[PoV: Zanis Rusle]
Kami beranjak dari kasur, menuju dapur kecil yang terletak di sudut ruangan. Cerry mulai mengeluarkan bahan-bahan dari laci, sementara aku mencoba fokus pada apa yang sedang kami lakukan.
Tapi pikiran ku terus melayang ke mimpi buruk itu, ke sosok pria misterius, dan kata-katanya yang penuh teka-teki.
"Di masa depan, hidupmu akan mengalami rintangan yang tak terhitung. Kau akan mengalami penyiksaan dan kegilaan tanpa henti."
Aku menggigil, aku terus mencoba mengusir pikiran itu. Tapi satu hal yang pasti: apapun yang akan terjadi, aku harus siap. Dan aku harus melindungi Cerry, tidak peduli apa yang terjadi.
"Kakak, ayo bantu aku potong sayurnya!" seru Cerry, membuyarkan lamunanku.
Aku tersenyum, mencoba fokus pada saat ini. "Iya, aku datang."
Aku mengambil pisau dari laci dapur dan mulai memotong sayuran yang sudah Cerry siapkan di atas talenan. Suara pisau yang memotong sayuran dengan ritme teratur sedikit membantu menenangkan pikiranku yang masih dipenuhi bayangan mimpi buruk itu. Aku mencoba fokus pada gerakan tanganku, pada aroma segar dari sayuran yang baru saja dipotong, dan pada suara Cerry yang sedang bersenandung kecil sambil memasukkan bahan di mangkuk.
"Kakak, kira-kira kita tambahkan paprika atau tidak?" tanya Cerry tiba-tiba, memecah kesunyian.
"Tambah saja. Biar ada sedikit rasa pedas."
Cerry tersenyum dan menambahkan paprika ke dalam mangkuk. "Kakak, sebenarnya... apa yang kau lihat di mimpi itu? Kau bilang ada seseorang yang berbicara padamu. Seperti apa dia?" Tanya Cerry.
Aku berhenti memotong sayuran sejenak, mencoba mengingat kembali sosok pria misterius itu. "Dia... dia seperti manusia, tapi ada sesuatu yang aneh tentangnya. Dia memakai pakaian formal, seperti dari zaman dulu, dan dia memiliki kulit pucat dan mata biru yang sangat tajam."
Cerry mengerutkan alisnya. "Kedengarannya menyeramkan. Tapi kakak, itu cuma mimpi, kan? Mungkin kakak terlalu stres karena kerja di kafe."
Aku menghela napas. "Mungkin. Tapi mimpi itu terasa begitu nyata, Cerry."
"Kakak, apapun yang terjadi, aku di sini untukmu. Kita selalu bersama, kan? Aku tidak akan membiarkan apapun terjadi padamu."
Aku tersenyum kecil, merasa sedikit lega mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya. "Terima kasih, Cerry. Kau selalu tahu bagaimana membuatku merasa lebih baik." Rasanya adikku ini sudah semakin dewasa saja.
Kami kembali fokus pada masakan kami. Aroma harum mulai memenuhi ruangan kecil ini, dan sedikit demi sedikit, kegelisahan yang kurasakan mulai mereda.
Setelah masakan selesai, kami duduk di lantai di tengah ruangan. Cerry menaruh mangkuk di lantai, menyajikan makanan dengan penuh semangat, dan kami mulai makan bersama. Suasana menjadi lebih ringan, dan Cerry bercerita tentang sekolahnya, tentang teman-temannya, dan tentang rencananya untuk liburan akhir tahun.
Setelah sarapan yang cukup—Dengan hasil masakan Cerry yang ternyata tidak terlalu buruk meskipun sedikit asin.
"Kakak, apa kamu sudah lebih baik sekarang?" tanya Cerry tiba-tiba, memotong ceritanya sendiri.
Aku tersenyum. "Iya, Cerry. Sekarang sudah lebih baikkan, makasih atas saranmu." Aku mengelus kepalanya dengan pelan, rambutnya terasa lembut saat aku pegang.
Cerry mengangguk, wajahnya sedikit memerah karena malu. "Kalau begitu, kakak harus janji tidak akan terlalu memikirkan mimpi itu lagi, ya. Aku tidak suka melihat kakak seperti tadi pagi. Itu membuatku khawatir."
"Aku janji, Cerry. Aku akan mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya."
Tapi di dalam hati. Seperti bayangan yang terus mengikuti, peringatan dari sosok pria misterius itu kembali bergema di kepalaku. Aku tahu itu tidak semudah itu, peringatan dari sosok pria misterius itu terus terngiang-ngiang di kepalaku. Apa yang sebenarnya dia maksud dengan "rintangan yang tak terhitung" dan "penyiksaan dan kegilaan tanpa henti"?
"Kakak, kamu melamun lagi," ujar Cerry, memecah keheningan. "Ayo, kita bersihkan dapur dulu."
Aku mengangguk dan bangkit dari lantai, membantu Cerry membersihkan sisa-sisa masakan kami. Kami berdua mulai membersihkan lantai dan mencuci piring, terdengar suara air yang mengalir dan gesekan spons pada piring. Kami bekerjasama dengan disertai keharmonisan persaudaraan.
Meskipun aku sudah berusaha mencoba fokus pada tugas sederhana ini, pikiranku terus melayang ke mimpi buruk itu. Setiap kali aku menutup mata, aku bisa melihat sosok pria misterius itu, matanya yang biru tajam memberikan perasaan tidak nyaman saat aku mengingatnya kembali.
"Kakak, kau masih memikirkannya, ya?" tanya Cerry tiba-tiba, seolah bisa membaca pikiranku.
Aku menghela napas. "Aku mencoba tidak memikirkannya, tapi itu sulit. Mimpi itu terus mengusik pikiranku."
Cerry mengeringkan tangannya dan mendekatiku. "Kakak, mungkin kau butuh istirahat yang lebih. Sudah seminggu ini kau bekerja shift malam di kafe. Bagaimana kalau kita pergi ke taman sore ini? Udara segar mungkin bisa membantu."
Aku tersenyum kecil, merasa lega dengan usulnya. "Itu ide yang bagus. Aku butuh sesuatu untuk mengalihkan pikiranku."
Karena hari minggu ini aku libur, dan Cerry juga sedang libur. Mungkin tidak apa-apa untuk mencari sedikit hiburan dan menikmati ketenangan.
Setelah selesai membersihkan dapur, kami bersiap untuk pergi ke taman. Cerry mengenakan Hoodie berwarna hitam dan mengikat rambutnya yang hitam panjang menjadi ekor kuda. Sementara aku mengenakan kaos putih yang dibalut kemeja flanel berwarna putih, dengan garis dan pola kotak-kotak berwarna hitam.
Aku kemudian memastikan kunci pintu sudah aman sebelum kami berangkat. Berpikir semuanya sudah aman, kami keluar melewati pintu. Lalu mengunci kembali pintu tersebut.
Kami melanjutkan berjalan di tengah lorong, dan tidak sengaja bertemu dengan tetangga apartemen kami.
"Wahh, ada Zanis dan Cerry. Selamat pagi!." Sapa seorang pria berkulit putih, berambut hitam pendek dan memiliki iris mata berwarna hijau tua serta pupil berwarna hitam.
"Eh, Tuan Zlen. Selamat pagi juga."
Dia adalah tetangga di sebelah kamar kami, bernama Zlen Kovski. Seorang pekerja kantoran berumur 29 tahun.
Kupikir dia sedang kerja hari ini.
"Tuan Zlen, apakah kau tidak kerja hari ini?" Tanyaku.
Zlen membalas dengan senyuman kecil. "Ah, aku sedang ambil cuti hari ini. Kupikir sedikit istirahat cukup untuk membuatku rileks." Dia mengusap tengkuk lehernya. "Ngomong-ngomong, bisakah kau jangan panggil aku dengan sebutan 'Tuan'? Rasanya aneh sekali saat aku mendengarnya langsung dari mulut orang lain, padahal umurku tidak setua itu. Panggil saja aku dengan namaku."
"Haha, baiklah Zlen. Kuharap kau menikmati cutimu."
Kami kembali berjalan di lorong, hingga sampai di pintu keluar apartemen. Aku membuka ganggang pintu yang terasa dingin, dan mempersilahkan Cerry untuk keluar terlebih dahulu yang kemudian diikuti olehku dari belakang.
Saat kami berjalan menuju taman, udara segar dan sinar matahari yang hangat mulai membuatku merasa lebih baik. Kami melewati jalan-jalan kecil di sekitar komplek kami, melewati tetangga yang sedang sibuk dengan aktivitas mereka sendiri. Suasana yang tenang dan normal ini membuatku merasa seperti kembali ke realitas, jauh dari bayangan mimpi buruk itu.
"Kakak, lihat! Ada kucing lucu di sana!" seru Cerry tiba-tiba, menunjuk ke arah seekor kucing belang yang sedang duduk di dekat tempat sampah.
Aku tertawa kecil melihat antusiasmenya. "Kau selalu suka kucing ya, Cerry?"
"Tentu saja! Mereka lucu dan menggemaskan," jawabnya sambil mendekati kucing itu dengan hati-hati. Kucing itu mengangkat kepalanya, menatap Cerry dengan mata yang penuh curiga sebelum akhirnya membiarkan dirinya dielus.
Aku berdiri di belakang Cerry, menikmati momen kecil ini. Tapi tiba-tiba, perasaan aneh menyergapku. Aku merasa seperti ada yang mengawasi kami. Aku menoleh ke belakang tepatnya ke sudut-sudut gang sempit, mencoba mencari sumber perasaan itu, tapi tidak melihat siapa pun yang mencurigakan.
"Ada apa, Kak?" tanya Cerry, memperhatikan tingkahku.
"Tidak apa-apa, kupikir hanya angin lewat," jawabku, masih memindai sekitar.
Cerry menatapku bingung. "Baiklah."
Aku mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya perasaanku saja. Kami melanjutkan perjalanan ke taman, tapi perasaan itu tidak hilang sepenuhnya.
...