Lima Sahabat di Kemuning Permai

Tahun 1988

Di sebuah gang kecil di kompleks perumahan Kemuning Permai, Jakarta, berdiri rumah-rumah sederhana yang saling berdekatan. Di sinilah lima sahabat tumbuh bersama, berbagi tawa, keluh kesah, dan impian mereka.

Anisa Pratama, Rizky Mahendra, Baskara Aditya, Dimas Putra, dan Bayu Wiranata mereka bukan hanya sekedar tetangga tetapi juga keluarga kedua satu sama lain. Sejak kecil, mereka menghabiskan hari-hari dari gang sempit ini, bermain, bercanda, dan terkadang bertengkar kecil.

Setiap sore, mereka berkumpul di rumah Baskara, satu-satunya yang memiliki kipas angin besar dan televisi berwarna. Meski dikenal sebagai jenius dalam catur, Baskara lebih suka menghabiskan waktu bersama teman-temannya daripada berada di turnamen yang membuatnya lelah.

"Kenapa wajahmu cemberut gitu, Nisa?" tanya Dimas sambil menatap sahabatnya yang terlihat kesal.

Anisa menghembuskan napas panjang, melempar buku catatannya ke meja.

"Aku terpilih jadi pembawa bendera di Upacara Pembukaan SEA Games, tapi keluargaku gak ada yang peduli!"

Rizky, yang duduk bersandar di tembok dengan tangan disilangkan, hanya mendengus kecil.

"Emang itu keren?" tanyanya dengan nada datar.

Anisa langsung menoleh tajam ke arahnya.

"Ya jelas! Ini Sea Games, acara nasional! Disiarkan di TVRI, loh!"

Bayu tertawa sambil memasukkan tangannya ke kantong celana olahraga,

"Wah, harusnya kita minta tanda tangan kamu dari sekarang, nih. Nanti jadi artis terkenal, kita jadi orang pertama yang kenal!"

Yang lain ikut tertawa, kecuali Anisa yang masih kesal.

Di tengah kehebohan itu, Baskara tetap diam, sibuk memandangi papan catur di depannya. Meskipun ia lebih banyak mendengar daripada berbicara, teman-temannya tahu bahwa dia tetap memperhatikan percakapan mereka.

"Aku serius! Kalian harus nonton nanti malam!" kata Anisa lagi, berharap mendapatkan sedikit dukungan.

Dimas tersenyum kecil. "Tentu saja, Nis. Itu momen penting buat kamu."

Wajah Anisa sedikit berbinar, tetapi sebelum dia sempat bereaksi lebih jauh, Bayu langsung menyeletuk,

"Dimas, kok lo perhatian banget sih sama Nisa? Lo suka, ya?"

Dimas langsung menggeleng cepat.

"Bukan gitu! Gue cuma menghargai kerja kerasnya."

Anisa tertawa kecil, tetapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang aneh yang ia rasakan. Namun, sebelum ia sempat memahami perasaan itu, suara ibunya terdengar dari luar rumah.

"Nisa! Pulang sekarang! Ajak adikmu belajar!"

Anisa mendesah keras.

"Aduh, hidup gue penuh penderitaan," gerutunya sambil berdiri dan berjalan keluar.

Saat Anisa pergi, Suasana di rumah Baskara menjadi lebih tenang. Bayu merebahkan dirinya di lantai, Rizky masih duduk dengan ekspresi datarnya, sementara Dimas mulai membereskan kertas-kertas yang tadi ia pakai untuk belajar.

Baskara, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara.

"Kalian beneran mau nonton?" tanyanya pelan. Rizky meliriknya sekilas sebelum menjawab acuh tak acuh, "Ya."

Dimas mengangguk.

"Penting buat Anisa."

Bayu menyeringai.

"Tapi gue yakin Rizky pasti nonton diam-diam."

Rizky langsung melempar bantal ke arah Bayu, membuat mereka semua tertawa. Namun, di dalam hatinya, Rizky tahu dia memang akan menonton bukan karena SEA Games-nya, tetapi karena Anisa.

Sementara itu, di luar rumah Baskara, Anisa berjalan pulang dengan langkah malas. Malam mulai turun, lampu-lampu rumah mulai menyala, dan suara televisi terdengar dari rumah-rumah tetangga.

Di gang kecil ini, lima sahabat itu belum menyadari bahwa hari-hari sederhana yang mereka jalani sekarang, tawa yang mereka bagi, akan menjadi kenangan yang paling mereka rindukan di masa depan.