuatu yang aneh terjadi di sekitarku. Kabut tipis yang menghalangi pemandangan semenjak aku keluar rumah jelas tidak normal. Bahkan terkadang aku merasa ada seseorang yang sedang mengawasiku dari kejauhan, namun segera menghilang saat aku menoleh ataupun menghentikan langkahku.
Bagaimanapun, tidak butuh waktu lama sampai aku melihat lapangan desa yang sering dijadikan tempat bermain bola saat sore, dan bulu tangkis saat malam.
Dari kejauhan, aku bisa melihat lapangan itu disusupi kabut yang lebih tebal, bahkan karena suatu alasan, lampu lapangan di kedua sisi menyala, namun hampir tidak dapat menembus intensitas kabut di dalam lapangan.
"Lapangannya itu benar disini, kan? Kenapa tidak ada orang sama sekali?" gumamku sambil terus melangkah menuju lapangan, tanpa aku sadari, sebuah suara asing menjawabnya.
"Hihihi, benar, benar! Hihihi."
Dengan panik aku menoleh ke segala arah, bahkan tidak luput bagian bawah. Namun seperti yang bisa di duga, tidak ada siapapun.
Suara anak kecil, entah laki-laki atau perempuan, muncul tanpa peringatan, dari tempat yang tidak bisa aku jangkau, kabut membuat keringatku menjadi dingin, napasku menjadi tidak stabil.
Perasaanku menjadi campur aduk, aku langsung berpikir bahwa ini adalah jebakan yang disiapkan oleh orang yang mengirimkan kotak kardus itu.
"Sial, keluarlah! Apa kamu yang memainkan perasaanku?!"
Hening, tanpa jawaban, tanpa kepastian, membuatku terus berdiri layaknya patung selama beberapa saat.