Senja perlahan menelan Markas Pusat The Wall dengan cengkeraman kegelapannya. Matahari yang mulai tenggelam hanya meninggalkan semburat merah di cakrawala, menciptakan bayangan panjang di antara bangunan-bangunan tua dan dinding batu yang telah lama menjadi benteng terakhir Middle Earth. Saat suasana masih dipenuhi keheningan yang dingin, lonceng di puncak menara tua tiba-tiba berdentang nyaring, memecah udara dengan gema panjang yang menusuk.
Bunyi lonceng itu bukan sekadar penanda waktu—itu adalah panggilan perang.
Dalam hitungan detik, seluruh Outcast yang sebelumnya tengah beristirahat atau menjalani rutinitas mereka bergegas ke halaman utama. Mereka yang sedang makan melemparkan roti keringnya, yang sedang mengasah senjata langsung meraih pedang mereka. Wajah-wajah lelah kini berubah serius, mata mereka memancarkan kewaspadaan yang terlatih.
Dari atas The Wall, seorang penjaga berteriak dengan suara parau yang menggema di udara, "Enam Orge mutasi dan puluhan Goblin mutasi! Mereka sudah kurang dari dua ratus meter dari gerbang!"
Tegangan di udara semakin meningkat.
Alcard, yang saat itu sedang berjalan di lorong, segera berbalik arah, mempercepat langkahnya menuju halaman utama. Sesampainya di sana, ia melihat Oldman berdiri di depan kabin kantornya, matanya tajam meskipun tubuhnya tampak ringkih. Dengan suara berat yang telah bertahun-tahun terbiasa mengomandoi perang, Oldman mengangkat tangannya dan berseru, "Semua bersiap di depan gerbang! Buka gerbang perlahan, jangan biarkan mereka masuk terlalu dalam! Kita akan menghancurkan mereka di bawah The Wall!"
Para Outcast langsung mengangguk, memahami strategi yang dimaksud. Membuka gerbang sedikit akan memancing makhluk-makhluk itu masuk dalam jumlah kecil, membuat mereka terpecah dan lebih mudah dikendalikan. Dengan cara ini, para Outcast bisa mengendalikan medan tempur tanpa harus bertarung dalam kepungan.
Namun, di antara mereka, para rekrutan baru terlihat pucat. Beberapa dari mereka menggenggam pedang dengan tangan gemetar, mencoba menegakkan punggung agar terlihat lebih siap dari yang sebenarnya. Alcard melirik mereka sejenak—wajar, pikirnya. Mereka belum pernah benar-benar merasakan pertarungan hidup dan mati.
Gerbang kayu berlapis besi mulai berderit, terbuka perlahan dengan suara gesekan kasar. Dari luar, cahaya senja yang semakin redup menyoroti sosok-sosok besar yang mendekat. Enam Orge mutasi dengan tubuh menggembung dan daging yang tampak membusuk, berjalan dengan langkah berat. Puluhan Goblin mutasi yang lebih kecil melompat-lompat di sekitar mereka, mata mereka yang berwarna kuning menyala memancarkan kelaparan yang buas.
Makhluk-makhluk itu bergegas, mendekati The Wall seperti sekawanan serigala yang mencium darah.
Barisan Outcast segera terbentuk. Para veteran berdiri di garis depan dengan senjata terhunus, sementara para pemula setengah langkah di belakang mereka, memegang pedang dengan ragu. Alcard mengambil posisi di sisi kiri, matanya merah menyala, siap menghadapi serangan.
"Gunakan bloody otion! Berisap untuk tubrukkan!"
Semua outcast langsung mengikuti perintah alcard, dan bersiap menghadapi serangan lawan. Begitu Orge pertama menerobos masuk, raungan perang memenuhi udara.
Benturan logam dengan daging, suara pedang yang menebas kulit tebal, dan jeritan makhluk buas bercampur dalam kekacauan. "Serang kaki dan leher mereka! Jangan membuang tenaga untuk tebasan lain!" teriak seorang Outcast senior di barisan tengah, memimpin para pemula yang masih berusaha menyesuaikan diri.
Namun, Orge mutasi bukanlah makhluk yang mudah dijatuhkan. Dengan tubuh raksasa dan otot yang menebal akibat mutasi, mereka mengayunkan tangan besar mereka seperti gada hidup, menghantam siapa pun yang berada dalam jangkauan. Satu ayunan Orge berhasil melontarkan seorang Outcast muda, tubuhnya terpelanting dan menghantam tanah dengan suara keras.
Sementara itu, Goblin mutasi yang lebih kecil mulai menyelinap di antara kaki para Orge, menggunakan kecepatan mereka untuk menerobos pertahanan. Beberapa di antaranya melompat ke tubuh para Outcast, mencakar dan menggigit tanpa ampun. Teriakan kesakitan terdengar saat dua pemula jatuh, tubuh mereka bersimbah darah akibat cakaran makhluk-makhluk buas itu.
Alcard melihat momen itu, dan dalam sekejap, ia bergerak cepat. Ia melompat ke atas punggung salah satu Orge yang baru saja tersandung, lalu dengan satu gerakan cepat, menancapkan pedangnya tepat di tulang belakang makhluk itu. Geraman panjang terdengar sebelum Orge itu ambruk ke tanah, menciptakan debu tebal yang berhamburan.
"Fokus serang satu target! Jangan berpencar!" serunya kepada para pemula di dekatnya.
Instruksinya mulai membuat perbedaan. Para Outcast yang sebelumnya berperang dengan panik mulai mengubah pendekatan mereka. Mereka bekerja sama, menyerang dengan lebih terkoordinasi, sedikit demi sedikit mulai memukul mundur gerombolan monster.
Di atas The Wall, para pemanah Outcast terus menembakkan anak panah ke arah Goblin yang mencoba memanjat dinding, mencegah mereka menyerang dari sisi lain. Sementara itu, Oldman berdiri di belakang, memantau jalannya pertempuran dengan pandangan tajam. "Pemanah, fokus ke kiri! Jangan biarkan mereka menekan garis pertahanan kita!" perintahnya, memastikan koordinasi tetap terjaga.
Tanah bergetar setiap kali Orge mutasi yang tersisa menghantam tanah dengan kaki mereka. Darah hijau pekat menggenang di tanah, bercampur dengan debu dan keringat para Outcast. Satu demi satu, Goblin mulai tewas, tetapi jumlah mereka masih terlalu banyak.
Di tengah hiruk-pikuk itu, Alcard melihat dua mayat pemula yang tergeletak tak bernyawa di dekatnya. Ia mengeratkan genggaman pada pedangnya, menepis rasa miris yang mulai merayap di hatinya. Tidak ada waktu untuk belas kasihan atau kesedihan. Ini adalah The Wall. Mereka yang lemah akan mati, dan yang bertahan harus terus berjuang.
Dengan nafas berat dan tekad yang semakin mengeras, Alcard mengangkat pedangnya sekali lagi.
Di bawah langit yang semakin gelap, di antara darah, debu, dan suara teriakan perang, para Outcast kembali menjalankan peran yang diberikan dunia kepada mereka: menjadi garis pertahanan terakhir melawan kegelapan yang terus mendesak dari selatan.
****
Senja telah sepenuhnya tenggelam, menyisakan langit gelap yang hanya diterangi cahaya obor dan bulan samar di atas The Wall. Namun, pertempuran masih jauh dari usai. Di bawah cahaya temaram itu, medan perang masih dipenuhi raungan liar dan dentingan senjata yang beradu dengan daging serta tulang.
Enam Orge mutasi yang tersisa terus mengamuk, mengayunkan lengan raksasa mereka yang bersisik dan otot-otot yang tampak menggembung karena mutasi yang tak wajar. Para Outcast, meski lelah dan kehabisan tenaga, tetap berdiri teguh, menahan gempuran dengan segala yang mereka miliki.
Suara gemuruh langkah-langkah berat mengguncang tanah, disertai dengan jeritan mengerikan Goblin mutasi yang semakin liar. Pemanah di atas The Wall melepaskan anak panah dengan kecepatan yang nyaris tanpa henti, sementara para prajurit di garis depan bertarung mati-matian untuk menebas, menusuk, dan menghabisi lawan mereka.
Di tengah hiruk-pikuk itu, Alcard bergerak cepat di antara kekacauan dan mayat yang berserakan. Dengan satu tebasan, ia membidik lutut salah satu Orge yang sedang mengayunkan gada raksasanya. Tebasan itu cukup dalam untuk memutuskan urat besar di kaki makhluk itu, membuatnya tersungkur dengan raungan marah. Sebelum Orge itu sempat bangkit kembali, tombak panjang yang dilemparkan oleh seorang Outcast senior menembus dada raksasa itu, membuatnya meronta-ronta dalam penderitaan sebelum akhirnya ambruk ke tanah dengan debuman keras.
"Fokus pada satu target! Jangan ceroboh!" suara Alcard menggema di antara pertempuran, memberikan instruksi kepada para pemula yang masih belum terbiasa menghadapi makhluk sebesar ini.
Di sisi lain, dua Orge mutasi melancarkan serangan serempak. Salah satu Outcast senior, seorang prajurit berpengalaman dengan perisai besar, maju ke depan untuk menahan hantaman gada kayu raksasa mereka. Benturan itu begitu kuat hingga perisainya retak, namun barisan belakang dengan cepat menembakkan panah ke kepala Orge yang menyerang. Beberapa panah berhasil menancap tepat di mata makhluk itu, membuatnya menggeram kesakitan sebelum akhirnya roboh.
Namun, perlawanan para Orge yang tersisa semakin beringas. Salah satu dari mereka, yang kehilangan senjatanya dalam pertempuran, meraih pecahan besar kayu dari senjatanya yang rusak, lalu melemparkannya dengan kekuatan dahsyat ke arah para pemanah di atas The Wall.
"Awas!" seseorang berteriak, namun terlambat.
Potongan kayu besar itu menghantam seorang pemanah yang berdiri di tepi The Wall. Tubuhnya terpental, jatuh dari ketinggian dan menghantam batu di bawahnya dengan suara keras, membuat beberapa Outcast di dekatnya tersentak panik.
Alcard melihat celah itu. Memanfaatkan kekacauan sesaat, ia berlari dan melompat, mengayunkan pedangnya dengan presisi ke sisi leher Orge yang baru saja melempar kayu. Tebasan itu cukup dalam untuk memotong sebagian besar otot dan pembuluh darah di lehernya. Orge itu terhuyung, jatuh terduduk, sebelum akhirnya terkapar dalam genangan darahnya sendiri.
Sementara itu, para Goblin mutasi yang tersisa mencoba melancarkan serangan kejutan dari belakang. Mereka bersembunyi di antara tubuh-tubuh yang telah jatuh, lalu menerkam dengan cakaran dan gigitan ketika Outcast lengah. Namun, pemanah yang tersisa di atas The Wall segera menyadari taktik itu.
"Tembak yang di belakang!" teriak salah satu pemimpin pemanah, Thornek.
Hujan panah segera menghantam para Goblin mutasi yang berusaha menyerang secara diam-diam. Beberapa berhasil menghindar, tetapi sebagian besar langsung roboh dengan anak panah menancap di tubuh mereka. Para Outcast yang berada di garis belakang tak menyia-nyiakan kesempatan itu—mereka segera menusukkan tombak dan pedang mereka untuk memastikan tidak ada satu pun makhluk yang bisa bangkit kembali.
Pada titik ini, para Orge mutasi yang tersisa tampak mulai kehilangan momentum. Tubuh-tubuh besar mereka penuh luka, darah mengalir dari setiap sisi. Gerakan mereka menjadi lebih lambat, dan para Outcast yang tersisa mulai mengelilingi mereka dengan lebih percaya diri. Serangan terkoordinasi dari beberapa sisi akhirnya membuat satu per satu dari mereka jatuh.
Dan ketika Orge terakhir ambruk dengan leher hampir putus akibat tebasan ganda dari dua Outcast senior, suasana medan perang mulai mereda.
Goblin mutasi yang masih hidup melihat kehancuran itu dan segera mundur. Dengan erangan liar, mereka berlari melintasi rerimbunan di luar gerbang, menghilang dalam kegelapan malam.
Medan di depan gerbang The Wall kini berubah menjadi kuburan massal. Tubuh Orge dan Goblin mutasi berserakan di antara mayat para Outcast yang gugur. Bau amis darah memenuhi udara, bercampur dengan aroma daging terbakar dari beberapa monster yang sebelumnya terkena ledakan minyak.
Mereka yang masih berdiri berusaha mengatur napas, tubuh mereka bersimbah darah dan keringat. Sebagian langsung bergerak untuk memeriksa rekan-rekan yang terluka atau memastikan bahwa setiap monster benar-benar mati. Alcard berdiri tegak, matanya menyapu medan perang. Pandangannya tertuju pada dua Outcast pemula yang telah terbunuh lebih awal. Tangan kanannya mengepal, rasa frustrasi merayap dalam dadanya.
Oldman, yang selama ini mengamati dari belakang, segera memberikan perintah dengan suara keras. "Cepat! Bawa yang terluka ke dalam barak! Jangan biarkan mereka berdarah lebih lama!" Nada suaranya tetap tegas, meskipun ada kesedihan samar yang menyelip di sana.
Beberapa Outcast mulai menarik tubuh-tubuh Goblin ke satu titik, bersiap membakarnya agar tak menarik perhatian monster lain. Sementara itu, Oldman menatap gerbang yang sedikit rusak dan tubuh-tubuh Outcast yang kini menjadi korban.
"Perbaiki gerbang sebelum malam sepenuhnya tiba," katanya dengan suara berat. "Kita tak tahu apa yang mungkin datang berikutnya."
Alcard mendekat, pedangnya masih berlumuran darah. "Oldman," katanya dengan nada tajam. "Monster mutasi semakin berani."
Oldman mengangguk pelan, wajahnya penuh pemikiran. "Ya… Untungnya, mutasi mereka belum mencapai tahap akhir. Kalau tidak, kita tak akan bisa menahannya dengan mudah."
Alcard menatapnya tajam. "Bagaimana para pemula bisa bertahan jika ini terus berlanjut? Mereka bahkan belum cukup kuat untuk menghadapi monster biasa, apalagi mutasi."
Oldman menarik napas panjang, matanya beralih ke The Wall yang menjulang tinggi di belakang mereka. "Mereka tidak dipilih untuk bertahan, Alcard. Kalau mereka mati, itu berarti mereka memang tak cukup kuat."
Keheningan menyelimuti mereka.
Keduanya tahu bahwa ini hanyalah awal dari ancaman yang lebih besar. Monster selatan semakin berkembang, semakin cerdas, dan semakin berani. Jika keadaan terus seperti ini, The Wall membutuhkan lebih dari sekadar darah dan tekad untuk tetap berdiri.
Langit di atas mereka semakin gelap, seolah ikut menjadi saksi bisu dari perang yang tak pernah benar-benar usai.
****
Pagi itu terasa lebih berat dari biasanya. Udara dingin masih mengendap di sela-sela barak kayu, bercampur dengan aroma samar darah yang tersisa dari pertempuran semalam. Meski matahari telah naik, langit di atas The Wall tetap tampak muram, seolah memahami betapa rapuhnya ketenangan ini.
Alcard berdiri di sudut halaman utama, matanya mengamati pemula yang berlalu dengan langkah ragu-ragu. Meski bahu mereka tampak lebih tegak dari sebelumnya, sorot mata mereka masih menyiratkan ketidakpastian. Semalam, mereka menyaksikan kematian untuk pertama kalinya—dan kini, mereka harus hidup dengan kenyataan bahwa itu bisa terjadi kapan saja.
Sambil melanjutkan menajamkan pedangnya, pikiran Alcard melayang jauh ke masa lalu. Ia pernah mendengar cerita tentang sosok yang hanya dibisikkan dalam gelap, nama yang jarang disebut dengan lantang di antara mereka yang tinggal di The Wall.
"Ragonar," gumamnya pelan, nyaris seperti angin yang melewati celah-celah batu di sekitarnya.
Dahulu, seorang Outcast tua yang kini telah tiada pernah memperingatkannya tentang keberadaan naga hitam itu. Suaranya selalu lirih, penuh kehati-hatian, seolah takut rumor itu akan berubah menjadi kenyataan jika terlalu sering diucapkan. Namun, dengan mutasi yang semakin sering terjadi di antara monster selatan, Alcard mulai bertanya-tanya—apakah ini semua benar-benar hanya mitos?
Pandangannya beralih ke gerbang utama yang masih dalam proses perbaikan. Jika naga hitam itu memang sumber dari semua mutasi ini, maka tidak ada lagi tembok yang cukup tinggi atau kuat untuk menahan arus kegelapan yang akan datang. The Wall bukan lagi benteng yang tak tergoyahkan—ia hanya menjadi peringatan terakhir sebelum kehancuran.
Dari arah barak, suara langkah berat terdengar. Thornek, seorang Outcast senior yang telah bertahun-tahun bertarung di The Wall, mendekatinya. Dahinya berkeringat, tanda bahwa ia baru saja selesai membantu perbaikan atau mungkin hanya berusaha menghangatkan tubuhnya di pagi yang dingin.
"Alcard," panggilnya, suaranya dalam dan berat. "Aku dengar kau bicara soal naga hitam kepada para pemula tadi."
Alcard mendongak, menatap Thornek dengan ekspresi datar sebelum mengangkat bahu. "Mereka harus tahu apa yang mungkin akan mereka hadapi di masa depan."
Thornek menghela napas, duduk di samping Alcard dengan gerakan santai tapi penuh kehati-hatian. "Kita semua sudah mendengar cerita itu sejak pertama kali datang ke The Wall. Tapi sampai sekarang, tak ada satu pun yang benar-benar melihat naga itu."
Alcard tetap diam, hanya memutar pedangnya perlahan di tangannya.
Thornek melanjutkan dengan nada lebih rendah, hampir berbisik. "Beberapa senior yang pergi jauh ke selatan bilang mereka pernah mendengar raungan aneh—bukan suara monster biasa. Bahkan aku sendiri... pernah mendengarnya."
Alcard menoleh, akhirnya memberikan Thornek perhatian penuh. "Kapan?" tanyanya singkat.
Thornek menyandarkan punggungnya ke dinding kayu, menatap langit yang masih dipenuhi awan kelabu. "Saat mencari Rotrofila Root di selatan. Kami tak jauh dari tebing yang menghadap jurang besar di perbatasan gurun. Malam itu, tidak ada angin, tidak ada suara binatang, hanya keheningan yang menekan... lalu, tiba-tiba, terdengar suara geraman yang begitu dalam, begitu besar, seolah datang dari dalam bumi sendiri."
Matanya menyipit, seperti mengingat kembali sensasi yang ia rasakan saat itu. "Aku tak pernah mendengar sesuatu yang seperti itu seumur hidupku. Tidak seperti raungan Orge atau pekikan monster lain. Suara itu... membuat seluruh tubuhku bergetar, meskipun aku tak bisa melihat apa pun. Kami bergegas kembali ke The Wall malam itu juga."
Alcard tidak terkejut mendengar cerita itu. Ia hanya menyelipkan pedangnya kembali ke sarungnya, lalu berkata dengan suara tenang namun penuh kepastian, "Kalau begitu, rumor itu tak bisa dianggap cerita kosong lagi. Tapi kita tak bisa membiarkan pemula mengetahuinya."
Thornek menatapnya heran. "Kenapa tidak?"
Alcard menghela napas pelan, tatapannya kembali ke gerbang yang hampir selesai diperbaiki. "Kalau mereka tahu makhluk seperti Ragonar benar-benar ada, mereka hanya punya dua pilihan—kabur, atau bunuh diri. Kita tahu betapa mengerikannya kekuatan makhluk superior seperti naga. Jika mereka kehilangan harapan sejak awal, maka mereka tidak akan bertahan di sini."
Thornek terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Kau benar. Bahkan sebagian dari kita pun akan memilih kabur jika tahu apa yang sebenarnya bersembunyi di selatan."
Keheningan menggantung di antara mereka. Hanya suara dentingan logam dari para Outcast lain yang sedang memperbaiki senjata dan armor mereka yang terdengar.
Alcard akhirnya memecah keheningan. "Tapi kau tahu," katanya, suaranya kembali dingin dan tegas. "Monster selatan semakin berkembang. Orge dan Goblin mutasi yang menyerang semalam jauh lebih kuat dari yang kita hadapi sebelumnya. Jika ini berlanjut, rumor itu bisa saja berubah menjadi kenyataan lebih cepat dari yang kita duga."
Thornek menggeram pelan, matanya menyapu halaman markas yang mulai sibuk dengan aktivitas. "Kalau begitu, kita harus bersiap. Tapi aku lebih khawatir soal para pemula. Jika serangan seperti tadi malam terus terjadi, mereka tidak akan bertahan lama."
"Itulah kenapa mereka harus belajar lebih cepat," jawab Alcard tanpa ragu. "Kita tak punya cukup waktu untuk melatih mereka dengan santai. The Wall semakin rapuh, dan kita semakin sedikit."
Thornek mengangguk. "Kau benar. Kita terlalu sedikit. Dan para Lord Middle Earth terlalu sibuk dengan perang mereka sendiri untuk peduli."
Alcard mendecakkan lidah dengan nada sarkastik. "Tentu saja. Mereka pikir kita bisa menahan selatan tanpa mereka. Mereka lebih suka sibuk dengan urusan kekuasaan mereka."
Hening kembali menyelimuti mereka. Thornek akhirnya bangkit, menepuk bahu Alcard dengan tangan beratnya. "Istirahatlah kalau bisa. Kita tak tahu kapan lonceng itu akan berbunyi lagi."
Alcard hanya mengangguk, matanya kembali tertuju ke gerbang yang sedang diperbaiki. Dalam hati, ia tahu bahwa persiapan saja mungkin tak cukup jika naga hitam itu benar-benar bangkit.
Jika Ragonar adalah sumber mutasi ini, maka The Wall hanyalah penghalang yang menunggu untuk dihancurkan.
Langit pagi yang cerah di atas mereka terasa seperti ironi yang pahit—menutupi bayangan ancaman yang terus mendekat dari selatan.
****
Di dalam sebuah ruangan sempit di Markas Pusat The Wall, suasana suram menyelimuti seiring cahaya lilin yang hampir padam bergetar pelan, menciptakan bayangan di dinding kayu yang mulai rapuh. Aroma kayu lapuk bercampur dengan sisa asap minyak terbakar mengisi udara, memberikan kesan ruangan ini lebih tua dari yang seharusnya. Meja kayu tua di tengah ruangan penuh dengan dokumen yang berantakan, gulungan peta yang sudah lusuh, dan beberapa botol kosong yang pernah berisi Bloody Potion.
Langkah kaki Alcard yang berat menggema di lantai, menandakan kelelahan yang masih menggantung di tubuhnya setelah semalaman berjaga pasca serangan monster mutasi. Ia masuk tanpa mengetuk, sudah terlalu akrab dengan ruangan ini untuk peduli pada sopan santun.
Oldman, yang duduk di balik meja kayu usangnya, mendongak perlahan. Wajahnya menampakkan keletihan yang sulit disembunyikan, garis-garis keriputnya semakin dalam setelah bertahun-tahun mengemban beban sebagai pemimpin para Outcast. Matanya yang tajam tetap bersinar, namun di baliknya tersembunyi kesadaran bahwa hari-hari keemasan mereka semakin pudar.
"Apa lagi kali ini, Alcard?" tanyanya, suaranya terdengar serak dan berat. Ia bersandar ke kursi yang berderit, tangannya mengusap dahi seakan berusaha mengusir lelah.
Alcard melangkah mendekat ke meja tanpa basa-basi, menatap langsung ke mata Oldman. "Stok Bloody Potion-ku hampir habis. Aku butuh persediaan baru."
Oldman menghela napas panjang. Tubuhnya yang renta sedikit bergerak saat ia meraih daftar persediaan yang tergeletak di sampingnya. "Tentu saja, stok habis lagi," gumamnya pelan. "Setiap kali ada serangan, kita terus menghabiskan potion tanpa ada cara yang cukup cepat untuk menggantinya."
Alcard menyilangkan tangan, matanya menyelidik Oldman. "Apa kita benar-benar kehabisan bahan, atau ada hal lain?"
Oldman mendengus kecil, melemparkan daftar itu ke meja dengan frustrasi. "Dua-duanya," jawabnya dengan nada pahit. "Folwestian Bloom dan Rotrofila Root dari selatan semakin sulit ditemukan. Bahkan kalau pun kita berhasil membawa pulang beberapa, jumlahnya tak cukup dibandingkan kebutuhan kita. Setiap kali ada misi pengambilan, kita selalu kehilangan orang."
Alcard terdiam sejenak sebelum menarik kursi dan duduk di depan meja, menyadari bahwa Oldman membutuhkan seseorang untuk diajak berbicara. "Jadi, kita hanya bertahan dengan apa yang ada, sementara serangan monster makin gila dan jumlah kita makin sedikit," katanya, suaranya datar namun penuh beban.
"Benar," Oldman menatapnya dengan sorot mata yang lebih tajam. "Dan jangan lupa, Dwarf baru-baru ini mengurangi suplai mereka. Plat besi yang mereka kirimkan bahkan tak cukup untuk memperbaiki armor kita, apalagi memperkuat gerbang yang nyaris roboh. Mereka bilang wilayah mereka sendiri mulai terancam."
Alcard menggeram pelan, nada sinis terdengar dalam suaranya. "Dwarf selalu sibuk dengan urusan mereka sendiri," katanya. "Bagaimana dengan Elf? Mereka punya sumber daya lebih banyak."
Oldman mendengus sinis. "Elf hanya mengirim bahan makanan seadanya. Mereka tak mau memberikan apa pun yang lebih dari itu. Alasan mereka? 'Kami menjaga wilayah kami sendiri.' Pada akhirnya, semua pihak hanya peduli pada kepentingan mereka sendiri."
Alcard menatap ke luar jendela kecil di ruangan itu. Dari sana, ia bisa melihat tembok raksasa The Wall yang menjulang tinggi, tapi jika diperhatikan lebih dekat, retakan mulai terlihat di beberapa tempat. Sinar matahari pagi yang menyapu permukaannya justru membuat kelemahan itu semakin jelas.
"Kita terus diberi janji kosong, sementara The Wall makin rapuh," katanya pelan. "Jika ini terus berlanjut, kita tidak akan bertahan."
Oldman menunduk sejenak, jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu dengan ritme lambat, sebelum akhirnya menghela napas berat. "Kita bertahan karena kita harus, bukan karena ada bantuan. The Wall berdiri bukan karena Middle Earth menginginkannya, tapi karena Outcast memilih untuk melindunginya. Dan dunia luar tidak peduli apa yang terjadi di sini."
Hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar bunyi kayu tua yang berderit pelan saat Oldman kembali menyandarkan tubuhnya ke kursinya.
Alcard akhirnya berbicara lagi. "Berikan saja stok potion yang tersisa. Aku akan bertahan dengan itu."
Oldman menatapnya beberapa detik sebelum berbalik ke arah lemari kayu kecil di belakangnya. Ia menarik pintunya dengan sedikit tenaga, mengeluarkan tiga botol kaca kecil berisi cairan merah pekat. "Ini yang terakhir," katanya saat menyerahkan botol-botol itu ke tangan Alcard. "Gunakan dengan bijak. Kita tidak tahu kapan akan mendapatkan pasokan lagi."
Alcard menerima botol-botol itu tanpa banyak bicara, memasukkannya ke dalam kantong kulit di pinggangnya. Saat ia berdiri dan berbalik hendak pergi, Oldman berbicara lagi dengan suara lebih pelan, namun penuh makna.
"Besok, aku akan membentuk tim untuk mencari Folwestian Bloom dan Rotrofila Root di selatan."
Alcard berhenti sejenak, lalu menoleh dengan senyum tipis yang lebih mirip seringai. "Semoga mereka kembali dalam keadaan hidup."
Oldman tersenyum kecil, meski matanya tetap menunjukkan kelelahan. "Kita tidak punya pilihan lain. Kita harus bertahan."
Tanpa kata lagi, Alcard membuka pintu dan melangkah keluar. Pintu kayu itu tertutup pelan di belakangnya, menyisakan Oldman sendirian di balik meja, kembali tenggelam dalam tumpukan dokumen dan pikirannya yang tak pernah berhenti.
Di luar, suara dentingan logam, suara langkah berat para Outcast yang berlatih, serta bunyi kayu dipahat untuk memperbaiki gerbang terdengar memenuhi udara pagi yang masih dingin. The Wall masih berdiri, untuk saat ini. Namun, di balik ketegaran itu, semua orang tahu—waktu terus berjalan, dan musuh mereka semakin kuat.
****
Senja mulai beralih menjadi malam, menyelimuti outpost kecil di sisi timur The Wall dengan hawa dingin yang semakin menusuk. Langit yang sebelumnya berwarna jingga perlahan menggelap, sementara kabut tipis mulai merayap dari tanah, menyelimuti reruntuhan dan bayang-bayang yang tersembunyi di luar gerbang. Sisa darah dari pertempuran sebelumnya telah dibersihkan, mayat-mayat musuh sudah diseret keluar untuk dibakar jauh dari perbatasan. Namun, ketegangan masih terasa di udara, membebani para Outcast yang berada di dalam tembok ini.
Lebih dari sepuluh hari telah berlalu sejak Alcard ditempatkan di outpost terpencil di sisi timur The Wall, salah satu wilayah yang masih berada di bawah otoritas Markas Pusat. The Wall sendiri membentang begitu luas, hingga Oldman harus membagi tiga markas besar untuk mengoordinasikan pertahanan. Markas Pusat, yang juga menjadi pusat komando utama para Outcast, mengendalikan bagian terpanjang dari tembok ini dan menanggung beban terbesar dalam menjaga Middle Earth dari ancaman selatan. Markas Timur dan Markas Barat juga memiliki peran vital, dengan masing-masing dipimpin oleh seorang komandan yang memiliki kemungkinan besar untuk menjadi Oldman berikutnya.
Karena luasnya The Wall, tidak semua Outcast di tiga markas besar saling mengenal. Banyak dari mereka hanya mengetahui nama satu sama lain melalui misi gabungan atau rumor yang beredar dari mulut ke mulut. Terkadang, seorang Outcast bisa bertahun-tahun bertugas tanpa pernah bertemu dengan rekan mereka dari markas lain.
Di antara ketiga markas tersebut, hanya Markas Pusat yang memiliki akses terhadap misi pencarian Folwestian Bloom dan Rotrofila Root, dua bahan utama dalam pembuatan Bloody Potion—satu-satunya ramuan yang memungkinkan Outcast untuk bertahan menghadapi monster yang kekuatannya jauh melampaui batas manusia biasa. Letak Markas Pusat yang lebih dekat dengan jalur hutan selatan memberinya keuntungan dalam mengakses sumber daya tersebut, tetapi juga menjadikannya yang paling rentan terhadap serangan mendadak. Bahkan dengan pengawalan ketat, setiap ekspedisi untuk mengumpulkan bahan-bahan ini hampir selalu berujung pada korban jiwa. Tak jarang, hanya setengah dari tim yang dikirimkan berhasil kembali dalam keadaan hidup.
Di atas menara pengawas yang sebagian runtuh, Alcard berdiri tegak, memandang ke kejauhan dengan mata tajam. Dari tempatnya, ia bisa melihat kabut malam semakin tebal, menyelimuti dataran luas di luar The Wall. Suasana terasa begitu sunyi, tetapi Alcard tahu betul bahwa di balik kabut itu, sesuatu bisa saja mengintai. Monster, pengintai dari faksi lain, atau bahkan sekelompok bandit yang cukup nekat untuk mendekati perbatasan.
Di bawahnya, para Outcast mulai kembali ke rutinitas mereka. Beberapa berjaga di gerbang, sementara yang lain duduk bersandar di dekat api unggun, mencoba mengusir dingin yang menusuk hingga ke tulang. Namun, langkah mereka terasa lebih berat dari biasanya, masih terbebani oleh insiden yang baru saja terjadi.
Langkah kaki ringan terdengar di belakangnya. Seorang Outcast muda naik ke menara dengan membawa kantong air kecil. Wajahnya masih tampak tegang, jelas belum terbiasa dengan atmosfer di The Wall. Ia mendekati Alcard dengan hati-hati, ragu-ragu sebelum akhirnya berbicara.
"Tuan Alcard," suaranya terdengar pelan, hampir tertelan oleh suara angin malam. "Apakah benar… semua orang di luar sini berbahaya bagi kita?"
Alcard tetap diam untuk beberapa saat, tatapannya masih tertuju ke horizon yang gelap. Seolah sedang mencari sesuatu di antara bayangan yang menyelimuti dataran luas di depan mereka. Akhirnya, suaranya terdengar, datar namun penuh kepastian.
"Di dunia ini, kepercayaan adalah barang mahal. Apalagi di The Wall. Jika kau terlalu mudah percaya, itu hanya akan membunuhmu lebih cepat."
Outcast muda itu menunduk sedikit, tampak masih berusaha memahami kata-kata Alcard. "Tapi… mereka tadi terlihat putus asa. Bagaimana jika mereka benar-benar hanya ingin bergabung?"
Alcard akhirnya menoleh, menatapnya dengan sorot mata tajam yang membuat pemuda itu merasa semakin kecil. "Kau masih muda. Kau belum melihat bagaimana para Lord di Middle Earth bermain-main dengan hidup manusia." Ia menghela napas pelan, suaranya terdengar lebih dingin. "Mereka menganggap kita alat, bukan manusia. Jika mereka mengirim seseorang ke sini, itu bukan untuk membantu kita. Itu untuk keuntungan mereka."
Ia mengangkat dagunya, menunjuk ke arah gerbang yang kini tertutup rapat. "Orang-orang yang kau lihat tadi… Jika mereka masuk, mereka hanya akan merusak kita dari dalam. Mereka bisa saja menjual informasi tentang titik lemah di The Wall. Atau lebih buruk lagi, mereka bisa membunuh kita dalam tidur."
Outcast muda itu menelan ludah, matanya berkedip ragu. Ia merasa malu dengan pertanyaannya sendiri, tetapi Alcard tidak berhenti. Kali ini, nada suaranya sedikit lebih tenang, meski tetap penuh ketegasan.
"Hidup di sini berarti terus waspada. Dunia di luar sana penuh dengan kebencian terhadap kita. Kau harus menerima itu jika ingin bertahan."
Hening sejenak menyelimuti mereka. Angin malam berhembus lebih kencang, membawa suara derit kayu dari gerbang di bawah. Api unggun yang dinyalakan para Outcast di halaman utama berpendar redup, sesekali berkobar lebih besar ketika angin menerpa.
Alcard akhirnya memecah keheningan. "Lakukan tugasmu dengan hati-hati," katanya pelan. "Kita tidak punya kemewahan untuk membuat kesalahan. Tidak di tempat ini."
Outcast muda itu mengangguk sekali lagi, lalu berbalik turun dari menara dengan langkah yang lebih mantap dari sebelumnya. Mungkin ia belum sepenuhnya memahami dunia yang ia masuki, tetapi setidaknya ia mulai belajar bahwa di The Wall, kepercayaan bukan sesuatu yang diberikan dengan mudah.
Alcard kembali menatap ke horizon, di mana hanya ada kegelapan. Ia mengembuskan napas panjang, merasa berat dengan pemikiran yang memenuhi benaknya. Para Lord di Middle Earth, dengan segala permainan politik mereka, selalu mencari cara untuk memanipulasi The Wall. Mereka mungkin tak peduli dengan para Outcast, tetapi mereka juga tak ingin The Wall runtuh. Itu sebabnya mereka bermain di antara batas tipis antara pengabaian dan eksploitasi.
Malam semakin pekat. Di kejauhan, suara lolongan samar terdengar dari arah selatan, menghilang seiring kabut yang semakin padat. The Wall tetap berdiri, meski berlumur darah dan kepedihan. Di sini, mereka bukan pahlawan. Mereka bukan penjaga yang disanjung. Mereka hanya bayangan yang menjaga dunia, sementara dunia itu sendiri bahkan tak mau mengingat mereka.
Dan di tengah semua itu, Alcard hanya bisa terus bertahan. Seperti The Wall itu sendiri—tegak, meski terus retak di setiap sisinya.
****