Sudah beberapa hari berlalu sejak Anisa mengetahui Baskara adalah pengirim surat misterius. Namun, pikirannya masih kacau.
Setiap kali ia mencoba merenungkan perasaannya, jawabannya tetap tidak jelas.
Baskara memang selalu ada di sisinya, tapi… apakah itu cukup?
Di sisi lain, kata-kata Rizky beberapa hari lalu terus terngiang di kepalanya.
> "Kalau lo gak tahu, jangan beri dia harapan."
~~~
(Siang itu, di atap sekolah)
Anisa sering ke sini kalau butuh berpikir. Angin yang berhembus di atas selalu membantunya meredakan pikirannya yang kusut.
Tapi kali ini, ia tidak sendiri.
Saat tiba di atap, Rizky sudah ada di sana, duduk bersandar pada pagar besi sambil menatap langit.
"Lo gak pernah cerita kalau lo juga suka nyari ketenangan di sini," kata Anisa, mencoba terdengar santai.
Rizky meliriknya sekilas. "Gue gak suka tempat ramai."
Anisa mengangguk dan ikut duduk di sampingnya. Untuk beberapa saat, mereka hanya diam.
Sampai akhirnya, Anisa memberanikan diri bertanya, "Kenapa lo bilang gue gak boleh kasih harapan ke Baskara?"
Rizky tidak langsung menjawab. Ia menatap langit biru, lalu menghela napas pelan.
"Karena gue tahu rasanya."
Anisa menatapnya bingung.
"Maksud lo?"
Rizky tersenyum kecil, tapi senyum itu terasa pahit.
"Lo gak sadar, ya?" katanya pelan.
Jantung Anisa berdegup lebih cepat. Apakah ini berarti…?
Rizky akhirnya menoleh, menatapnya dalam-dalam. "Gue juga suka lo, Nis."
Dunia Anisa terasa berhenti sejenak.
Baskara dan Rizky?
Dua sahabatnya yang paling ia percaya… ternyata memendam perasaan untuknya selama ini?
Angin bertiup kencang, tapi rasanya tidak cukup untuk menenangkan kekacauan di dalam hatinya.
Anisa menggigit bibirnya. Ia tahu ia harus segera membuat keputusan.
Tapi pertanyaannya adalah… siapa yang sebenarnya ia suka?