Bab 2

Fajar perlahan menyapu Outpost dengan cahaya pucat yang merayap di antara kabut tebal yang masih menggantung di udara. Hawa dingin yang menggigit membuat setiap nafas para penghuni pos ini keluar sebagai uap tipis, sementara embun menempel di dedaunan dan pagar kayu yang mulai lapuk. Cahaya matahari mencoba menembus langit yang kelabu, namun hanya sedikit yang berhasil melewati tirai awan tebal yang enggan bergeming. Di kejauhan, kicauan burung hutan terdengar samar, menyelingi kesunyian yang menyelimuti tempat itu.

Di dalam Outpost, kehidupan mulai menggeliat perlahan. Beberapa Outcast berjalan dengan langkah berat, menjalankan tugas harian mereka dengan gerakan yang sudah otomatis. Beberapa di antara mereka membersihkan senjata, yang lain sekadar duduk di dekat api unggun yang telah redup, hanya menyisakan gumpalan abu kelabu. Di atas bangku kayu yang kasar, sepotong roti keras semalam masih tergeletak, menjadi simbol kehidupan keras dan sederhana di perbatasan ini—tempat yang hampir terlupakan oleh dunia luar.

Alcard sudah terjaga sejak sebelum fajar. Ia duduk di sudut, jubah gelapnya membalut tubuh untuk menahan dingin pagi. Dengan tangan yang terlatih, ia memeriksa longsword kesayangannya, mengusap bilahnya dengan lap kasar, memastikan tidak ada sisa darah monster yang tersisa. Setiap pertempuran selalu meninggalkan bekas, baik pada pedangnya maupun pada dirinya sendiri. Ia tahu betul bahwa tempat seperti ini tidak mengenal kata lengah.

Seorang Outcast yang sedang merapikan tali busurnya melirik ke arahnya, suaranya serak saat bertanya, "Kau akan langsung berangkat?"

Tanpa mengalihkan pandangannya dari pedang di tangannya, Alcard mengangguk ringan. "Oldman menunggu. Aku harus kembali secepatnya."

Outcast itu tidak berkata apa-apa lagi. Dengan cekatan, ia mengangkat panci kecil dari atas bara api yang hampir padam, lalu menuangkan sup hangat ke dalam cangkir logam dan menyodorkannya ke Alcard. Tanpa basa-basi, Alcard menerima cangkir itu dan menyeruputnya perlahan. Rasa sup yang hambar menyebar di mulutnya, tetapi cukup untuk menghangatkan tubuh yang lelah. Ia tak pernah banyak bicara, bahkan dengan mereka yang hidup di bawah naungan tembok yang sama.

Sementara Alcard menikmati supnya, kuda hitamnya yang setia berdiri di dekat tiang kayu, menggaruk tanah dengan gelisah. Hewan itu tampaknya masih bisa mencium bau darah yang melekat di pakaian Alcard. Ia bangkit, berjalan mendekati kudanya, lalu menepuk lehernya dengan lembut. "Tenanglah, kita akan segera pergi," bisiknya pelan. Tangannya dengan cekatan memasang pelana dan memeriksa tali kekang, memastikan semuanya siap untuk perjalanan panjang. Ia kemudian mengambil botol kecil berisi Bloody Potion dari kantong sadel, menatap cairan merah pekat yang berkilauan dalam cahaya pagi. Hanya tersisa beberapa botol, cukup untuk bertahan beberapa hari ke depan.

Ia juga memastikan kantong koin emas yang harus diserahkan kepada Oldman masih terikat erat di tas pelana. Lima kantong koin itu bukan sekadar pembayaran, tetapi juga penentu bertahan atau tidaknya para Outcast di sini. Persediaan mereka semakin menipis, dan Alcard tahu setiap koin berharga.

Saat ia bersiap untuk naik ke pelana, seorang Outcast lain menghampirinya, membawa sebilah pedang tua yang rusak. Wajahnya penuh kelelahan bercampur kekhawatiran. "Kau sudah dengar kabar?" tanyanya pelan. "Monster dari selatan makin sering mendekat ke The Wall."

Alcard menatapnya sesaat, lalu menjawab tanpa ekspresi, "Semakin sedikit penjaga, semakin lemah pertahanan kita. Itu sudah jelas."

Outcast itu menghela napas panjang, mengusap wajahnya yang dipenuhi keringat dingin. "Para lord di Middle Earth tak peduli. Mereka hanya melihat The Wall sebagai tembok tua yang berdiri sendiri. Seakan kita tidak membutuhkan mereka…"

Alcard tak menjawab, hanya memberikan pandangan sekilas yang berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Tanpa basa-basi, ia melompat ke atas kuda hitamnya. Kuda itu meringkik pelan, seolah memahami bahwa perjalanan berat menanti di depan.

Sebelum berangkat, Alcard menoleh dan berkata singkat, "Berhati-hatilah."

Kata-katanya sederhana, namun cukup untuk memberikan sedikit semangat bagi mereka yang ditinggalkan. Ia menarik tali kekang, dan perlahan memacu kudanya keluar dari gerbang kayu usang. Beberapa Outcast menatap kepergiannya dengan campuran perasaan—kekaguman, kecemasan, dan harapan bahwa ia akan kembali dengan kabar baik.

Saat hutan kembali menyelimuti sosoknya, Alcard menatap lurus ke depan, pikirannya mulai dipenuhi dengan tugas yang menunggunya di markas pusat. Laporan tentang Cyclop mutasi, kondisi outpost yang semakin rapuh, dan kelelahan yang terus menghantui mereka semua. Beban di pundaknya terasa lebih berat daripada biasanya, dan ia tahu, perjalanan ini hanyalah salah satu dari banyak perjalanan panjang yang harus ia jalani.

Langkah kudanya di jalan berlumpur meninggalkan jejak samar, sementara langit mulai berangsur cerah. Dunia di luar sana mungkin telah melupakan mereka, tetapi Alcard tahu, mereka yang berada di The Wall tidak akan pernah melupakan tanggung jawab mereka.

***

 

Langit senja yang kelabu menyelimuti sisi barat The Wall, menghadirkan pemandangan yang suram dan melankolis saat Alcard terus melanjutkan perjalanannya. Kuda hitamnya berjalan dengan hati-hati di atas jalan setapak yang dipenuhi pecahan batu dari reruntuhan tembok. Setiap langkah kuda menginjak bebatuan yang telah terkikis waktu, mengingatkan pada kejayaan masa lalu yang kini hanya tinggal puing. Angin dingin berhembus, membawa serta debu dari reruntuhan, menciptakan aura muram yang seolah meratapi kejayaan yang telah sirna.

Di hadapannya terbentang celah besar pada struktur The Wall yang dulu begitu megah, kini hanya menyisakan kehancuran. Batu-batu besar berserakan di sekitar area itu, membentuk jalur terbuka yang langsung mengarah ke hamparan tanah selatan yang luas dan mencekam. Dari celah tersebut, angin berhembus kencang, membawa aroma asing yang bercampur dengan bau amis samar, mengisyaratkan kehadiran sesuatu yang tidak wajar.

Alcard menatap tajam ke arah celah itu, lalu turun dari kudanya dengan gerakan tenang, tetapi penuh kewaspadaan. Matanya segera menangkap jejak kaki yang tertanam dalam lumpur di sepanjang reruntuhan. Jejak itu besar, bentuknya ganjil, dan yang lebih mengkhawatirkan—jejak itu masih segar. Ia berjongkok, mengamati dengan saksama pola jejak tersebut, mencoba menilai seberapa besar dan berapa lama makhluk itu melewati tempat ini.

"Mungkin sekadar monster biasa," bisiknya pelan, namun ada ketidakpastian dalam nada suaranya. "Atau sesuatu yang jauh lebih buruk."

Ia menghela napas panjang, mendongak menatap sisa-sisa kemegahan The Wall yang masih berdiri di sekelilingnya. Dari kejauhan, dinding-dinding tinggi itu tampak kokoh, tetapi jika diperhatikan lebih dekat, setiap inci dari struktur ini mulai menunjukkan keretakan. Sebagian besar dari outpost yang tersebar di sepanjang benteng sudah dalam kondisi mengenaskan—miring, rapuh, bahkan ada yang telah runtuh sepenuhnya, menyisakan rangka kayu yang telah membusuk dimakan waktu.

"Dulu, tembok ini adalah benteng terakhir antara Middle Earth dan kehancuran," pikirnya pahit. "Sekarang, hanya menjadi batu tua yang perlahan runtuh dalam kesunyian."

Tatapannya berubah tajam saat memikirkan para penguasa di Middle Earth. 68 Lord yang saling berseteru, lebih peduli pada ambisi mereka sendiri dibanding ancaman nyata dari selatan. Sejak runtuhnya Kekaisaran Hamongrad, mereka terjebak dalam permainan politik yang tiada akhir—berebut wilayah, memperkaya diri sendiri, dan terus memperluas pengaruh politik masing-masing. Sementara itu, desa-desa kecil yang berdiri di sepanjang tembok raksasa ini telah lama dibiarkan merana, menjadi santapan empuk bagi monster-monster yang terus mendesak ke utara.

"Mereka mengejar hal-hal fana," gumam Alcard dengan nada getir, "sementara ancaman dari selatan hanya menunggu saat yang tepat untuk menghancurkan mereka."

Ia menepuk lembut leher kudanya, seolah mencoba mengusir kekecewaan yang menghantui pikirannya. Hewan itu meringkik pelan, lalu kembali berjalan melewati reruntuhan yang berserakan. Di sepanjang perjalanannya, Alcard melihat sisa-sisa pertempuran lama—tanda-tanda keputusasaan yang tertinggal. Tiang penguat yang patah, tali tambang yang teronggok di tanah berlumpur, dan tembok yang tergores dalam oleh cakaran monster. Saksi bisu perjuangan Outcast yang bertahan dengan segala keterbatasan.

'Ratusan ribu kilometer tembok ini," gumamnya dengan getir, "dan hanya segelintir dari kami yang tersisa untuk menjaganya. Kami berjuang dengan peralatan seadanya, sementara para Lord bersembunyi di balik istana megah mereka."

Angin malam kembali berhembus, kali ini membawa suara samar dari kejauhan. Alcard menghentikan kudanya, tubuhnya menegang. Ia memasang pendengarannya dengan lebih seksama. Bisa saja itu hanya suara hewan liar, tetapi di tempat seperti ini, setiap suara adalah peringatan akan sesuatu yang lebih buruk.

Tanpa membuang waktu, ia memacu kudanya lebih cepat, meninggalkan reruntuhan di belakangnya. Pikiran Alcard kini tertuju pada satu tujuan: markas pusat. Ia harus melaporkan semua yang telah ia lihat dan ketahui. Kerusakan yang semakin parah, minimnya pasokan dan personel, serta ancaman yang semakin nyata di luar tembok ini. Para Outcast tidak bisa mempertahankan ini sendirian lebih lama.

Sebelum benar-benar menghilang di balik bukit kecil, ia kembali menoleh ke celah besar di The Wall yang menganga seperti luka menganga pada tubuh seorang pejuang tua. Sebuah pengingat sunyi tentang apa yang akan terjadi jika dunia terus melupakan pertahanan terakhir ini.

Di kejauhan, langit mulai gelap, seolah memprediksi masa depan suram yang semakin mendekat. Alcard hanya bisa terus melangkah, membawa kabar yang mungkin tak akan diterima dengan baik oleh siapa pun di markas pusat. Baginya, perjalanannya belum berakhir—ini hanyalah awal dari pertarungan yang lebih besar di hari-hari mendatang.

****

 

Langit kelabu membentang luas di atas padang rumput, menyelimuti perjalanan Alcard dalam bayang-bayang mendung yang mengancam akan mencurahkan hujan. Angin yang berembus dari arah selatan membawa kelembapan yang melekat di udara, menciptakan suasana yang semakin menekan. Kuda hitamnya melangkah perlahan di atas jalan setapak yang nyaris hilang tertelan waktu, diapit oleh ilalang tinggi yang melambai seperti tangan-tangan bisu yang menyaksikan setiap perjalanan yang melintas.

Langkahnya yang teratur hanya diiringi oleh bunyi derap kuda dan desiran rumput yang bergesekan. Namun, pikirannya jauh dari hening. Kekacauan yang melanda Middle Earth terus bergelayut di dalam benaknya, mengusik ketenangan yang bahkan hampir mustahil untuk ia miliki.

Para Lord dan keserakahan mereka.

Ia mengepalkan tangannya di atas pelana, menahan rasa muak yang kian mendidih di dadanya. 68 Lord Middle Earth yang kini hanya sibuk dengan permainan politik mereka, masing-masing berlomba mengangkat diri sebagai penguasa, tetapi ironisnya, tidak satu pun dari mereka yang benar-benar peduli pada ancaman nyata.

"Semua berlomba untuk menjadi raja tanpa mahkota," gumamnya lirih, nada suaranya penuh kejengkelan. "Tapi mereka justru melupakan musuh yang sebenarnya."

Pandangannya tertuju ke cakrawala utara, ke arah tiga kerajaan besar yang seharusnya memiliki kekuatan untuk menghentikan kekacauan ini—Edenvila, Jovalian, dan Wastadian. Tiga pilar yang memiliki pasukan, persediaan, dan pengaruh yang cukup untuk menenangkan gejolak Middle Earth, namun memilih untuk tetap diam. Mereka membiarkan perseteruan para Lord terus berlangsung, seolah mereka hanya menonton dari kejauhan, menunggu momen yang tepat untuk masuk dan mengambil keuntungan.

"Mereka punya segalanya," pikir Alcard getir. "Tapi mereka membiarkan negeri ini hancur dalam perebutan kekuasaan yang sia-sia."

Langkah kudanya terhenti ketika ia sampai di sebuah persimpangan yang ditandai oleh sebuah batu besar yang menjulang di tengah padang luas. Batu itu sudah ada sejak lama, menjadi penanda jalan yang akan membawanya lebih dekat ke The Wall. Ia menatapnya sejenak, membiarkan pikirannya mengembara pada masa lalu—saat ia masih seorang prajurit yang percaya pada sistem, pada kebersamaan, pada kekuatan manusia untuk bersatu.

"Tapi itu dulu," bisiknya pelan, nyaris tidak terdengar. "Sekarang, bahkan The Wall yang melindungi mereka dibiarkan membusuk."

Bayangan para Dwarf dan Elf sekilas melintas dalam benaknya. Dua ras yang selama ini dianggap tertutup dan arogan oleh manusia, tetapi setidaknya mereka masih menjaga perbatasan mereka masing-masing. Dwarf dengan benteng dan tambang mereka, sementara Elf dengan hutan dan ritual mistis mereka. Mereka tidak mengabaikan ancaman. Mereka tidak merusak keseimbangan.

"Manusia yang selalu menjadi masalah," pikirnya. "Mereka mencari celah untuk saling menghancurkan, bahkan ketika kehancuran sudah mengintai di depan mata."

Tatapan Alcard menangkap jejak roda dan tapak kuda di tanah, menandakan bahwa jalur ini masih dilewati oleh beberapa orang. Meski jarang, masih ada yang berani menempuh wilayah ini—wilayah yang terlalu dekat dengan The Wall dan bahaya yang mengintai di baliknya. Mereka yang melintasi jalur ini adalah mereka yang terlalu nekat, atau terlalu putus asa untuk peduli.

Ia mendongak, menatap langit yang semakin gelap. Dalam pikirannya, ia bisa membayangkan istana-istana megah di utara, tempat para raja menikmati makanan lezat, tempat para bangsawan membicarakan politik dengan gelas anggur di tangan, sementara para Outcast mati-matian menjaga perbatasan dari monster selatan. Mereka bersembunyi dalam kehangatan, berpura-pura tidak melihat realitas di luar tembok mereka.

"Andai mereka mau bergerak," desahnya, suaranya berat. "Sedikit bantuan pasukan saja ke The Wall sudah cukup untuk mencegah semua ini. Tapi mereka diam, seolah kami tidak pernah ada."

Langkah kuda terus mengiringi keheningan padang rumput, menambah kesan sunyi yang mendalam. Sesekali, Alcard melirik sekeliling, berjaga-jaga kalau-kalau ada sesuatu yang mengintai dari kejauhan. Namun, sejauh mata memandang, yang ada hanyalah tanah kosong yang luas—kosong seperti hati para pemimpin Middle Earth.

"Monster dari selatan, atau monster berkedok manusia," gumamnya sinis. "Apa bedanya?"

Ia menghela napas panjang, mencoba menekan kekecewaannya jauh di dalam hati. Namun, rasa getir itu tetap melekat, menjadi bagian dari dirinya yang sudah terlalu lama berada di dunia yang tidak peduli pada mereka yang berjuang.

"Misi tetaplah misi," ucapnya pada dirinya sendiri, seolah sedang meyakinkan hatinya yang mulai lelah. "Kami hanya bekerja untuk bertahan hidup. Peduli pada manusia lain? Itu semakin sulit."

Di depannya, sebuah rambu kayu reot berdiri miring di tanah, di samping batu besar itu. Tanda tua yang menunjuk arah menuju The Wall. Tanda itu sudah hampir tak terbaca, sebagian hurufnya telah terkikis waktu, seperti sebuah metafora dari peran The Wall sendiri—perlahan dilupakan.

Alcard menarik kendali kudanya, lalu memacunya lebih cepat. Tak ada gunanya berlama-lama di sini. Ia harus segera sampai di markas pusat, melaporkan semua yang telah ia lihat, semua yang harus segera diketahui oleh Oldman.

Langit di atasnya semakin gelap, membawa serta hawa dingin yang mulai menggigit. Namun, perjalanan tetap harus berlanjut. Siluet Alcard dan kudanya perlahan menghilang ke kejauhan, menjadi satu dengan bayangan malam yang semakin turun.

Jalan menuju The Wall masih panjang, dan begitu juga dengan beban yang ia pikul. Middle Earth mungkin telah melupakan mereka, tetapi Outcast seperti Alcard tidak punya kemewahan untuk melupakan tanggung jawab mereka.

****

 

Langit mendung menggantung rendah di atas padang ilalang yang luas, menebarkan bayangan kelabu yang membungkus dunia dalam keheningan yang menyesakkan. Angin bertiup pelan, menggoyangkan rerumputan yang tinggi dan membawa aroma tanah basah yang masih menyimpan sisa hujan beberapa hari lalu. The Wall, yang menjulang di kejauhan, tampak semakin suram dalam pantulan cahaya senja yang memudar. Di tengah jalur setapak yang hampir tertelan alam, dua sosok berjubah lusuh bergerak perlahan, mantel mereka berkibar ringan dalam hembusan angin.

Alcard menahan tali kendali kudanya, membuat langkah hewan itu terhenti dengan gerakan kecil. Matanya yang tajam segera mengenali dua sosok yang mendekat—sesama Outcast. Dari balik tudung mereka yang gelap, sepasang mata merah samar bersinar, pertanda identitas yang tak bisa disangkal. Kewaspadaan mereka bukan ancaman, melainkan sebuah tanda pengenalan, refleksi dari kehidupan yang mereka jalani.

Kedua Outcast itu terus melangkah mendekat, suara sepatu mereka menyatu dengan desiran angin dan gesekan ilalang yang saling bertabrakan. Salah satu dari mereka, yang bertubuh tinggi dan berbahu lebar, berbicara lebih dulu dengan suara parau yang dipenuhi kelelahan.

"Apa kabar, Alcard?" suaranya terdengar dalam, membawa keakraban yang tersamarkan oleh nada dingin. "Baru kembali dari misi?"

Alcard menepuk leher kudanya yang mulai gelisah, membiarkan binatang itu tenang sebelum menjawab. "Ya, misi membunuh Cyclop," jawabnya singkat. Pandangannya tetap awas, menilai kondisi dua rekannya. "Kalian sendiri?"

Yang bertubuh lebih pendek menyeringai kecil, meskipun wajahnya hampir sepenuhnya tersembunyi di balik tudungnya. "Kami baru menyelesaikan 'urusan kotor' untuk seorang Lord," katanya dengan nada datar, tanpa emosi. "Menyingkirkan saingan politiknya. Seorang bajingan yang, ironisnya, tak jauh berbeda dengan si pemberi misi."

Alcard melirik senjata mereka, pedang dan belati yang menggantung di pinggang masing-masing. Ada noda darah yang sudah mengering di bilahnya, meskipun tak terlalu banyak. Itu sudah cukup untuk bercerita lebih banyak dari kata-kata mereka. Matanya menyipit sedikit, ekspresinya berubah tajam.

"Kita seharusnya tidak mencampuri urusan para Lord," gumamnya dengan nada yang lebih dingin.

Outcast bertubuh tinggi hanya mengangkat bahu, gerakannya menunjukkan sikap pasrah yang terlalu terbiasa dengan kenyataan. "Kadang kita tidak punya pilihan, Alcard," balasnya santai. "Bayaran mereka besar, dan tugas ini tidak melanggar kode kita."

"Kami tidak menyentuh orang tak bersalah," timpal si pendek, suaranya mengandung keteguhan yang tajam. "Target kami adalah seorang bangsawan korup yang akan menindas rakyatnya sendiri. Tidak ada perbedaan antara dia dan monster dari selatan."

Alcard terdiam, membiarkan kata-kata itu menggantung di udara. Ia memahami dilema ini, meskipun bagian dari dirinya tetap enggan untuk menerima. Outcast sering menjadi alat bayangan yang digunakan oleh para penguasa, prajurit bayaran yang dipanggil hanya untuk menyelesaikan urusan yang tidak bisa mereka lakukan sendiri. Tapi, sekalipun mereka hidup dalam kegelapan, mereka masih memiliki batas—mereka tidak akan mengkhianati sesama, mereka tidak akan menjadi algojo bagi orang yang tidak bersalah.

"Setidaknya kita masih punya prinsip," akhirnya Alcard berujar, nada suaranya lebih tenang, meskipun matanya tetap tajam. Dalam pikirannya, ia tidak bisa mengabaikan ironi ini: di dunia yang dipenuhi kebusukan, Outcast kadang lebih bermoral dibandingkan para penguasa yang duduk di singgasana.

Yang tinggi mengangguk ringan. "Ya, prinsip," katanya pelan, meski ada nada skeptis di balik suaranya. "Tapi tetap saja, yang membuat dunia bergerak bukanlah prinsip. Melainkan koin emas di kantong kita."

Tak ada yang langsung membalas. Keheningan sesaat menyelimuti mereka, hanya diisi oleh suara angin yang berhembus melewati hamparan ilalang. Alcard tahu, sesama Outcast adalah pengingat dari realitas dunia ini. Mereka bukan pahlawan, bukan penjahat. Mereka adalah prajurit tanpa negara, penjaga tanpa penghargaan, sekaligus algojo yang dianggap kotor. Tidak ada tempat bagi mereka di dunia yang mengabaikan eksistensi mereka.

"Hati-hati di jalan, Alcard," ujar si pendek tiba-tiba, mencoba melemparkan candaan suram khas para Outcast. "Jangan sampai ada Lord yang ingin melihat kepalamu di piring makan malamnya."

Alcard menatapnya datar, matanya menyorotkan ketidaksabaran. Ia tahu itu hanya lelucon khas mereka, tetapi dunia yang mereka tinggali terlalu dekat dengan kemungkinan semacam itu. "Simpan guyonanmu," balasnya dingin. "Kalian juga. Jangan ceroboh."

Tanpa kata lebih lanjut, kedua Outcast itu melanjutkan perjalanan mereka ke arah barat, menyusuri jalur yang membawa mereka lebih dalam ke wilayah kekacauan Middle Earth. Alcard menuntun kudanya ke arah berlawanan, kembali ke tujuan utamanya—markas pusat The Wall.

Saat langkah-langkah mereka menjauh, angin kembali bertiup lebih kencang, membawa bisikan halus dari rerumputan yang bergoyang. Suara alam yang menenangkan, namun bagi Alcard, itu hanyalah pengingat dari sebuah dunia yang penuh dengan kehancuran dan intrik.

"Ini duniaku sekarang," bisiknya pelan, matanya menatap lurus ke cakrawala yang semakin memerah oleh senja. "Dunia yang dipenuhi darah dan kebusukan."

Langkah kudanya semakin cepat, membelah hamparan padang luas yang tak berujung. Bayangan tubuhnya perlahan menghilang di antara ilalang yang bergoyang, tenggelam dalam perjalanan yang tak berakhir. Sebuah perjalanan yang akan terus membawa dilema—antara menjadi penjaga atau menjadi algojo, di dunia yang tak lagi mengenal batas antara kebaikan dan keburukan.

****

 

Beberapa hari setelah perjalanan panjang yang melelahkan, langit di atas The Wall telah berubah kelam, seolah mencerminkan atmosfer yang menyelimuti benteng terakhir Middle Earth itu. Di kejauhan, markas pusat berdiri kokoh, meskipun waktu dan peperangan telah mengikis kejayaannya. Batu-batu tua yang membentuk dindingnya dipenuhi retakan, seakan menjadi saksi bisu dari ketahanan para Outcast yang bertahan di ujung tanduk.

Alcard melangkah masuk melewati gerbang kayu yang berderit tertiup angin. Tempat ini sunyi, hanya diisi suara langkah kakinya yang bergema di sepanjang lorong yang lembap dan dingin. Obor yang menempel di dinding berkedip-kedip lemah, menyorot bayangan panjang yang tampak semakin suram di bawah cahaya redup.

Sesampainya di ruang utama markas, ia langsung menuju meja kayu besar di sudut ruangan, di mana Oldman—pemimpin tertinggi The Wall—duduk dengan tubuh renta, namun masih memancarkan aura wibawa yang tak pudar. Meja di hadapannya penuh goresan dan bekas luka yang mencerminkan banyaknya pertempuran yang telah ia lalui.

Alcard tanpa basa-basi mengeluarkan kantong koin dari dalam jubahnya, meletakkannya di atas meja dengan bunyi gemerincing yang memenuhi ruangan. "Ini bayarannya," ujarnya dengan suara serak, tubuhnya nyaris lunglai oleh kelelahan. "Laporannya akan aku berikan besok. Aku butuh istirahat."

Namun, sebelum Alcard sempat berbalik, Oldman menepuk meja dengan tangan yang sedikit gemetar. "Tunggu, ada sesuatu yang perlu kita bicarakan."

Alcard mendesah pelan, ingin menolak, tetapi nada suara Oldman membuatnya kembali duduk, meskipun keengganan terpancar jelas dari sorot matanya.

Oldman menghela napas panjang sebelum mulai berbicara, suaranya lebih pelan, hampir seperti bisikan yang menyimpan beban sejarah. "Ini tentang Bloody Potion," katanya, matanya tertuju pada Alcard dengan tajam. "Kau tahu efeknya, kau tahu bahayanya, tapi kau mungkin tidak tahu dari mana asalnya."

Alcard mengernyit, rasa ingin tahu yang samar muncul di benaknya. Ia telah lama mengenal Bloody Potion—ramuan yang memberi kekuatan luar biasa tetapi menuntut harga mahal. Ketergantungan, kelelahan yang menyiksa setelah efeknya hilang, dan risiko overdosis yang mematikan. Namun, asal-usulnya jarang dibicarakan.

Oldman menarik botol kecil dari laci mejanya, mengangkatnya sehingga cairan merah pekat di dalamnya memantulkan cahaya obor. "Dulu, saat Middle Earth hampir runtuh oleh gelombang serangan monster dari selatan, persediaan prajurit kita semakin menipis. Dalam keputusasaan, ada seseorang yang namanya tidak pernah tercatat dalam sejarah The Wall, yang menciptakan ramuan ini."

Ia menatap botol itu sejenak sebelum melanjutkan. "Ia mencampurkan tanaman langka seperti Folwestian Bloom dan Rotrofila Root, lalu menambahkan essence darah monster untuk menghasilkan peningkatan kekuatan yang luar biasa. Hasilnya adalah keajaiban di medan perang."

"Tapi juga kutukan," potong Alcard dingin.

Oldman mengangguk perlahan. "Ya. Tubuh menjadi lebih cepat, lebih kuat, tapi dengan harga yang tak terbayangkan. Banyak yang mati bukan karena monster, tapi karena ramuan ini. Ada yang mengalami overdosis, ada yang tubuhnya tidak sanggup menahan efeknya, dan lebih buruk lagi—kecanduannya permanen."

Keheningan menyelimuti ruangan, hanya suara api yang berderak pelan di obor dinding.

Namun, kali ini, nada suara Oldman berubah sedikit. "Tapi," lanjutnya, "aku menemukan sesuatu. Sebuah kemungkinan untuk alternatif yang lebih baik."

Alcard menatapnya dengan ketertarikan yang lebih dalam. "Alternatif?"

Oldman mengangguk. "Aku menemukan bagian dari naskah tua dari perpustakaan elf. Tidak lengkap, tapi di dalamnya ada petunjuk tentang ramuan yang memiliki efek serupa Bloody Potion, tetapi tanpa kecanduan."

Alcard menyandarkan punggungnya ke kursi, pikirannya mulai memproses kemungkinan itu. Jika benar-benar ada ramuan alternatif yang tidak menyebabkan kecanduan, maka nasib para Outcast bisa berubah.

"Kalau ini berhasil…" gumamnya pelan, "kita bisa merekrut lebih banyak orang tanpa harus menghancurkan mereka dengan potion."

"Tepat," Oldman mengangguk setuju, "tapi sejauh ini, itu masih sebatas harapan. Kita tidak punya formula lengkapnya, dan kita tidak punya akses ke perpustakaan elf atau dwarf untuk menemukan jawaban."

Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Alcard akhirnya bangkit dari kursinya, tubuhnya masih terasa berat oleh kelelahan. "Kalau begitu," katanya, "biarkan aku beristirahat dulu. Aku akan memikirkan ini besok."

Oldman mengangguk, tetapi sebelum Alcard membuka pintu, ia berkata lagi dengan suara yang lebih dalam. "Ingat, Alcard. The Wall berdiri di atas bahu orang-orang seperti kita. Jangan habiskan potion-mu sembarangan. Kita tidak tahu kapan kita bisa mendapatkannya lagi."

Alcard tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil dan melangkah keluar dari ruangan, membiarkan pintu kayu berderit pelan di belakangnya.

Saat ia memasuki kamarnya, udara dingin segera menyambutnya. Ruangan itu gelap dan sempit, hanya ada sebuah ranjang kayu tua dengan alas jerami tipis. Ia duduk di tepinya, matanya menatap kosong ke dinding yang dingin. Pikirannya terus berputar—tentang Bloody Potion, tentang nasib The Wall, dan tentang ancaman dari selatan yang terus bergerak maju.

Akhirnya, dengan gerakan lambat, ia membaringkan tubuhnya. Kelopak matanya mulai terasa berat, tetapi pikirannya masih penuh dengan rencana, strategi, dan pertanyaan yang belum terjawab.

Di luar, api obor di sepanjang lorong markas pusat mulai meredup, seolah menandakan bahwa ini adalah waktu istirahat bagi mereka yang terus hidup di ujung kematian. Namun bagi seorang Outcast seperti Alcard, istirahat hanyalah ilusi singkat sebelum pertempuran berikutnya dimulai.

****