Anisa dan Panggung SEA Games

Malam itu, suasana rumah keluarga Pratama tetap seperti biasa. Di meja makan, ayahnya, Pak Budi, sedang membaca koran, sementara ibunya, Bu Sari, sibuk menyuapi adik bungsunya, Farhan. Kakaknya, Andi, sibuk dengan tugas kuliah. Tidak ada yang membicarakan tentang Anisa yang akan tampil di Upacara Pembukaan SEA Games besok.

Anisa duduk di ujung meja, menatap sayur bayam di piringnya tanpa nafsu makan. Ia berharap setidaknya ada yang bertanya atau memberi semangat, tapi tidak ada yang melakukannya.

"Bu, besok aku tampil di TV, loh," kata Anisa akhirnya, mencoba menarik perhatian ibunya.

Bu sari hanya melirik sekilas sambil menyendokkan nasi ke piring Farhan.

"Iya, Ibu tahu. Jangan pulang malam-malam, ya."

Hanya itu? Tidak ada dukungan atau ucapan selamat?

Anisa menghela napas panjang, menekan rasa kecewanya dalam-dalam. Ia berharap mendapat semangat seperti yang teman-temannya berikan tadi.

Setelah makan malam, ia beranjak ke kamar, melempar tubuhnya ke kasur, lalu menatap langit-langit. Pikiran-pikirannya berputar.

Tiba-tiba, ada ketukan di jendela kamarnya.

Tok! Tok!

Anisa mengernyit. Dengan malas ia bangkit dan membuka jendela. Di luar, Bayu sudah berdiri dengan wajah jailnya.

"Oi, artis nasional, ngapain bengong di kamar?" goda Bayu.

Anisa memutar mata.

"Ngapain lo?"

Bayu menyeringai lalu menunjuk ke bawah. Saat Anisa melongok keluar jendela, ia melihat Rizky, Dimas, dan Baskara sudah berdiri di depan rumahnya.

"Keluar bentar, deh," kata Dimas.

Penasaran, Anisa keluar lewat pintu belakang agar tidak ketahuan oleh ibunya. Di depan rumah, keempat sahabatnya sudah berkumpul dengan senyum-senyum misterius.

"Ada apa?" tanyanya curiga.

Tanpa banyak bicara, Bayu menyerahkan sebuah kantong plastik padanya.

"Hadiah buat lo."

Anisa membuka kantong itu dan menemukan sebuah kotak bekal berisi roti isi dan sekotak susu cokelat.

"Ini apaan?"

"Sarapan buat besok pagi," kata Rizky dengan ekspresi datarnya. "Biar gak pingsan di lapangan gara-gara gak makan."

Anisa terdiam. Dadanya tiba-tiba terasa hangat.

"Lo pasti keren besok," tambah Dimas sambil tersenyum. "Kita bakal nonton."

Anisa menggigit bibirnya, menahan haru. Tanpa mereka sadari, perhatian kecil dari teman-temannya inilah yang membuatnya merasa lebih dihargai dibanding keluarganya sendiri.

Ia mengangguk mantap.

"Makasih, ya."

~~~~

Keesokan Harinya

Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Stadion Gelora Bung Karno penuh sesak oleh ribuan penonton. Para atlet dari berbagai negara berbaris di lapangan, sementara para penari dan pembawa bendera bersiap di posisi masing-masing.

Di antara mereka, Anisa berdiri tegak, mengenakan seragam putih dengan syal merah di lehernya. Jantungnya berdebar-debar, bukan hanya karena gugup, tetapi juga karena tahu bahwa empat sahabatnya sedang menontonnya dari rumah.

Saat bendera besar mulai dikibarkan, ia melangkah dengan penuh percaya diri. Kamera televisi menangkap momen itu, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Anisa merasa bangga menjadi dirinya sendiri.

Di kompleks Kemuning Permai, di sebuah rumah kecil dengan televisi hitam putih, empat anak lelaki bersorak riang melihat sahabat mereka muncul di layar.

"Itu dia! Itu Nisa!" Teriak Bayu

Dimas tersenyum bangga, Baskara mengangguk kecil, sementara Rizky hanya menatap layar tanpa berkata apa-apa. Namun, dalam hatinya, ia tahu tidak akan pernah melupakan momen ini.