Anisa berjalan pulang sendirian sore itu, pikirannya penuh dengan semua yang baru saja terjadi di atap sekolah.
Rizky menyukainya.
Baskara juga menyukainya.
Dua sahabat yang selalu ada di sisinya, yang mengenalnya lebih baik daripada siapa pun, ternyata menyimpan perasaan untuknya selama ini.
Dan sekarang, mereka menunggunya untuk memilih.
Tapi… bagaimana jika ia tidak ingin memilih?
~~~
(Di rumah Anisa)
Malam itu, Anisa berbaring di kasurnya, menatap langit-langit kamar dengan hati yang berat.
Pikirannya kembali ke masa lalu.
Bagaimana Baskara selalu diam-diam menjaganya. Bagaimana ia tak pernah bicara banyak, tapi selalu ada di saat ia butuh.
Lalu, bagaimana Rizky selalu menjadi tempatnya mengadu. Bagaimana ia bisa tertawa lepas saat bersamanya, tanpa merasa canggung atau tertekan.
Dua perasaan yang berbeda.
Dan untuk pertama kalinya, Anisa menyadari sesuatu yang selama ini ia abaikan.
Ia tidak pernah merasa canggung dengan Rizky karena ia selalu menganggapnya sebagai sahabat. Tidak lebih, tidak kurang.
Tapi dengan Baskara…
Sejak surat itu muncul, hatinya sering berdebar tanpa alasan. Ia mulai memikirkan setiap tatapan dan senyum kecil yang diberikan Baskara. Ia mulai sadar bahwa kehadiran Baskara selalu memberikan rasa tenang sekaligus membuatnya gugup.
Bukankah itu berarti sesuatu?
~~~
(Keesokan harinya, di sekolah)
Anisa menunggu Baskara di lorong belakang gedung sekolah, tempat yang jarang dilewati orang. Ia sudah mengambil keputusan.
Tak lama, langkah kaki mendekat.
Baskara berhenti di depannya, menatapnya dengan ekspresi tenang seperti biasa. Tapi kali ini, ada sedikit harapan dalam matanya.
Anisa menarik napas dalam-dalam.
"Aku suka sama kamu juga, Bas."
Untuk pertama kalinya sejak mereka berteman, Anisa melihat ekspresi terkejut di wajah Baskara.
"…Serius?" tanyanya pelan, seakan takut itu hanya mimpi.
Anisa tersenyum kecil.
"Iya."
Baskara terdiam lama, lalu tersenyum tipis—senyum yang mungkin hanya ia tunjukkan untuk Anisa.
Saat itu juga, Anisa tahu ia telah membuat keputusan yang benar.