BAB 25

Sementara mereka berbicara, kenangan tentang surga tersembunyi itu mulai perlahan-lahan bergerak maju. Sheng Lingyuan dan Xuan Ji pun terseret ke dalamnya, dipaksa mengikuti aliran waktu yang terus berjalan.

Pangeran kecil manusia yang sedang mengungsi ke segala penjuru masih belum pulih dari lukanya. Ia bersandar di dekat jendela dengan mata terpejam untuk memulihkan tenaga. Tiba-tiba, seekor serangga aneh terbang masuk melalui jendela dan langsung menempel di dahinya. Terdengar suara tawa anak-anak nakal yang berusaha ditahan. Meskipun Sheng Lingyuan baru berusia sepuluh tahun, dia sudah mengalami sepuluh tahun pelarian tanpa henti dalam ketakutan, sehingga sudah kehilangan masa kanak-kanaknya. Dia tidak mempermasalahkan ulah anak-anak nakal itu, bahkan tidak berniat menanggapi mereka. Dengan tenang, dia mengambil serangga itu, mengulurkan tangan ke luar jendela, dan melepaskannya. Dengan dingin, dia berkata menggunakan bahasa suku penyihir yang belum terlalu dikuasainya, "Kalau kalian membuat onar lagi, aku akan bilang ke ayah kalian."

Suara tawa kecil itu lenyap. Sesaat kemudian, kepala A Luo Jin muncul dari atas pohon. Dia menatap Sheng Lingyuan dengan kesal, pipinya menggembung. Lalu, bersama sekelompok pengikut kecilnya, dia turun dari pohon dan berlari pergi.

A Luo Jin kecil penuh rasa ingin tahu terhadap Sheng Lingyuan. Dia ingin bermain dengannya, tetapi tidak mau menunjukkan sikap ramah secara langsung—sebagai anak tunggal kepala suku, dia dimanjakan secara berlebihan oleh para anggota suku. Sejak kecil, dia menjadi pusat perhatian, dengan anak-anak suku lainnya selalu mengikutinya ke mana pun dia pergi. Dalam pikirannya, sama sekali tidak ada konsep untuk "mengesampingkan harga diri dan secara aktif berteman." Dia merasa bahwa hanya dengan berjalan di bawah jendela seseorang, itu sudah merupakan kehormatan besar yang dia berikan, dan Pangeran kecil manusia itu seharusnya merasa sangat terhormat untuk bergabung dengan mereka.

Siapa sangka Pangeran manusia yang jatuh miskin ini tidak menghargai perhatian yang diberikan.

Hal itu membuat A Luo Jin sangat marah. Namun, di tengah kemarahannya, muncul mentalitas "semakin tidak didapatkan, semakin diinginkan" yang tumbuh dengan cepat. Semakin Sheng Lingyuan mengabaikannya, semakin A Luo Jin ingin menunjukkan eksistensinya di depan Sheng Lingyuan. Akibatnya, setiap hari dia memimpin sekelompok pengikut kecilnya untuk mengganggu, membuat pondok kecil Da Sheng menjadi kacau balau.

Sifat Pangeran kecil itu sudah terasah dengan baik—dia tidak terkejut atau marah. Ketika merasa terganggu, dia cukup menggunakan jurus andalannya, "Akan aku beri tahu ayahmu," yang selalu berhasil tanpa terkecuali.

Frekuensi A Luo Jin dihukum meningkat tajam. Dia secara sepihak merasakan campuran cinta dan benci terhadap Pangeran kecil manusia, sambil menggertakkan gigi dengan penuh kekesalan.

Sebelum dapat berdiri dengan bebas, Sheng Lingyuan sudah mulai mampu berkomunikasi secara sederhana dalam bahasa suku penyihir, bahkan mulai mempelajari tulisan suku penyihir.

Dalam catatan sejarah, disebutkan bahwa Kaisar Wu memiliki "pemahaman yang mendalam dan kecerdasan yang luar biasa sejak dini." Namun, catatan sejarah tidak menyebutkan bahwa Yang Mulia ini belajar meniru ucapan lebih cepat daripada burung beo.

Pada awalnya, Xuan Ji mengira Sheng Lingyuan memang terlahir dengan kemampuan mendengar dan mengingat yang luar biasa, seorang jenius sejati, tak sebanding dengan mahasiswa yang telah menghafal tata bahasa selama belasan tahun tetapi tetap tidak bisa berbicara bahasa Inggris dengan lancar. Baru saat itulah dia menyadari, kemampuan itu hanyalah untuk bertahan hidup.

Pada masa perang berkecamuk di seluruh daratan Jiuzhou, tidak ada yang sempat mempopulerkan "bahasa umum." Bahasa dari berbagai suku dan daerah sangat beragam, bahkan beberapa di antaranya tidak termasuk dalam rumpun bahasa yang sama. Dalam kekacauan zaman seperti itu, di mana orang sering mengungsi dari satu tempat ke tempat lain, kemampuan untuk dengan cepat menguasai sebuah dialek dan beradaptasi dengan lingkungan baru adalah keterampilan yang harus dimiliki Sheng Lingyuan semasa mudanya—itu adalah cara dia untuk bertahan hidup.

Namun, bahkan untuk Sheng Lingyuan yang luar biasa seperti itu, mempelajari tulisan suku penyihir tetap menjadi tantangan besar. Tulisan suku penyihir ditulis pada sejenis daun khas daerah itu. Sekilas, tulisan tersebut agak mirip dengan hieroglif Mesir kuno, dengan bentuk huruf berupa lingkaran besar yang mengelilingi lingkaran kecil. Tulisan itu tidak memiliki goresan tajam seperti karakter Tionghoa, sama menggemaskannya seperti rumah-rumah mereka, tetapi sangat kompleks. Dari tulisan itu, terlihat jelas bahwa ia mengandung warisan budaya yang panjang dan mendalam.

Di puncak gunung, di sebelah pondok kayu Da Sheng, ternyata ada sebuah tempat yang mirip dengan perpustakaan modern. Di dalamnya terdapat banyak koleksi arsip dan literatur yang berharga. Uniknya, siapapun, termasuk orang asing, bisa masuk dan keluar dengan bebas asalkan mereka berminat.

Bahkan dalam pandangan Xuan Ji yang hidup di zaman modern, tingkat keterbukaan dan peradaban dari suku kuno ini sungguh mengejutkan. Setelah berkeliling beberapa kali di Dongchuan dalam "arus balik" ini, semua kesan sebelumnya tentang suku penyihir benar-benar terpatahkan.

Suku penyihir adalah asal mula keberadaan kupu-kupu parasit. Penduduknya memiliki beragam sihir yang sulit dipercaya. Bahkan dari nama "penyihir" itu sendiri, sudah memunculkan kesan yang penuh misteri. Ditambah lagi dengan tingkah A Luo Jin yang penuh teka-teki... Tidak dapat dihindari, Xuan Ji mengandalkan kesan awal yang klise dan membayangkan bahwa "suku penyihir" seharusnya seperti gambaran penyihir hitam dalam film—mengenakan pakaian tertutup rapat seperti perempuan Arab, hanya memperlihatkan mata. Mereka hanya keluar pada malam hari, dan jika tidak ada kesibukan, mereka berkumpul di sekitar api unggun untuk rapat kecil, merencanakan siapa yang akan mereka kutuk keesokan harinya.

Namun ternyata, Dongchuan sama sekali tidak menyeramkan. Gaya hidup suku penyihir bahkan bernuansa cerah dan hangat. Orang-orangnya hidup santai—ternak sapi dan domba sering ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya yang entah pergi tidur siang di mana. Jika ternak hilang, tidak masalah, beberapa hari kemudian pasti ada anggota suku yang menemukannya dan membawanya pulang. Anak-anak di sini mulai belajar sejak usia lima atau enam tahun, dan seluruh suku bisa membaca dan menulis. Saat senja, jika tidak ada kegiatan, mereka berkumpul di alun-alun di puncak gunung untuk menghabiskan waktu. Kepala suku dan Da Sheng pun turut hadir, tanpa ada perbedaan derajat atau status. Mereka duduk bersama, bernyanyi, menari, bercerita, bercengkerama santai, bahkan kadang-kadang melibatkan diri dalam perdebatan panjang tentang masalah filosofis yang masih sangat mendasar. Kehangatan budaya mereka begitu jauh dari stereotip yang sebelumnya dibayangkan.

"Aku rasa tempat ini bisa bersaing dengan Kota Suci Athena," Xuan Ji setengah bergumam pada dirinya sendiri, "Kenapa harus menyebut diri sebagai 'suku penyihir'? Kedengarannya menyeramkan."

"Dalam bahasa tulisan mereka sendiri, mereka menyebut diri mereka 'orang-orang yang tinggal di hutan lereng bukit,'" kata Sheng Lingyuan. "'Suku penyihir' adalah sebutan yang diberikan oleh orang luar pada masa itu. Menyeramkan? Mungkin mereka yang memberikan nama itu sebenarnya merasa takut di dalam hati."

"Anak-anak suku penyihir juga memanggilmu..."

"Lingyuan?"

"Aku mengira itu adalah nama samaran."

"Aku bahkan tidak ingat nama asliku, jadi mana mungkin tahu mana yang nama palsu," Sheng Lingyuan mengangkat alisnya dan tersenyum tipis. "Nama resmi Kaisar hampir tidak pernah disebut, sementara 'Lingyuan' adalah nama kecil yang diberikan oleh orang tua. Mendengarnya justru terasa lebih akrab, jadi aku spontan saja menggunakannya."

Konon katanya, orang-orang zaman dahulu sangat mementingkan makna ketika memberi nama, tetapi dua kata "Lingyuan" terdengar sangat tidak menguntungkan... Terlebih lagi, Yang Mulia ini lahir pada masa yang begitu istimewa.

* "灵" (Líng) berarti "roh," "jiwa," atau "spiritual," dan terkadang melambangkan sesuatu yang cerdas atau mistis. "渊" (Yuān) berarti "jurang," "kedalaman," atau "pusaran air," sering kali menggambarkan sesuatu yang dalam dan penuh misteri. Jadi, arti harfiah "Lingyuan" dapat diartikan sebagai "jurang spiritual" atau "kedalaman roh." 

Xuan Ji dalam hati berkata: Orang tua macam apa ini, niatnya tidak baik sama sekali?

Dia mengikuti Sheng Lingyuan kecil berkeliling di suku penyihir, melihat pemuda itu seperti sedang berlibur—setiap hari hanya beristirahat, membaca, meminta nasihat dari Da Sheng, atau membantu merawat ramuan herbal. Kekhawatiran terbesarnya hanyalah gangguan terus-menerus dari si "raja anak nakal," A Luo Jin.

Kutukan jahat "Su Hui" mampu menjebak seseorang dalam ingatan mereka. Xuan Ji awalnya mengira akan melihat pemandangan yang sangat berdarah-darah dalam ingatan sang Kaisar Manusia. Namun, yang terjadi justru mereka terus-menerus mengikuti seorang anak kecil dalam keseharian yang sederhana dan berputar-putar tanpa akhir. Dalam "Su Hui," Sheng Lingyuan selalu tampil seperti anak berusia sekitar sepuluh tahun, tanpa tanda-tanda tumbuh dewasa.

"Tunggu sebentar, Yang Mulia," Xuan Ji ragu sejenak, tapi akhirnya tidak bisa menahan diri untuk berkata, "Barusan kau mengatakan bahwa jika ada sesuatu yang tidak bisa dilupakan, maka seseorang akan terus terjebak dalam satu kenangan, berputar-putar di dalamnya. Jadi, apakah kita berdua sekarang sedang terjebak?"

Sheng Lingyuan menatapnya sekilas, ekspresinya dingin seolah-olah hal itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan dirinya.

Xuan Ji tiba-tiba menyadari bahwa semakin gelisah perasaan orang ini, semakin dingin dan menjauh sikapnya. Jika bukan karena dia tahu bahwa orang yang terjebak dalam mimpi indah masa kanak-kanak dan enggan terbangun adalah dirinya, Xuan Ji hampir saja mengira bahwa sosok ini benar-benar tak tertembus.

Apakah dia juga bisa menjadi lemah dan menipu dirinya sendiri? Apakah dia juga akan terjebak dalam sebuah kenangan, berputar-putar tanpa henti?

Dalam sekejap itu, Xuan Ji merasa bahwa Kaisar Wu, yang biasa berada di atas altar, tampak seperti manusia biasa yang berdaging dan berdarah. Kerapuhan seorang yang kuat sama mengejutkannya dengan keberanian seorang pengecut. Nada bicaranya pun tanpa sadar menjadi lebih lembut, "Tapi kita tetap harus mencari cara untuk keluar, bukan? Menurutmu..."

Sebelum dia selesai berbicara, Sheng Lingyuan dengan tenang mengangguk sedikit, "Mm, masuk akal."

Xuan Ji: "..."

Dia bahkan belum sempat menyampaikan ceramah panjang lebar untuk membujuknya.

"Menghindari hal-hal yang berat dan memilih yang ringan adalah naluri manusia, aku juga tidak terkecuali." Sheng Lingyuan memikirkannya sejenak, lalu dengan tenang berkata, "Hal-hal semasa hidup ini sudah terlalu lama berlalu, aku juga tidak bisa langsung merapikan semuanya. Jadi, bagaimana kalau begini, apa pun yang ingin kau ketahui, langsung tanyakan saja. Aku akan mencoba melihat apakah aku bisa mengingatnya melalui pertanyaanmu dan keluar dari urusan sepele yang tidak penting ini."

"Yang Mulia," Xuan Ji tidak bisa menahan diri untuk berkata, "Hal yang mampu menjebakmu, bagaimana mungkin itu adalah perkara sepele yang tidak penting?"

Sheng Lingyuan tampaknya merasa bahwa si iblis kecil ini terlalu sentimental tanpa alasan yang jelas. Dia menatapnya sambil tersenyum, "Baiklah, jadi apa yang ingin kau lakukan?"

Di hadapan Sheng Lingyuan, Xuan Ji selalu merasa seperti membuang-buang perasaan dengan sia-sia—sampai pada titik di mana Sheng Lingyuan membahas segala sesuatu dengan begitu objektif, sambil tetap tenang membedah kelemahannya sendiri. Pada saat itu, Kaisar yang penuh misteri ini tampak seolah-olah tidak lagi seperti manusia biasa.

Segera setelah itu, seolah-olah tersadar oleh satu kalimatnya, bahkan sebelum dia sempat berbicara, pemandangan di sekitarnya mulai bergoyang dan runtuh. Jelas bahwa Sheng Lingyuan, dengan pengendalian diri yang luar biasa, telah menata kembali mentalitasnya dan melepaskan kenangan masa kecil yang sederhana namun hangat ini.

Desa suku penyihir yang tenang tiba-tiba hancur di hadapan mereka berdua, pecah menjadi serpihan-serpihan tak terhitung, seperti sebuah vas bunga yang dihancurkan.

Mereka berdua jatuh ke dalam kegelapan malam. Xuan Ji bahkan belum berdiri dengan stabil ketika dia melihat pintu belakang rumah kepala suku terbuka dengan bunyi "kriet." A Luo Jin kecil keluar dengan memeluk sebuah bungkusan kain di dadanya, lalu menyelinap pergi menuju kaki gunung. Wajahnya penuh dengan rasa kesal, dan telapak tangan kirinya yang memerah dan bengkak sepertinya menjadi bukti bahwa dia baru saja, entah karena apa, kena masalah akibat "tukang mengadu," hingga akhirnya menerima pukulan keras. Tidak tahan lagi, dia pun memutuskan untuk kabur dari rumah.

Xuan Ji: "Apa lagi yang terjadi padanya sekarang?"

"Dia mencuri 'Mantra Ketakutan' milik Da Sheng dan menaruhnya di bawah bantalku," kata Sheng Lingyuan. "Mantra Ketakutan dapat membangkitkan ketakutan terdalam dalam hati seseorang, sebenarnya itu benda yang berguna. Ketakutan hanyalah ilusi; begitu memahaminya, semuanya akan berlalu. Awalnya, itu digunakan Da Sheng untuk latihan spiritualnya sendiri, dan kemudian aku sering membawanya juga. Namun, saat itu kepala suku dan Da Sheng menganggapku masih terlalu muda, memperlakukanku dengan sangat hati-hati, khawatir aku akan ketakutan. Ketika kepala suku mengetahuinya, dia sangat marah dan menghukum A Luo Jin di depan umum. Dia tidak bisa menerima penghinaan seperti itu, jadi malam itu dia kabur diam-diam."

Xuan Ji mendengar suara halus di sampingnya. Ketika menoleh, dia melihat Sheng Lingyuan kecil turun dari sebuah pohon besar, memandang punggung A Luo Jin, ragu sejenak, tetapi akhirnya tetap mengikuti langkahnya.

Xuan Ji: "Kau..."

"Pada malam itu, aku tidak bisa tidur," Sheng Lingyuan berkata dengan tenang. "Sehebat apa pun Mantra Ketakutan, itu tetaplah obat keras. Ketika pertama kali menggunakannya, aku sempat terkejut dan tidak berani memejamkan mata sepanjang malam."

Suku penyihir sebenarnya tidak sepenuhnya terisolasi dari dunia luar. Secara berkala, ada orang-orang yang menyamar sebagai warga biasa untuk pergi jauh dan membeli atau menukar barang. Meski A Luo Jin belum pernah ikut, dia tampaknya tahu jalan. Sambil menangis, dia melewati penghalang yang dipasang oleh suku di kaki gunung, meninggalkan wilayah perlindungan suku penyihir.

Dia berpikir bahwa dunia luar pastilah luas dan penuh kebebasan. Jika tidak, kenapa anak-anak yang datang dari luar begitu istimewa dan berharga dibandingkan dirinya?

Tidak disangka, baru saja meninggalkan suku penyihir, dia langsung merasakan apa artinya "kesulitan dan bahaya dunia."

Suku penyihir hidup damai tanpa mencari masalah dengan dunia luar, namun ilmu mantra mereka yang penuh misteri membuat manusia merasa takut, dan bahkan kaum iblis pun gentar terhadap mereka. Karena itu, meskipun mereka tahu Sheng Lingyuan bersembunyi di gunung suku penyihir, mereka tidak berani bertindak gegabah. Dalam situasi seperti ini, kaburnya A Luo Jin dari rumah ibarat "mengantarkan dirinya ke musuh," sebuah hadiah yang tak ternilai. Baru saja keluar, dia langsung terperangkap dalam sebuah jebakan.

Kaum iblis tahu Sheng Lingyuan bersembunyi di suku penyihir, tetapi mereka tak mampu menembus batas perlindungan yang ada, membuat mereka buntu selama berbulan-bulan. Tak disangka, seperti mendapat bantuan dari langit, mereka berhasil menangkap A Luo Jin secara kebetulan, membuat mereka sangat gembira. Malam itu juga, mereka menggantung A Luo Jin di dalam sangkar untuk merayakannya, dan di depan matanya, mereka berpesta besar—tentu saja, yang mereka santap adalah manusia.

Anggur kaum iblis dicampur dengan darah, di dalam kuali besar mendidih sup tulang bayi, kerangka kecil terapung-apung di air mendidih, beberapa masih memiliki sisa kulit dan daging yang belum sepenuhnya terkelupas, terlihat bentuk aslinya sebelum meninggal. Hidangan utamanya adalah seorang gadis muda yang cantik, dalam keadaan hidup, dengan organ dalam yang telah dibersihkan. Dengan menggunakan ilmu iblis, nyawanya dipertahankan, sementara dagingnya diiris langsung dari tubuhnya. Daging itu dicelupkan sebentar ke dalam air mendidih, setengah matang, kemudian disantap dengan darahnya, diiringi jeritan tragisnya sebagai pelengkap makan malam. Setelah pesta makan selesai, kedua kakinya hanya menyisakan tulang putih, tetapi gadis itu masih hidup, wajahnya tetap bersih dan putih tanpa noda.

Gadis muda yang dimakan hidup-hidup itu kehilangan akal sehatnya, dan A Luo Jin, yang menyaksikan semuanya, hampir ikut gila.

A Luo Jin kecil dan gadis yang menyeret kaki berbalut tulang putih dilemparkan bersama ke dalam sebuah gubuk jerami. Gadis itu menatapnya dengan mata kosong, pandangannya tajam dan tak berkedip, sambil tertawa sepanjang malam. Sementara itu, A Luo Jin hanya bisa menangis sepanjang malam, menghadapi pemandangan yang mengerikan itu.

Xuan Ji, yang dipaksa menyaksikan semuanya dengan mata dingin, merasakan tubuhnya merinding. Tanpa sadar, sayapnya yang berapi-api terbentang di punggungnya. Namun, begitu sayap itu muncul, sebuah tangan dingin yang kebal terhadap api menekannya kembali.

"Begitulah adanya sejak dulu, tidak perlu panik," Sheng Lingyuan berkata dengan tenang. "Jika posisinya dibalik, manusia juga tidak akan berbelas kasih. Semua ini hanyalah urusan lama dari ribuan tahun yang lalu, tidak ada hubungannya dengan kalian iblis muda."

"Aku bukan..." Xuan Ji hampir saja mengatakan bahwa dia bukan bagian dari "kaum iblis," tetapi setengah kalimatnya terhenti, dan dia menelan kembali kata-katanya.

Dia bukan iblis, tapi jelas juga tidak bisa dianggap manusia. Xuan Ji sejenak merasa bingung; tanpa sebab yang jelas, perasaan kesepian yang mendalam tiba-tiba menyelimutinya seperti gelombang yang tak tertahankan. Dia mendadak menyadari bahwa dirinya tidak memiliki keluarga, tidak memiliki kaum sejenis... bahkan tidak memiliki asal-usul yang pasti.

Pada saat itu, dalam ingatan "Su Hui," A Luo Jin kecil membuat iblis kecil yang menjaganya merasa kesal dengan tangisannya. Ketika iblis itu bersiap untuk menendangnya, tiba-tiba sebuah belati muncul dari belakangnya, dengan gerakan cepat dan bersih, langsung menggorok leher iblis tersebut.

Iblis itu jatuh tanpa suara, sementara A Luo Jin, yang tenggelam dalam emosinya, bersama dengan Xuan Ji—dari masa lalu maupun masa kini—dengan tatapan kosong, memandang kaku ke arah orang yang baru datang. Ternyata itu adalah Pangeran kecil dari kaum manusia, si "tukang mengadu" yang lemah dan sering sakit-sakitan.

Si "tukang mengadu" mengusap darah di wajahnya, dengan cekatan menangkap tubuh iblis yang telah mati, lalu menyeretnya ke samping. Gerakannya begitu terampil, seolah-olah dia telah melakukan hal seperti ini ribuan kali sebelumnya.

Belati di tangannya diukir dengan mantra penakluk iblis. Dengan mudah, seperti memotong sayuran, dia memotong besi sangkar yang mengurung A Luo Jin. Dengan satu tangan, dia mengangkat A Luo Jin keluar, lalu menyerahkan sebuah botol mantra kepadanya sambil berkata, "Pergi."

A Luo Jin terhuyung-huyung berlari beberapa langkah keluar, namun menyadari Sheng Lingyuan tidak mengikutinya. Dengan panik, dia menoleh ke belakang dan melihat Sheng Lingyuan menutup mata gadis itu dengan tangannya. Dia membungkuk perlahan dan berbisik sesuatu dengan lembut di telinga gadis itu.

Gadis itu gemetar, mulutnya bergumam tak sadar dengan kata-kata yang tak jelas. Sheng Lingyuan menatapnya sejenak, lalu dengan satu gerakan cepat, dia mengayunkan pisaunya, memberikan akhir yang cepat dan tanpa rasa sakit untuknya.

Mantra Iblis yang mempertahankan nyawa gadis itu terputus oleh belati. Akhirnya, dia terbebas dari dunia yang baginya seperti rawa penuh penderitaan. Dalam sekejap, matanya tampak jernih dan sadar.

Tidak tahu apakah jika ada arwah di alam baka, dia masih berani untuk kembali bereinkarnasi ke dunia ini.

Sheng Lingyuan muda meletakkan tubuh gadis itu dengan hati-hati, lalu dengan cepat meraih A Luo Jin. "Apa yang kau lakukan berdiri di sana dengan linglung?"

A Luo Jin ditarik olehnya sambil berjalan, air matanya terus mengalir tanpa henti. Dengan suara terisak yang tertahan, dia memohon pelan, "Aku... hiks... ingin menutupi tubuhnya dengan pakaian... gege, bolehkah aku menutupi tubuhnya dengan pakaian...?"

Ini adalah pertama kalinya A Luo Jin memanggilnya dengan sebutan selain "Hei," "Si Menyebalkan," atau "Tukang Mengadu."

Sheng Lingyuan tidak melepaskan tangannya, juga tidak menatapnya, sambil berkata pelan dalam bahasa suku penyihir.

Xuan Ji tidak memahami bahasa suku penyihir: "Apa yang kau katakan padanya?"

Sheng Lingyuan tidak menjawab.

Saat itu, dia berkata, "Suatu hari nanti, aku akan menutup semua mata yang mati dengan penuh dendam dan mengumpulkan semua tulang belulang yang tak bertuan."

Dia berbicara dengan penuh keyakinan, namun kata-kata itu menghancurkan seluruh hidup A Luo Jin.

Ajaran leluhur suku penyihir: Tidak pernah meninggalkan Dongchuan seumur hidup.

Namun, setelah pertempuran ini, hati pemimpin muda suku itu telah melayang menuju dunia manusia yang luas dan kejam.