Bunyi tokek yang mengganggu, sinar rembulan menyinari itu, tubuh anak muda ini telah mencapai batasnya setelah berkeliling ke tempat jauh, tidak seperti dia yang biasanya.
Kaki berat yang telah menopang tubuhku seharian, aku paksa untuk terus melangkah, agaknya itu sedikit kasar, namun apalah daya, jika aku tidak segera sampai rumah, aku akan berakhir menjadi gelandangan dadakan.
Papan Pintu yang menjadi pembatas antara rumah dan dunia luar terbuka begitu aku mendekatinya, belum sempat ku sentuh, namun aku bisa tahu siapa yang membukanya.
"Bu, kenapa belum tidur?" tanyaku tanpa nada bersalah.
Wanita itu tidak menjawab, alih-alih hanya cemberut manis layaknya gadis belia, dibelakangnya, seorang pria berdiri dengan senyum kaku, seakan sedang memberitahuku untuk memaklumi apapun yang sedang terjadi dan yang akan terjadi.
Benar saja, belum sempat aku mengucap salam, wanita itu langsung menyuruhku untuk duduk di lantai dan memarahiku, semua itu terjadi karena aku baru sampai rumah hampir tengah malam, hanya berbeda setengah jam.
Yah, mau bagaimana lagi, aku melakukan ini juga bukan karena mau, tapi ini harus aku lakukan jika ingin mendapatkan kedamaian selama setahun ini. Pada akhirnya, ini juga akan menguntungkan mereka, namun tentu saja aku tidak bisa menceritakan itu.
Sembari duduk berhadap-hadapan, ia berkata, "Pandang, ingat ya, ibu dan ayah tidak pernah melarangmu bermain dengan teman-temanmu, tapi kamu juga harus ingat bahwa kamu ini masih seorang pelajar, sekaligus anak-anak, diluar sana memang banyak orang baik, tapi tidak sedikit juga orang jahat yang memiliki niat buruk terhadap orang lain." wanita itu menasihati aku layaknya anaknya sendiri, entah apa yang akan dia pikirkan jika tahu bahwa aku bukan anaknya.
"Iya bu, aku mengerti, tapi sebelum ibu menyalahkan tindakanku sekarang, biarkan aku membela diri," jawabku dengan nada yang tenang, tidak seperti cara bicara anak-anak seumuran pemilik tubuh ini.
"Huh! Pembelaan macam apa yang ingin kamu berikan setelah pulang selarut ini? Yasudah, ibu berikan kamu kesempatan, coba jelaskan alasan buat-buatan kamu itu, ibu tidak akan tertipu!" ujarnya sembari mendengus, dan membuang mukanya.
Dalam hatiku, aku tertawa kecil, tak aku sangka, karakter pelengkap yang tidak aku jelaskan secara detail dalam cerita novelku bisa memiliki sifat seimut ini.
"Baiklah. Pertama, aku ingin ibu percaya padaku, kalau bukan akulah penyebab keterlambatan pulangku ini," ucapku sembari menyeret kakiku kearah belakang wanita itu, lalu langsung berpura-pura memijat dengan kaki berlutut, hanya agar kewaspadaannya dan intuisi keibuannya berkurang.
"Sudah, ceritakan saja alasanmu itu," jawabnya dengan nada gemetar dan daun telinga yang memerah.
Aku pun tanpa sadar tersenyum melihat reaksinya, "Kalau begitu, aku akan mulai dari waktu kepergianku."
***
Aku masih bisa mengingatnya seperti baru terjadi beberapa jam yang lalu, tidak sampai sehari.
Aku keluar rumah sekitar pukul 6 sampai setengah 7 pagi, sedari aku keluar dari komplek perumahan, aku berkumpul dengan teman-temanku seperti yang sudah dijanjikan dibawah gapura "selamat datang"
Setelah itu, kami mulai berkeliaran disekitar patung Monas dan jalan layang untuk sekadar nongkrong, lalu, kami juga sempat ingin main bersama anak kampung sebelah untuk bermain bola, tapi karena saat itu matahari sudah hampir terbenam, kami pun memutuskan untuk segera pulang sebelum membuat orang tua kami khawatir.
Nah, disinilah masalahnya muncul. Saat kami sampai di depan gapura "selamat datang" kami pun berpisah, dan kembali ke rumah masing-masing.
Saat itu, aku hanya berjalan menuju rumah melalui jalan yang biasanya aku lalui, namun saat dipertengahan perjalanan, aku melihat bendera kuning, rupanya, disana sedang ada pengajian karena adanya seseorang yang meninggal, dengan begitu, aku pun mau tidak mau harus mengambil jalan memutar.
Jalan kecil, dapat disebut gang sempit, penerangannya pun buruk, jika tak terbiasa, mungkin aku bisa tersandung oleh sesuatu karena tidak dapat melihat jalan yang aku lewati saat itu.
Tak lama berselang melewati gang sempit itu, secara tidak sengaja, aku melihat sesuatu yang tak seharusnya berada disana, seseorang, tidur di dalam gang sempit yang minim penerangan, itulah yang aku pikirkan, sebelum mendekat lebih jauh.
Setelah menemukan orang yang terbaring disana, aku pun mencari orang dewasa untuk melaporkan masalah ini pada kepolisian, sehingga, saat polisi datang, aku dimintai keterangan cukup lama di kantor polisi, jadi, aku harus pulang terlambat setelah semua itu.
***
Wajah wanita itu terlihat pucat setelah mendengarkan ceritaku, mungkin terkesima dengan seberapa detail dan nyata kebohongan itu, atau ia merasa terkejut dan aneh dengan deskripsi kejadian terakhir saat aku berada di dalam gang sempit.
"Nak, orang yang terbaring di gang itu, apa jangan-jangan maksudmu seseorang yang sudah meninggal?" tanya wanita yang terus mengerutkan alisnya ke tengah.
Sebelum menjawab, aku sempat menutup mataku untuk pura-pura berpikir, lalu segera mengungkapkan kebenarannya, "Iya, aku menemukan—" Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, wanita itu segera berbalik, memelukku yang sedang berlutut di belakangnya.
Agak terkejut mendapati perlakuan seperti itu dari orang asing, namun aku perlahan meraih tubuhnya, memeluknya pelan, ia memelukku erat, tak mau ketinggalan, pria dewasa yang sedari tadi hanya melihat kami, langsung ikut memeluk kami berdua.
"Pandang, tidak ada yang terjadi padamu, kan? Kamu tidak terluka, kan?"
Suaranya bergetar, kali ini, samar-samar aku mendengar isakkan, kehangatan dan kekhawatirannya langsung menembus jiwaku.
Ini bukan karakter novel, semenjak datang ke dunia ini, aku selalu menganggap semua hal disini adalah ilusi, namun, setelah merasakan dinginnya mayat, dan hangatnya pelukan, aku bisa mengatakan ini dengan yakin, bahwa mereka adalah makhluk hidup, mereka memiliki emosi, pikiran, dan moral masing-masing.
Mereka sama sepertiku, seorang, manusia.
"Maaf, bu. Aku janji, tidak akan membuatmu khawatir lagi," ujarku lembut.
Diam-diam, wanita itu terisak-isak begitu mendengar kalimatku, dan menjawabnya, "Kenapa kamu malah minta maaf, itu bukan salahmu, ibu hanya khawatir kamu syok melihat hal-hal seperti itu, sebagai ibumu, biarkan aku mengkhawatirkanmu."
Kata-kata itu, entah mengapa tidak asing, "Biarkan aku mengkhawatirkanmu, bodoh!"
"Ugh... Aku, baiklah, aku lelah, bu."
Setelah mengatakan itu, aku pun langsung disuruh untuk beristirahat. Malam itu menjadi malam terpanjang yang pernah aku rasakan selama 20 tahun lebih aku hidup.
Mulai dari pembunuhan pertama yang aku lihat di dunia nyata, sampai kehangatan orang asing yang membuatku sadar akan realita yang saat ini sedang aku hadapi.
Namun, ada satu hal yang membuatku penasaran, kalimat barusan terus terngiang-ngiang di dalam mimpiku, sesuatu yang terasa dekat, namun menyakitkan, membuatku enggan untuk mengingatnya kembali.
***
"Aku pulang...."
Tidak ada siapapun yang menjawab.
"Selamat datang, anakku,"
Jawaban datang dari orang yang sama.