Gelap....
Sepi....
Aku selalu melihat ruangan gelap yang sama. Satu-satunya cahaya pernah masuk, adalah saat ibu membuka pintu.
Ibuku merupakan orang yang pekerja keras, tak peduli berapa lama, dia selalu pergi bekerja. Namun akhir-akhir ini, aku juga menyadarinya, mungkin, dia juga tak peduli dengan kehadiranku.
Saat dia pulang, dia tak pernah menyapaku, tak pernah tersenyum padaku, tak seperti dulu.
Pintu kamar yang telah lapuk aku buka. Bahkan setelah semua ini, dia masih belum menjawab panggilanku. ia hanya bersandar di dinding, mulutnya ternganga, malas rasanya melihat dia berdiam diri seperti itu.
"Bu, kalau aku pulang, jawab, dong. Padahal aku cuma pergi selama dua minggu untuk membawakan uang, jadi ibu tidak perlu pergi lagi untuk bekerja."
Tidak ada jawaban. Aku memiringkan kepalaku saat melihat ibu yang sudah tidak bergerak maupun bersuara.
Kenapa dia tidak menjawab? Apakah dia marah karena aku pergi terlalu lama? Haha, seharusnya itu tidak lama, lagipula aku sudah ditinggalkan lebih lama oleh ibu.
"Bu, jangan marah, dong, kan ibu lebih sering tinggalin aku, seharusnya ibu memaklumi aku, kan?" ujarku sembari menggoyangkan tubuh ibuku.
Saat itulah, aku tersadar akan sesuatu, tubuh ibuku terjatuh begitu saja sesaat aku mengguncang tubuhnya yang sudah sangat pucat.
Tertegun, aku menatap nanar kearah ibuku. Kebimbangan perlahan menggerogoti pikiranku. Pandangan semakin kabur seiring kesadaranku terhadap situasi yang sedang aku hadapi.
"Bu, jangan bercanda denganku. Kenapa kamu seperti ini? Bukankah aku hanya meninggalkanmu sebentar, saja?"
Kematian telah menghampirinya, tidak ada siapapun yang dapat mengubahnya. Bahkan jika itu adalah tangisan seorang bayi yang telah lama merindukan cinta.
***
Aku ingat betul, itulah yang aku tulis tentang masa lalu pembunuh berantai tanpa perasaan lahir. Tapi masalahnya, aku tidak menulisnya begitu detail tentang apa saja yang ia lakukan, dan kasus apa saja yang melibatkan kecerdasannya.
Bagaimanapun, aku harus segera menyingkirkannya agar kedepannya bocah itu tidak menjadi masalah.
"Bu, hari ini aku berangkat sekolah sendiri, ya!" ujarku agak meninggikan suara agar dapat terdengar hingga ke dalam rumah.
"Kenapa gak berangkat bareng ayah, aja?!" sahut wanita itu dengan suara yang sedikit lebih kencang dariku.
"Sudah, tidak apa-apa, aku sudah besar, sesekali mau berangkat sendiri!"
Setelah mengucap salam, aku pun langsung berlari keluar teras, menjauhi rumah itu, agar tidak dipanggil untuk tetap berangkat bersama.
Mungkin membolos akan menjadi masalah bagi Pandang, tapi mau bagaimana lagi, aku harus tetap pergi sendiri jika ingin mendapatkan kebebasan bergerak pada setiap rencanaku.
Pertama, aku harus melihat keadaan bocah gila itu dulu. Jika keadaannya memburuk, aku mungkin harus menggunakan cara yang kasar, namun, aku berharap dapat menggunakan cara yang lebih halus.
"Oke, waktunya berangkat!"
Selama dua jam, aku mengelilingi perkampungan itu. Setiap gang sempit, maupun jalan buntu telah aku lewati, meski begitu, aku masih belum menemukan sebuah rumah kecil berwarna abu, yang berdiri 50 meter dari kuburan.
"Hah... deskripsi rumah yang aku tulis terlalu ambigu, semua rumah disini hampir tidak memiliki perbedaan, mereka semua berwarna abu, bajingan!"
Hampir menyerah dengan penelusuran itu, aku pun seketika dikejutkan dengan kehadiran seorang pemuda yang berusia sekitar 16 sampai 17 tahun.
Ia tiba-tiba saja berjalan di depanku, wajahnya santai, seakan menyuruhku untuk menangkapnya saat itu juga. Namun, aku menahan diri untuk tidak melakukannya, karena saat ini, aku hanya ingin mengecek keadaan yang dialami bocah itu.
Secara refleks aku bersembunyi dibalik tong sampah, memperhatikannya berjalan melewati gang dengan sangat santai, seakan kejadian semalam bukanlah sesuatu yang luar biasa.
"Seperti yang yang bisa diduga dari karakter yang aku tulis, bahkan cara jalannya saja tidak berubah, dia benar-benar tidak terpengaruh meskipun ini baru kasus pembunuhan keduanya, ya," gumamku, berdiri dari bersembunyi di belakang tong sampah.
Aku pun berjalan senyap, diam-diam mengikuti psikopat itu dari jarak yang cukup jauh, namun masih dapat diamati.
Seharian itu, aku hanya mengikutinya, ia hanya keluyuran tidak jelas ke setiap gang, saat siang ia membeli bahan-bahan makanan, saat sore ia mengobrol dengan orang secara acak, namun aku tahu bahwa itu adalah kebiasaannya ketika ingin menentukan korbannya.
Saat aku menulis karakternya, aku membuat dia menentukan korbannya dengan satu kesamaan yang mungkin tidak akan terpikirkan oleh detektif biasa, yaitu, semua korbannya selalu hidup sendiri.
Tidak harus sebatang kara, hanya saja, korbannya selalu orang-orang yang memiliki masalah dengan interaksi sosial, terutama dengan keluarga mereka sendiri.
Dia memilih korbannya bukan tanpa alasan, melainkan dia ingin menjadi satu-satunya orang yang paling kesepian di seluruh dunia. Karena baginya, semua orang berhak mendapatkan cinta dan kehangatan orang lain, sehingga ia berpikir, jika semua orang yang mati itu, akan berkumpul bersama, sehingga tidak ada seorangpun yang kesepian lagi di dunia ini.
"Tapi, kenapa aku menulis karakter seperti saat itu, ya? Kira-kira, apa yang aku pikirkan saat itu?" gumamku sembari berbaring santai diatas kasur.
Malam hari, aku hanya berbaring, memikirkan cara yang paling ampuh untuk menyadarkan bocah itu. Sebelumnya, aku ingin menyingkirkannya, sekarang pun tetap sama, namun setelah mengingat latar belakangnya, aku ingin setidaknya membuat ia sadar dengan tindakannya itu sebelum aku membunuhnya.
Saat aku sibuk dengan duniaku, seseorang tiba-tiba saja mengetuk pintu kamar, lalu memanggil namaku, "Pandang, ini ayah, aku ingin bicara sebentar sama kamu, kamu belum tidur, kan?"
Aku tersentak begitu mengetahui identitas orang yang mengetuk pintu kamar aku, dengan cepat aku membuka pintu.
Pikirku, ini sangat jarang terjadi, karena seingat aku, ayah Pandang jarang sekali mengobrol dengan putranya, meski begitu, dia pada kenyataannya sangat menyayangi keluarga nya.
Namun, samar-samar aku tahu, sepertinya dia mulai mencurigai kebiasaan anaknya yang tiba-tiba berubah. Karena dalam cerita aslinya, aku menggambarkan Pandang sebagai anak polos yang baik hati, mungkin sampai ditahap bodoh bagi sebagian orang.
"A-ayah ingin bicara apa?!" ujarku dengan panik membuka pintu kamar.
Pria itu hanya tersenyum, lalu berjalan keluar rumah, seakan menyuruhku untuk mengikutinya, tanpa pilihan lain, aku pun mengikutinya keluar rumah, saat di teras, aku melihatnya duduk diatas kursi kayu yang menghadap keluar rumah.
"Duduk," katanya.
Aku meneguk ludah, panik dengan situasi yang terasa berat. Tanpa punya pilihan, aku pun perlahan duduk di kursi sebelahnya, hanya dipisahkan oleh meja bundar kecil yang biasanya ditaruh asbak atau secangkir kopi.
Suasana pun hening sesaat, aku bahkan sempat memperhatikan langit tanpa bintang, tertutup oleh polusi dan cahaya lampu.
Namun, setelah keheningan itu berakhir suara berat dari pria itu mengangetkanku sesaat, "Pandang, apa kamu sedang punya masalah?" ujarnya sembari menatap langit, tanpa menoleh ke arahku sedikit pun.
Aku sempat diam, namun segera berbohong selayaknya bernapas, "Tidak, aku tidak punya masalah." jawaban itu terdengar menyakitkan, namun aku yang menyadrinya segera membuat hati pria itu meleleh, "Oh, mungkin aku kepikiran tentang adikku, rasanya aneh saja karena aku tiba-tiba punya saudara," kataku.
Seketika, pria itu mendengus senang, sempat tersenyum, kemudian berlanjut hingga suara tawanya memekakkan telingaku. "Hahaha, begitu, toh. Kamu khawatir gak akan disayang lagi karena bukan jadi anak satu-satunya lagi, kah?"
"Eh... Bukan gitu, kok, yah," jawabku sembari menggelengkan kepala dan tangan.
"Hm... Apa mungkin kamu kepikiran untuk menunjukkan sisi kerenmu? Apa anak kecil ayah ini akhirnya akan jadi pria dewasa?" pria itu dengan kasar mengacak-acak rambutku, menggodaku selayaknya sedang mengobrol dengan anak kecil.
Malam itu, aku berhasil mengelabuinya, tanpa aku sadari, bahwa malam-malam seperti itu, tidak akan berlangsung lama.