Pagi menyelimuti markas pusat The Wall dengan sinar matahari yang masih samar, nyaris tak mampu menembus kabut tebal yang bergelayut rendah di atas tanah berbatu. Udara dingin menyusup ke dalam lorong-lorong sempit, membawa aroma kayu lembap dan debu yang beterbangan dari dinding kayu yang mulai retak. Keheningan yang mencekam hanya sesekali dipecahkan oleh suara langkah-langkah berat dari para Outcast yang bangkit dari istirahat singkat mereka, bersiap menghadapi hari baru yang tak menawarkan sesuatu selain perjuangan tanpa akhir.
Di tengah kesunyian itu, suara derit engsel pintu kayu yang telah rapuh terdengar saat Alcard mendorongnya perlahan. Matanya yang merah dan letih menelusuri ruangan yang sudah tak asing baginya. Ini adalah ruang kerja Oldman—ruang yang lebih mirip sisa dari kejayaan masa lalu ketimbang markas komando yang seharusnya menjadi pusat kendali perbatasan dunia manusia. Cahaya mentari yang lemah masuk melalui jendela kecil di dinding kayu, menyorot meja kayu besar yang penuh dengan tumpukan kertas laporan, gulungan peta tua yang sudah mulai rapuh, dan beberapa botol kosong Bloody Potion yang diletakkan begitu saja di sudut ruangan, seolah menjadi saksi dari malam-malam panjang yang penuh ketegangan.
Di balik meja itu, duduklah Oldman. Wajah tuanya tampak lebih keriput dari sebelumnya, matanya yang biasanya tajam kini dipenuhi bayangan kelelahan. Meski begitu, tatapannya tetap membawa aura wibawa yang tak tergoyahkan. Ia mengangkat kepalanya perlahan, memperhatikan Alcard yang berdiri di depannya.
Tanpa membuang waktu, Alcard masih berdiri di posisinya dengan menahan rasa kelelahannya, akibat menggunakan bloody potion beberapa hari yang lalu. "Kondisi The Wall semakin buruk, oldman. Monster mungkin sudah banyak yang melintasi The Wall."
"Aku tahu."
Alcard menatapnya sejenak, lalu menghela napas panjang. Meskipun tubuhnya terasa berat, ada sesuatu dalam nada suara Oldman yang membuatnya menurunkan badannya ke kursi kayu reyot di depan meja.
Oldman menyandarkan punggungnya ke kursi, mengamati Alcard dengan tatapan penuh pertimbangan. "Ceritakan lebih detail," ujarnya, memberi isyarat agar Alcard menjelaskan apa yang telah ia temui di luar sana.
Alcard mengusap wajahnya sejenak, mencoba merangkai kata-kata yang dapat menggambarkan kondisi mengenaskan yang ia saksikan. "Situasi semakin memburuk," katanya akhirnya, suaranya datar tetapi ada nada kemarahan yang tersirat di dalamnya. "Aku melewati banyak outpost yang ditinggalkan, beberapa hampir runtuh sepenuhnya. Tidak ada cukup penjaga di outpost yang masih bisa ditempati. Tembok-tembok mulai rapuh, dan jejak monster ada di mana-mana. Aku bahkan menemukan desa-desa di sekitar The Wall yang mulai ditinggalkan penduduknya yang ketakutan."
"…"
Oldman mendengarkan dalam diam, tetapi ekspresinya berubah ketika Alcard menyebutkan temuan terburuknya.
"Yang aku bunuh kemarin bukan Cyclop biasa," lanjut Alcard. "Itu Cyclop mutasi."
Oldman menegang, tubuhnya sedikit condong ke depan. "Cyclop mutasi?" ulangnya, suaranya terdengar lebih tajam. "Bagaimana bisa monster sejauh itu melewati The Wall?"
Alcard menggeleng, ekspresi wajahnya menunjukkan ketidakpuasan. "Aku tidak tahu," jawabnya dengan nada kesal. "Tapi ini hanya berarti satu hal: The Wall tidak lagi cukup kuat untuk menahan mereka. Dan lebih buruk lagi, jika penduduk desa mulai menyalahkan kita. Mereka mungkin telah menganggap para Outcast sengaja membiarkan monster lewat demi mendapatkan koin lebih banyak."
Rahang Oldman mengeras, dan ia menarik napas panjang sebelum menyandarkan tubuhnya kembali ke kursinya yang berderit pelan. "Kita tahu ini akan terjadi cepat atau lambat," katanya, suaranya dalam dan sarat dengan kelelahan. "Tanpa bantuan manusia, tanpa dukungan dari elf dan dwarf, seluruh tanggung jawab jatuh ke pundak kita. Tapi jumlah kita terlalu sedikit, dan satu-satunya yang membuat kita tetap bertahan adalah Bloody Potion."
Alcard mengepalkan tangannya, sorot matanya semakin tajam. "Tapi Bloody Potion juga sedang membunuh kita, Oldman," katanya tajam. "Berapa banyak yang sudah mati karena kecanduan atau overdosis? Berapa yang tersisa di The Wall sekarang? Kita tidak bisa terus begini."
Oldman tidak segera menjawab. Ia hanya menatap Alcard dengan mata yang penuh kelelahan, seakan menimbang beban berat yang telah ia pikul selama ini. "Outcast bukanlah penjaga biasa, Alcard," katanya akhirnya. "Kita adalah hukuman. Kita dihukum untuk menjaga The Wall, menahan monster, dan menerima kebencian dari dunia luar. Kita tahu itu sejak awal."
Alcard menoleh ke jendela kecil di sudut ruangan, melihat kabut pagi yang perlahan mulai menipis, menampakkan cakrawala yang kelam. "Kalau saja elf masih mau mengirim pasukan mereka… kalau saja para dwarf bersedia memperbaiki peralatan dan tembok ini…"
"Tapi mereka tidak akan kembali," potong Oldman dengan nada tegas. "Dunia ini sudah melupakan kita. Para Outcast hanya hidup di bayang-bayang, melindungi dunia yang tidak pernah mengakui keberadaan kita."
Keheningan panjang memenuhi ruangan, hanya suara kayu tua yang berderit karena angin yang menyelinap dari celah-celah dinding.
Akhirnya, Oldman berdiri, merapikan jubah lusuhnya yang sudah lama kehilangan kejayaannya. Ia berjalan perlahan mendekati Alcard, lalu menepuk bahunya dengan lembut, seolah ingin menyalurkan sedikit kekuatan yang masih ia miliki.
"Satu-satunya pilihan kita adalah bertahan," katanya dengan suara pelan, tetapi tegas. "Kita akan terus menjaga The Wall sekuat tenaga, meskipun kita tahu tak ada yang peduli pada kita. Bloody Potion memang kutukan, tetapi itu juga satu-satunya yang membuat kita cukup kuat untuk melawan monster-monster itu. Sama seperti biasanya, dan mungkin untuk selamanya."
Alcard menatapnya sejenak sebelum akhirnya menghela napas panjang. Ia menundukkan kepalanya sedikit sebagai tanda penghormatan. "Baik, Oldman," jawabnya, suaranya lebih tenang.
Tanpa menunggu balasan, Alcard bangkit dari kursinya dan berjalan menuju pintu. Namun, sebelum melangkah keluar, ia menoleh sekali lagi. Oldman telah kembali duduk di kursinya, menatap tumpukan laporan dengan pandangan kosong, seakan memikul seluruh beban dunia di pundaknya.
Pintu kayu berderit pelan saat Alcard menutupnya di belakangnya. Ia berjalan di lorong panjang yang dingin, pikirannya terus berputar, memikirkan nasib para Outcast dan peran mereka yang semakin suram di dunia yang tak pernah mengakui mereka.
Saat ia melangkah keluar dari markas, angin pagi yang dingin menerpa wajahnya. Ia menarik napas dalam, menegakkan bahunya, lalu berjalan lurus ke depan.
Tugas berikutnya sudah menanti.
****
Matahari pagi bersinar lemah di atas markas pusat The Wall, menyoroti lapangan latihan yang dipenuhi jejak masa lalu. Dinding batu di sekelilingnya mulai menampakkan keretakan, sementara tanahnya penuh dengan bekas pijakan para pejuang yang berlatih setiap hari. Di tengah lapangan, terlihat sasaran kayu yang telah aus oleh ribuan tebasan, boneka jerami yang nyaris tak berbentuk karena pukulan bertubi-tubi, serta papan panahan yang dipenuhi lubang bekas anak panah yang meleset atau tepat sasaran.
Alcard berdiri tegak di antara semua itu, tubuhnya tetap kokoh meski wajahnya menampakkan kelelahan yang sulit disembunyikan. Lima Outcast pemula berjajar di hadapannya, tangan mereka yang masih gemetar menggenggam pedang kayu yang tampak terlalu berat untuk mereka. Mata mereka penuh ketegangan, tetapi tak ada pilihan selain belajar. Alcard mengamati mereka dengan tatapan dingin sebelum akhirnya berbicara dengan suara datar namun tegas.
"Gerakkan pedangmu lurus ke depan," perintahnya, suaranya tajam seperti pisau. "Bayangkan musuhmu lebih besar darimu, lebih kuat, dan tidak akan memberi ampun."
Dengan satu gerakan presisi, Alcard mendemonstrasikan teknik sederhana namun mematikan. Para pemula mencoba mengikuti, namun gerakan mereka canggung dan kurang tenaga. Beberapa di antara mereka kehilangan keseimbangan, membuat pedang kayu mereka nyaris terlepas dari tangan. Alcard tak menunjukkan amarah. Ia hanya memperbaiki postur mereka dengan sedikit dorongan di bahu atau pergelangan tangan, memberi mereka kesempatan untuk belajar dengan cara yang lebih nyata. Di tempat ini, kesalahan kecil bisa berarti kematian di kemudian hari.
Namun, latihan mereka terganggu oleh suara langkah-langkah berat dan gesekan rantai dari arah gerbang masuk lapangan. Semua kepala menoleh ke arah dua Outcast senior yang baru saja tiba, mengenakan jubah gelap yang telah usang oleh pertempuran. Mata mereka menyala merah, tanda bahwa Bloody Potion telah menjadi bagian dari darah mereka. Namun yang menarik perhatian bukan mereka, melainkan sepuluh tahanan yang mereka seret dengan tangan terikat rantai besi.
Alcard melirik sekilas, lalu menghela napas pelan. Ia memberi isyarat agar para pemula beristirahat, sebelum melangkah menghampiri kerumunan yang terbentuk di sekitar para tahanan. Dua Outcast senior itu memberi salam singkat sebelum salah satunya berbicara dengan suara berat.
"Kiriman dari Lord Felgar," katanya, matanya menatap Alcard tanpa ekspresi. "Sepuluh orang. Alasan pembuangannya beragam."
Alcard mengamati para tahanan satu per satu. Wajah mereka bervariasi—ada yang pucat ketakutan, ada yang mencoba menyembunyikan ketakutannya di balik ekspresi datar, sementara beberapa lainnya terlihat seperti telah menyerah pada nasib. Beberapa dari mereka mengenakan pakaian yang masih cukup bagus, menandakan bahwa mereka dulunya bukanlah orang biasa. Mungkin bangsawan yang jatuh, mungkin tentara yang dianggap membangkang, atau mungkin hanya warga biasa yang dituduh melakukan pelanggaran yang tak pernah mereka lakukan.
Seorang pemula yang berdiri di dekat Alcard berbisik, suaranya nyaris tenggelam di antara suara rantai yang berderit. "Mereka juga akan menjadi Outcast seperti kita? Atau… mereka akan dikirim ke selatan untuk menjadi umpan monster?"
Alcard tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap pemuda itu dengan mata dingin sebelum berucap pelan. "Itu tergantung pada Oldman."
Tak lama, Oldman muncul dari arah barak utama. Langkahnya tertatih, tetapi aura kepemimpinannya tetap terpancar dengan jelas. Ia mendekati para tahanan tanpa ekspresi, matanya hanya menilai mereka satu per satu, seperti sedang menaksir barang dagangan. Dua Outcast senior menarik para tahanan lebih ke tengah lapangan, memastikan mereka tidak bisa kabur.
"Sepuluh orang dari Lord Felgar," gumam Oldman, tangannya menyentuh rantai besi yang melilit tangan salah satu tahanan. Wajahnya tetap tanpa emosi, seolah ini hanyalah rutinitas biasa.
Salah satu tahanan, seorang pria dengan rambut kusut dan wajah penuh luka, memberanikan diri berbicara. "Kami tidak bersalah! Kami hanya dituduh memberontak! Tolong, bebaskan kami…"
Oldman menatapnya tanpa belas kasihan. Suaranya dalam dan tegas, menggema di seluruh lapangan. "Di sini, status kalian di mata para Lord tidak lagi penting. Mulai saat ini, kalian adalah Outcast. Kalian hidup atau mati di bawah perintah The Wall."
Beberapa tahanan bergidik mendengar kata 'Outcast'. Mereka yang mengerti apa artinya hidup sebagai Outcast langsung menunjukkan ketakutan di wajah mereka. Sisanya masih menatap bingung, seolah mencoba memahami konsekuensi mengerikan dari apa yang baru saja mereka dengar.
Dari kantong mereka, dua Outcast senior mengeluarkan botol kecil berisi cairan merah pekat. Oldman mengambil salah satunya dan mengangkatnya tinggi-tinggi, memperlihatkan kepada para tahanan.
"Ini Bloody Potion," ucapnya, nada suaranya tajam seperti pisau. "Tanpa ini, kalian akan mati melawan monster. Dengan ini, kalian mungkin bertahan… tapi harga yang kalian bayar sangat mahal."
Ketegangan meningkat. Beberapa tahanan mulai menggeliat, berusaha melepaskan diri dari rantai mereka, tetapi usaha mereka sia-sia. Para Outcast senior bergerak cepat, memaksa mereka meneguk cairan itu satu per satu. Erangan protes bercampur dengan suara batuk tersedak terdengar di udara, sementara efek awal Bloody Potion mulai menyebar ke tubuh mereka. Panas yang membakar dari dalam, detak jantung yang melonjak tak terkendali, serta kesadaran yang seakan menjadi lebih tajam, semuanya menyerang dalam satu gelombang rasa sakit yang tak bisa dihindari.
Alcard menyaksikan proses itu tanpa perubahan ekspresi. Baginya, pemandangan ini bukanlah hal yang asing. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana rasanya saat pertama kali ia dipaksa menelan Bloody Potion. Rasa panas yang menggerogoti nadinya, napas yang memburu, dan tubuh yang bergetar hebat seakan hendak meledak. Ia juga mengingat perasaan ketakutan, perasaan bahwa dirinya tidak akan pernah sama lagi setelah itu.
Setelah semua tahanan selesai meminum potion, Oldman melangkah lebih dekat. "Rantai kalian akan dilepas," katanya dengan nada dingin. "Mulai sekarang, kalian adalah Outcast. Kalian akan menerima perintah, atau mati."
Satu per satu, rantai yang membelenggu mereka dilepaskan. Sepuluh orang yang kini menggigil lemah mulai merasakan efek penuh dari Bloody Potion yang mengalir dalam darah mereka. Mata mereka mulai berubah, memerah samar, menandakan bahwa tubuh mereka mulai menyesuaikan diri dengan racun itu.
Oldman menoleh ke arah Alcard. "Ajari mereka dasar-dasar bertahan hidup. Kalau mereka gagal, itu kesalahan mereka sendiri."
Alcard mengangguk, matanya menatap tajam para tahanan yang kini telah menjadi bagian dari The Wall. Suaranya tenang, tetapi mengandung makna yang dalam. "Kalian akan terbiasa," katanya. "Inilah jalan kita… jalan bagi mereka yang telah dibuang."
Alcard berdiri di antara mereka, memandang wajah-wajah penuh ketakutan yang mengingatkannya pada dirinya sendiri di masa lalu. Di belakangnya, The Wall berdiri tinggi, menjadi saksi bisu bagi nasib para Outcast yang telah kehilangan segalanya, namun tetap bertahan di ambang kematian.
****
Pagi berikutnya menyambut markas pusat The Wall dengan langit yang tetap kelabu, menggantung rendah seolah menekan para penghuni di bawahnya. Embun masih melekat di tanah yang lembap, meninggalkan kilauan tipis di atas batu-batu dan kayu tua yang membentuk benteng terakhir Middle Earth. Di udara, samar-samar tercium bau kayu terbakar dari sisa obor yang telah meredup, berpadu dengan hawa dingin yang seakan enggan pergi.
Di lapangan utama, para Outcast telah berkumpul dalam sebuah lingkaran yang rapat. Tak ada tanda-tanda kemegahan atau seremoni yang berlebihan, hanya barisan para pejuang yang diam dalam keseriusan yang terasa berat. Di tengah mereka, berdiri sepuluh orang yang baru saja diterima di dalam barisan Outcast. Rekrutan baru, wajah mereka masih dihiasi rasa bingung, ketakutan, dan kelelahan yang bercampur menjadi satu. Namun, tak satu pun dari mereka yang berani menunjukkan kelemahan secara terang-terangan.
Oldman berdiri di pusat lingkaran, sosok tuanya tampak lebih rapuh dibandingkan biasanya, namun sorot matanya tetap tajam seperti baja yang telah ditempa berkali-kali. Jubah tua yang membungkus tubuhnya berkibar pelan ditiup angin pagi, sementara rambut putihnya berantakan oleh udara dingin. Di belakangnya, Alcard berdiri diam, mengamati jalannya upacara penerimaan dengan ekspresi datar. Matanya meneliti wajah-wajah baru di hadapannya—beberapa tampak menahan gemetar, sementara yang lain berusaha menyembunyikan kecemasan mereka dengan wajah datar.
Suara Oldman akhirnya memecah kesunyian, menggema di antara mereka seperti suara lonceng kematian yang tak terbantahkan. "Mulai hari ini," ucapnya, nada suaranya berat seperti beban yang telah ia tanggung selama bertahun-tahun, "Kalian bukan lagi warga bebas. Kalian adalah Outcast. Terikat pada dinding raksasa yang bisu ini dan kegelapan yang datang dari selatan."
Beberapa rekrutan mencuri pandang satu sama lain, saling bertukar ekspresi yang tak terucapkan. Rasa panas dari Bloody Potion yang mereka telan kemarin masih terasa di tenggorokan mereka, seakan menjadi pengingat pahit akan perubahan drastis dalam hidup mereka. Beberapa menelan ludah mereka dengan susah payah, sadar bahwa tak ada jalan kembali dari tempat ini.
Oldman mulai berjalan mengitari mereka, langkahnya lambat namun memiliki bobot yang seolah membebani dada mereka yang mendengarkan. "Di sini, kalian menebus dosa, menebus kesalahan… atau sekadar menebus nasib buruk yang membuat kalian dibuang ke The Wall." Tidak ada belas kasihan dalam suaranya. "Tugas kalian sederhana, tapi tanpa belas kasih. Kalian akan menjaga perbatasan dari makhluk-makhluk yang datang dari selatan. Kalian akan melakukan misi yang diberikan kepada kalian, tak peduli seberapa kotor atau tak bermoralnya. Dunia di luar tak lagi menganggap kalian ada, dan di sini, hukum mereka tak berlaku. Hanya ada satu hukum, hukum The Wall."
Beberapa dari rekrutan baru mulai kehilangan ketenangan mereka. Jari-jari yang mencengkeram lengan mereka sendiri semakin kuat, seolah berusaha meyakinkan diri bahwa ini hanyalah mimpi buruk yang bisa segera berakhir. Namun, sebagian lainnya mencoba menegakkan punggung mereka, berpura-pura menerima kenyataan baru yang mereka hadapi.
Oldman berhenti tepat di hadapan mereka, menatap mereka satu per satu dengan tatapan yang seakan bisa menembus kebohongan dan kebingungan mereka. "Namun, meskipun kita bukan lagi bagian dari dunia luar, ada satu hal yang membedakan kita dari sekadar algojo bayaran yang dibuang ke sini. Kita memiliki kode. Sebuah aturan yang harus kalian junjung, jika ingin tetap hidup sebagai bagian dari kami."
Ia menoleh sekilas ke arah Alcard dan para Outcast senior yang berdiri di sekitar mereka, seolah memberi isyarat bahwa mereka semua adalah saksi dari sumpah yang akan diucapkan. "Pertama," lanjutnya, "Sesama Outcast adalah saudara. Tak peduli tugas apa yang diberikan kepada kalian, tak peduli berapa banyak koin emas yang ditawarkan, kita tak boleh mengkhianati atau membunuh sesama kita."
Beberapa rekrutan tampak sedikit lega mendengar aturan pertama itu, tetapi ketegangan tetap menggantung di udara. Oldman melanjutkan tanpa henti. "Kedua, kita hanya tunduk pada aturan The Wall. Bukan pada raja, bukan pada para Lord, bukan pada siapa pun yang menganggap dirinya berkuasa atas kita."
Ia memberikan jeda sejenak, membiarkan kata-katanya meresap. "Dan ketiga, Bloody Potion adalah pedang bermata dua. Itu yang menjaga kita tetap hidup, tetapi itu juga yang akan membunuh kita jika kita menyalahgunakannya. Gunakan dengan bijak, jangan pernah memanfaatkannya untuk mencelakai saudara kita sendiri."
Para rekrutan tetap diam, sebagian besar dari mereka masih berusaha memahami bobot dari aturan yang baru saja mereka dengar. Mereka mulai menyadari bahwa hidup mereka kini telah benar-benar berubah, dan tak ada lagi tempat bagi mereka di luar The Wall.
Oldman akhirnya melangkah mundur, lalu mengangkat tangannya sebagai tanda perintah. "Angkat pedang kalian!" suaranya lantang, bergema di udara yang dingin.
Tanpa ragu, para Outcast senior mengangkat pedang mereka tinggi-tinggi, ujungnya diarahkan lurus ke depan wajah. Mereka yang tidak memiliki pedang menggunakan senjata seadanya, meski hanya sebuah belati tumpul atau tombak yang telah rapuh. Para rekrutan baru, meskipun canggung dan sedikit ragu, mengikuti instruksi dengan mengangkat pedang jelek yang baru diberikan kepada mereka.
Udara di lapangan terasa semakin berat. Napas puluhan orang menyatu dalam irama yang seirama dengan detak jantung mereka. Oldman membuka suara, mengucapkan sumpah yang telah dipegang oleh para Outcast selama bertahun-tahun.
"Di dunia yang mengasingkan kami, kami berdiri di antara kegelapan."
Serentak, para Outcast mengulang dengan suara bulat. "Di dunia yang mengasingkan kami, kami berdiri di antara kegelapan."
"Kami tidak memiliki tanah, tidak memiliki nama, hanya memiliki jalan ini."
"Kami tidak memiliki tanah, tidak memiliki nama, hanya memiliki jalan ini."
"Kami adalah bayangan di balik tembok ini."
"Kami adalah bayangan di balik tembok ini."
"Kami adalah para penjaga yang dilupakan dunia."
"Kami adalah para penjaga yang dilupakan dunia."
"Kami adalah Outcast, dan kami akan bertahan, atau mati di jalan kami."
"Kami adalah Outcast, dan kami akan bertahan, atau mati di jalan kami!"
Pedang-pedang mereka diturunkan serentak, meninggalkan keheningan yang menggantung di udara. Bagi para rekrutan baru, momen ini menjadi penegasan bahwa kehidupan lama mereka telah berakhir. Sekarang, mereka bukan siapa-siapa, bukan bagian dari Middle Earth, bukan bagian dari sejarah dunia luar. Mereka hanya milik The Wall, dan mereka hanya hidup untuk bertahan, atau mati bersamanya.
Oldman menatap mereka sekali lagi sebelum mengucapkan kata-kata terakhirnya. "Mulai saat ini, kalian adalah Outcast. Dan ingat… kalian tidak memiliki tempat lain."
Beberapa Outcast senior maju, menepuk bahu para rekrutan baru dengan keras—sebuah tanda penerimaan, tetapi juga pengingat bahwa mereka kini berada di jalan tanpa kembali. Tak ada kata-kata penghiburan, tak ada pelukan selamat datang. Hanya sikap dingin dari mereka yang telah lebih dulu merasakan beratnya hidup sebagai Outcast.
Alcard menyarungkan kembali pedangnya, mengamati wajah-wajah baru yang masih dipenuhi ketakutan dan kebingungan. Ia mendekati Oldman dan berbisik, "Mereka butuh pelatihan segera."
Oldman mengangguk sebelum memberi perintah terakhirnya. "Bawa mereka ke arena latihan. Mereka harus belajar bertahan sebelum kematian datang lebih cepat dari yang mereka duga."
Upacara telah selesai, tetapi sumpah yang mereka ucapkan masih menggantung di udara. Seakan-akan The Wall sendiri menjadi saksi dari janji yang akan mengikat mereka semua—janji untuk bertahan hidup, atau mati dalam bayangan dunia yang telah melupakan mereka.
****
Pagi yang semula digelayuti hawa dingin mulai sedikit menghangat, namun suasana di pelataran latihan Markas Pusat The Wall tetap suram. Matahari pagi berusaha menembus awan kelabu, tetapi hanya meninggalkan cahaya pucat yang membentuk bayang-bayang panjang di tanah berbatu. Di bawah tembok raksasa yang mulai lapuk, debu beterbangan oleh angin pagi, bercampur dengan aroma logam dari senjata yang telah berkarat.
Di tengah pelataran, Alcard berdiri dengan tegap, matanya tajam mengawasi delapan rekrutan baru yang kini berbaris di hadapannya. Dua lainnya masih terbaring di barak, tubuh mereka belum bisa pulih dari efek pertama kali mengonsumsi Bloody Potion. Rasa panas yang membakar pembuluh darah, sensasi mual yang mengoyak lambung mereka, dan tekanan mental akibat perubahan mendadak dalam hidup mereka masih menghantui mereka.
Di sekitar arena latihan, beberapa Outcast senior duduk santai, mengasah pedang tumpul mereka atau sekadar memperhatikan dengan tatapan skeptis. Mereka sudah terlalu sering menyaksikan wajah-wajah baru datang, hanya untuk mati sebelum sempat menyelesaikan satu pun misi. Bagi mereka, tidak semua rekrutan layak bertahan. Bahkan, beberapa dari mereka terbunuh bukan karena musuh, melainkan karena ketakutan mereka sendiri.
Di kejauhan, Oldman tampak tenggelam dalam tumpukan laporan yang semakin menggunung. Ia tak memperhatikan latihan pagi itu, sepenuhnya fokus pada angka-angka dan laporan yang mengabarkan betapa rapuhnya pertahanan The Wall.
Sementara itu, Alcard mulai berbicara dengan suara yang datar namun tegas. "Tangan jangan kaku. Pedang bukan cangkul. Kalau kalian memegangnya seperti itu, kalian akan kehilangan lengan sebelum sempat menyerang," katanya, seraya mengayunkan pedangnya dengan kecepatan luar biasa.
Sring!
Tebasan cepatnya membelah udara, menciptakan desingan tajam yang membuat para rekrutan menelan ludah. Beberapa mencoba meniru gerakannya, tetapi postur mereka kaku dan tidak terlatih. Beberapa kali, pedang kayu mereka terlepas dari genggaman, jatuh ke tanah dengan bunyi yang menandakan kurangnya pengalaman mereka.
Seorang rekrutan berwajah tirus akhirnya menjatuhkan pedangnya secara tidak sengaja, nafasnya tersengal-sengal. Ia mengusap keringat di dahinya yang menetes deras. "Lebih baik aku mati saja… Aku tidak sanggup," gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri, tetapi cukup keras untuk didengar semua orang di sekitarnya.
Tiga lainnya mengangguk setuju, ekspresi mereka mulai menunjukkan kepasrahan. Efek Bloody Potion, tekanan mental, dan kesadaran bahwa mereka kini berada di tempat tanpa harapan perlahan-lahan meruntuhkan keberanian mereka.
Alcard menghampiri rekrutan yang baru saja berbicara, mengambil pedang yang tergeletak di tanah, lalu menatapnya dengan sorot mata dingin bercampur pemahaman. Ia tidak berteriak, tidak menunjukkan amarah, hanya keheningan tajam yang lebih menekan dibandingkan celaan.
"Kau pikir mati akan menyelesaikan segalanya?" tanyanya dengan nada tajam.
Rekrutan itu menunduk, tidak berani menatapnya langsung. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, tetapi tubuhnya tetap gemetar.
Alcard menyerahkan kembali pedang itu kepadanya. "Dulu aku pun berpikir The Wall adalah neraka," lanjutnya, suaranya lebih rendah namun tetap berisi. "Tapi di sini, kau bisa menemukan alasan untuk bertahan. Entah itu dendammu, saudara Outcast-mu, atau sekadar keinginan bodoh untuk tetap hidup."
Salah satu rekrutan lainnya, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya angkat suara dengan ragu. "Tapi… alasan apa yang bisa kami temukan di sini?"
Alcard menatapnya sejenak sebelum menjawab. "Mungkin akan berbeda bagi setiap orang. Jika kalian masih memiliki keluarga, kalian bisa menemui mereka kembali jika mendapat misi yang mengarah ke tempat asal kalian. Jika kalian memiliki musuh yang menjebak kalian hingga masuk ke The Wall, kumpulkan bukti, dan Oldman mungkin akan memberimu izin untuk membunuh mereka. Tapi satu hal yang pasti…" ia berhenti sejenak, memastikan semua orang mendengarkan dengan baik. "Mati sia-sia di tempat ini tak akan membawamu ke mana-mana."
Para rekrutan yang tadinya hampir menyerah mulai berpikir. Beberapa dari mereka perlahan memahami bahwa meski tempat ini tidak menawarkan masa depan yang cerah, mereka masih memiliki pilihan untuk menentukan bagaimana mereka akan bertahan.
Alcard berbalik, menatap dinding raksasa The Wall yang menjulang tinggi di belakang mereka. "Di balik tembok ini," katanya, suaranya nyaris berbisik namun terdengar jelas, "ada kegelapan yang lebih besar dari apa yang kalian bayangkan. Monster mutasi seperti: orge, direwolf, dan makhluk lain yang hanya kalian lihat dalam mimpi buruk. Jika kalian tidak belajar bertarung sekarang, kalian tidak akan bertahan."
Salah satu rekrutan, dengan wajah yang masih dipenuhi ketakutan, mencoba mengangkat suara, meskipun terdengar goyah. "Tapi bukankah… bukankah itu tugas tiga kerajaan besar? Bukankah mereka yang seharusnya menjaga Middle Earth?"
Alcard mendengus kecil, nada suaranya dipenuhi sinisme yang tak bisa disembunyikan. "Teorinya memang seperti itu," jawabnya, "tapi kenyataannya berbeda. Mereka lebih suka menyerahkan tanggung jawab itu kepada kita… para buangan. Mereka tinggal di istana yang aman, sementara kita mati di sini. Itulah sebabnya kita ada."
Para rekrutan terdiam. Meskipun ketakutan masih terlihat jelas di wajah mereka, ada sesuatu yang berubah dalam mata mereka. Mereka mulai memahami kenyataan pahit yang selama ini hanya mereka dengar sebagai rumor—mereka bukan hanya orang yang dihukum, tetapi mereka juga perisai yang digunakan oleh dunia luar untuk menghindari tanggung jawab.
Alcard kembali menatap mereka, mengamati bagaimana ekspresi mereka mulai berubah. "Belajarlah bertarung, bertahan hidup, dan pahami kode etik kita. Hanya dengan itu kalian mungkin akan bertahan cukup lama untuk memahami mengapa The Wall harus tetap berdiri."
Menjelang siang, latihan dasar mereka selesai. Otot-otot yang sebelumnya lemah kini mulai terbiasa dengan beban pedang, langkah-langkah mereka lebih teratur, dan meskipun mereka masih jauh dari siap, ada kemajuan yang terlihat.
Ketika mereka berdiri di tengah lapangan untuk mendengarkan instruksi terakhir, Alcard menatap mereka satu per satu. "Ini baru permulaan," katanya dengan tegas. "Monster di selatan tidak akan memberi kalian waktu untuk belajar seperti ini. Bersyukurlah kalian masih hidup untuk mencoba."
Para rekrutan mengangguk. Meskipun wajah mereka masih diliputi kelelahan, ada tekad baru yang mulai tumbuh. Mereka belum sepenuhnya menerima nasib mereka, tetapi setidaknya mereka mulai memahami bahwa bertahan hidup adalah satu-satunya jalan yang mereka miliki.
Saat mereka bubar menuju barak untuk makan siang, Alcard tetap berdiri di sana, matanya kembali menatap tembok raksasa yang sudah mulai lapuk. Angin dingin berembus, meniup rambutnya, seolah berusaha mengingatkannya bahwa The Wall hanyalah benteng yang lemah tanpa orang-orang yang cukup kuat untuk menjaganya.
"Semua ini baru permulaan," gumamnya, sebelum melangkah ke arah bayangan tembok, membayangkan betapa mudahnya pertahanan ini runtuh jika mereka yang berdiri di atasnya tak cukup kuat untuk bertahan.
****
Sore yang semakin larut membawa hawa dingin ke dalam ruangan sempit yang dihuni oleh Oldman. Cahaya jingga dari matahari yang merambat turun menembus jendela kecil di dinding kayu, menciptakan bayangan panjang yang bergerak perlahan seiring dengan waktu. Di dalam, meja kayu tua yang dipenuhi gulungan peta usang, laporan-laporan dengan tinta memudar, serta pena bulu yang mulai rapuh menambah kesan betapa beratnya beban yang dipikul penghuni ruangan ini. Aroma minyak lampu yang sudah menyala bercampur dengan debu tua, menguatkan kesan bahwa tempat ini telah menyaksikan terlalu banyak diskusi yang berakhir dengan keputusan yang mengubah hidup banyak orang.
Alcard berdiri di sisi ruangan, tubuhnya masih berbalut armor ringan yang berdebu akibat perjalanan panjang. Pedangnya tetap tersarung di punggungnya, meskipun tangannya tetap dekat dengan gagang senjata—kebiasaannya setelah terlalu lama hidup di medan perang. Sorot matanya tetap waspada, memantau situasi di dalam ruangan dengan penuh kehati-hatian. Di sekitarnya, tiga Outcast senior lainnya telah lebih dulu berkumpul; Boreas, pria bertubuh besar dengan kumis lebat yang menandakan usianya yang matang dalam pertempuran, Edda, satu-satunya perempuan di ruangan dengan tatapan tajam yang menyiratkan ketidaksabaran, dan Thornek, yang paling pendiam tetapi memiliki reputasi sebagai pemburu yang tidak pernah gagal melacak targetnya.
Oldman duduk di kursinya yang berdecit ketika ia menyandarkan tubuhnya ke belakang, menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara. Suaranya berat, menggema di ruangan yang sempit namun penuh ketegangan. "Aku memanggil kalian ke sini karena ada permintaan resmi dari Edenvila," katanya, menunjuk gulungan peta terbuka di atas meja. Tanda merah kecil melingkari sebuah lokasi di utara, dekat dengan pegunungan yang tertutup salju. "Mereka sedang merencanakan ekspedisi ke reruntuhan kuno yang baru ditemukan di wilayah mereka. Dan mereka membutuhkan dua Outcast untuk menjadi pengawal."
Ruangan langsung diliputi kesunyian. Hanya suara gesekan jubah dan angin yang menyelinap dari celah pintu yang terdengar. Tidak ada yang berbicara, tetapi semua jelas memikirkan hal yang sama: ekspedisi ke reruntuhan kuno jarang berakhir dengan baik.
Oldman melanjutkan, kali ini dengan nada lebih serius. "Edenvila, seperti yang kalian semua tahu, adalah salah satu dari tiga kerajaan manusia di utara. Kerajaan terkuat dari ketiganya. Wilayah mereka strategis, kaya akan sumber daya, dan memiliki pasukan yang cukup untuk melindungi diri mereka sendiri. Tapi, meskipun begitu, mereka lebih memilih menyewa kita untuk ekspedisi ini."
Boreas, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. Suaranya dalam dan berat seperti suara batu yang dihantam palu besi. "Pegunungan utara? Perjalanan ke sana saja sudah bisa membunuh seseorang. Jalur es berbahaya, dan reruntuhan yang baru ditemukan? Itu hanya berarti satu hal: mereka tidak tahu apa yang mereka hadapi." Ia menyipitkan matanya, jelas tak suka dengan kemungkinan yang akan terjadi.
Edda menyilangkan tangannya, ekspresinya menunjukkan rasa tidak percaya. "Aku sudah cukup sering berurusan dengan para bangsawan Edenvila. Mereka selalu menganggap kita lebih rendah dari prajurit mereka sendiri, meskipun mereka tahu bahwa kita yang akan mempertaruhkan nyawa." Ia mendengus kecil. "Kalau bukan karena uang, aku tidak akan mau berurusan dengan mereka."
Oldman hanya mengangguk, memahami ketidakpuasan mereka. Namun, ia tidak memberi ruang bagi penolakan tanpa pertimbangan. Ia lalu menoleh ke arah Alcard, menatapnya dengan mata yang telah dipenuhi kelelahan dari tahun-tahun panjang mempertahankan The Wall. "Alcard, aku memanggilmu ke sini karena kau salah satu yang paling bisa diandalkan. Tapi kau baru saja pulang dari misi. Aku ingin tahu, apakah kau bersedia mengambil tugas ini?"
Alcard tidak langsung menjawab. Matanya turun ke peta di atas meja, memeriksa lokasi yang ditandai. Ia tahu betapa berbahayanya perjalanan seperti ini. Dan tubuhnya belum sepenuhnya pulih setelah pertarungan dengan Cyclop dan perjalanan panjang kembali ke markas pusat. Setelah beberapa saat berpikir, ia akhirnya menghela napas dan berkata dengan nada tegas, "Aku belum pulih sepenuhnya, Oldman. Luka-luka dari misi sebelumnya masih terasa, dan tenagaku masih terkuras. Aku meminta izin untuk menolak kali ini."
Oldman tidak memaksa. Ia hanya mengangguk kecil, menerima keputusan itu dengan pemahaman. "Baiklah. Kau sudah cukup banyak melakukan tugas berat. Kau boleh istirahat."
Ia kemudian mengalihkan perhatiannya kepada tiga Outcast lainnya. "Bagaimana dengan kalian? Boreas? Edda? Thornek? Siapa yang bersedia?" Sorot matanya berpindah-pindah dari satu wajah ke wajah lainnya, menunggu jawaban.
Boreas dan Edda saling bertukar pandang. Mereka sudah cukup lama bekerja bersama dan tampaknya memahami satu sama lain dengan baik. Tanpa banyak diskusi, mereka mengangguk bersamaan. "Kami akan mengambil misi ini," kata Boreas, suaranya mantap. "Kami bisa berangkat berdua."
Oldman tidak langsung menjawab. Ia mengambil selembar surat dari dalam map tua di meja, lalu menyerahkannya kepada mereka. "Baik. Ini surat tugas kalian. Kalian bisa mengambil logistik dari markas timur. Elf baru saja mengirimkan suplai baru—gunakan itu untuk perjalanan kalian. Berangkatlah secepat mungkin. Kalian harus tiba di perbatasan Edenvila sebelum ekspedisi dimulai, yaitu dalam satu bulan."
Ia menunjuk titik di peta dengan jarinya, menunjukkan lokasi persis dari reruntuhan. "Jalur ini tidak ramah. Siapkan diri kalian. Dan ingat, ekspedisi ini bukan hanya soal bayaran. Edenvila ingin kita gagal. Jangan berikan mereka alasan untuk meremehkan kita."
Boreas mengambil surat tugas itu dan menyimpannya dengan rapi, sementara Edda menatap peta dengan tajam. "Kami mengerti," katanya pendek, sebelum melipat tangannya di dada.
Oldman menatap mereka sekali lagi, tatapannya lebih dalam kali ini. "Ingat, ini bisa menjadi peluang untuk kita. Jagalah reputasi kita. Tunjukkan bahwa Outcast tetap bisa diandalkan, bahkan ketika dunia membuang kita."
Setelah pertemuan dibubarkan, Alcard tetap diam di tempatnya. Ia memperhatikan Boreas dan Edda yang melangkah keluar dengan mantap, sementara Thornek menyusul mereka tanpa banyak bicara. Oldman kembali duduk di kursinya, meletakkan gulungan peta dengan gerakan lambat, seolah kelelahan yang ia tahan sejak tadi akhirnya menyusulnya.
Alcard menatap peta itu sekali lagi sebelum berbicara pelan, "Semoga mereka tak perlu menyesali tugas ini."
Oldman tak menoleh, tetapi suaranya terdengar lebih berat dari sebelumnya. "Di The Wall, semua tugas adalah perjudian."
Ia menggulung peta, matanya tetap kosong, pikirannya tenggelam dalam pertimbangan yang lebih dalam. "Reruntuhan itu baru ditemukan. Dan kabarnya, tempat itu butuh Outcast bukan hanya sebagai pengawal… tetapi mungkin sebagai tumbal untuk sesuatu yang lebih besar."
****
Langit senja mulai memudar menjadi kelam saat keempat Outcast itu berdiri di balkon batu markas pusat The Wall. Dari ketinggian, mereka memandangi lantai bawah tempat beberapa Outcast berlalu-lalang, menyelesaikan tugas mereka atau sekadar beristirahat setelah seharian bertahan hidup di tempat yang nyaris tak memberi ruang untuk kelemahan.
Alcard akhirnya memecah keheningan, menatap Boreas dengan alis sedikit terangkat. "Kalau naga utara benar-benar ada… Bagaimana menurutmu, Boreas?" Nada suaranya datar, tetapi ada ketertarikan samar yang sulit disembunyikan.
Boreas, yang berdiri dengan postur tegapnya, terkekeh pendek meskipun ada sedikit keraguan dalam matanya. "Naga utara? Hah, hanya mitos untuk membuat manusia tidur lebih nyenyak. Tapi…" Ia mengusap dagunya sejenak, seolah menggali ingatan lama. "Aku pernah mendengar cerita aneh. Dulu, sebelum Kekaisaran Hamongrad berdiri, ada sebuah kerajaan kuno di utara yang menyembah seekor naga putih raksasa. Mereka percaya bahwa naga itu bukan hanya pelindung mereka, tetapi juga penguasa sejati atas wilayah beku di utara."
Edda, yang berjalan di sisi kanan dengan santai, menimpali dengan nada setengah penasaran, setengah skeptis. "Aku juga mendengar sesuatu yang serupa. Ada yang bilang pernah melihat bekas cakar raksasa di lembah salju. Penduduk setempat menyebutnya 'raksasa gunung'. Entah itu naga, atau hanya imajinasi mereka akibat terlalu lama hidup dalam dingin."
Alcard mengangguk perlahan, tatapannya jatuh ke lantai batu di bawah kaki mereka. "Kalau naga utara memang ada, kita berbicara tentang makhluk yang kekuatannya jauh melampaui monster selatan. Satu hembusan napasnya, entah itu api atau es, bisa menghancurkan setengah wilayah dalam sekejap." Suaranya terdengar lebih dalam, seakan sudah bisa membayangkan skenario terburuk.
Thornek, yang sejauh ini lebih suka mendengar, akhirnya bergumam dengan nada datar tanpa ekspresi. "Atau semua itu hanya bohong. Bangsawan Edenvila suka menciptakan cerita besar untuk membuat mereka tampak lebih unggul dari yang lain."
Edda mengangkat bahu ringan, bibirnya melengkung kecil dalam senyum sinis. "Bohong atau tidak, kita tetap dibayar. Kalau pun naga itu benar-benar ada, kita hanya perlu memastikan kita tidak cukup bodoh untuk bertarung dengannya. Tugas kita cuma melindungi para bangsawan tolol yang ingin melihatnya."
Alcard mendengar kata-kata itu, tetapi tidak langsung menanggapinya. Ia malah menatap Boreas dan Edda dengan sorot mata lebih tajam. "Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Edenvila bukan kerajaan lemah. Mereka memiliki pasukan yang cukup untuk mengurus monster-monster di wilayah mereka sendiri. Kalau mereka sampai meminta Outcast untuk ekspedisi ini, maka ada dua kemungkinan: entah mereka menyembunyikan sesuatu, atau… ini adalah jebakan."
Boreas mengerutkan dahi, ekspresinya berubah lebih serius. "Jebakan?" tanyanya, suaranya lebih rendah dari sebelumnya.
Alcard mengangguk, menekan suaranya agar tidak terdengar oleh Outcast lain di bawah mereka. "Jika mereka menjadikan kalian sebagai tim pembuka jalan, harapan hidup kalian akan sangat tipis. Ini bisa jadi operasi bunuh diri terselubung. Aku menyarankan kalian membawa lebih banyak Bloody Potion. Jangan sekali pun menurunkan kewaspadaan, dan jangan terlalu percaya pada siapa pun di ekspedisi itu."
Edda menyipitkan matanya, kini lebih waspada dari sebelumnya. "Kalau begitu, kita harus siap menghadapi yang terburuk."
Thornek, yang sejauh ini hanya mengamati, tiba-tiba angkat bicara. Suaranya pelan, tetapi membawa bobot yang tak bisa diabaikan. "Kalau misi ini berasal dari Perdana Menteri Edenvila, maka kalian berdua harus lebih waspada." Ia menatap mereka berdua, matanya penuh perhitungan. "Orang itu… terkenal licik. Tidak ada satu pun kebijakannya yang tidak menguntungkan dirinya sendiri. Jika ini rencananya, bisa jadi kalian hanya pion dalam sesuatu yang lebih besar. Jika situasinya berubah menjadi buruk, jangan ragu untuk mundur."
Boreas menyipitkan matanya. "Jadi kau pikir Perdana Menteri Edenvila yang ada di balik ini?"
Thornek mengangguk pelan. "Aku tidak tahu pasti, tetapi jika benar, maka ini lebih berbahaya dari yang kita duga. Edenvila memang kerajaan kuat, tetapi permainan politik mereka lebih mematikan daripada monster mana pun."
Keheningan kembali menyelimuti mereka, masing-masing tenggelam dalam pikiran tentang kemungkinan buruk yang menanti di utara. Akhirnya, Boreas menepuk bahu Alcard dengan sedikit senyuman di wajahnya, meskipun matanya tetap serius. "Markas ini aman di tanganmu, Alcard. Kali ini, kau boleh bersantai."
Alcard hanya menyeringai kecil, nada suaranya mengandung sarkasme. "Jangan terlalu berharap. Ini The Wall. Selalu ada sesuatu yang menghancurkan rencana santai."
Thornek mengangguk singkat, matanya menatap cakrawala yang mulai berubah menjadi kelam. "The Wall tak pernah memberi waktu istirahat bagi siapa pun."
Tanpa kata-kata lebih lanjut, mereka bertiga berpisah, masing-masing bersiap menghadapi perjalanan panjang yang sudah menunggu. Langkah mereka mantap, tetapi beban yang mereka bawa terasa semakin berat. Di udara yang semakin dingin, kekhawatiran tentang naga putih tetap menggantung di pikiran mereka. Mitos atau kenyataan, satu hal yang pasti: tidak ada satu pun permintaan bantuan dari Edenvila yang bersifat remeh. Dan sebagai Outcast, mereka harus siap menghadapi apa pun, baik itu makhluk legenda yang mengerikan, atau kebohongan manusia yang jauh lebih mematikan.
****