Bab 5

Di bawah langit malam yang bertabur bintang redup, udara dingin menyusup ke sela-sela dinding kayu outpost di sisi timur The Wall. Suasana di halaman kecil itu begitu sunyi, hanya diiringi suara bara api yang sesekali berderak dari unggun kecil di tengah lingkaran para Outcast yang berkumpul dalam kelelahan. Mereka duduk bersandar di peti-peti persediaan yang usang atau di atas tanah berbatu, menikmati waktu istirahat yang jarang mereka dapatkan setelah hari-hari panjang menghadapi ancaman dari selatan.

Alcard, yang bersandar dengan tangan terlipat di dada, tampak tenggelam dalam pikirannya. Matanya yang tajam menatap kobaran api dengan tatapan kosong, seolah sedang mengingat sesuatu dari masa lalu. Hening yang melingkupi mereka akhirnya pecah saat Vern, seorang Outcast senior yang terkenal karena sikapnya yang blak-blakan, berbicara.

"Alcard," suaranya serak namun penuh rasa ingin tahu. "Kau pernah bilang kalau para Lord di Middle Earth punya banyak cara untuk memecah belah kita. Jelaskan lebih jelas. Apa yang sebenarnya mereka lakukan? Para pemula ini ingin tahu hal itu."

Alcard menghela napas saat melihat banyak tatapan antusias dari para pemula, mengangkat kepalanya sedikit dari jubah lusuh yang membungkus tubuhnya. Suaranya tenang, tetapi ada ketegasan di baliknya. "Mereka selalu punya cara untuk menghancurkan kita dari dalam. Mereka tidak butuh pasukan besar atau monster untuk melakukannya. Mereka cukup menggunakan trik-trik kotor seperti suap, manipulasi, dan memanfaatkan ambisi individu. Yang paling sering terjadi adalah mereka mencoba membeli loyalitas kita."

Seorang Outcast muda yang baru beberapa bulan bergabung mengernyit bingung. "Loyalitas? Maksudnya ada yang mau mengkhianati Outcast demi para Lord?"

Alcard menatapnya dengan sorot mata yang sulit ditebak. "Lebih sering dari yang kau kira," jawabnya dingin. "Tidak semua orang bisa menerima hidup di The Wall. Ada beberapa Outcast yang merasa ini bukan tempat mereka, bahwa mereka pantas mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Saat seorang Lord datang dengan janji kebebasan, pangkat, atau harta, mereka tergoda."

Outcast muda itu tampak masih kesulitan memahami. "Dan kemudian apa yang terjadi?"

"Mereka mulai menghancurkan kita dari dalam," kata Alcard dengan nada lebih pelan namun penuh tekanan. "Mereka menyebarkan desas-desus, mengadu domba, melemahkan moral, atau bahkan mencoba membunuh rekan mereka sendiri yang tak sejalan. Semua demi memenuhi agenda Lord yang menyuap mereka."

Salah satu Outcast pemula yang duduk di seberangnya menyipitkan mata. "Lalu, bagaimana kita bisa tahu siapa yang mengkhianati kita?"

"Oldman," jawab Alcard singkat, suaranya mengandung keyakinan penuh. "Dia selalu tahu."

Para Outcast pemula di sekitar unggun saling berpandangan. Salah seorang dari mereka, seorang pria bertubuh besar dengan bekas luka di pipinya, tertawa kecil. "Oldman seperti bisa membaca pikiran. Tak ada yang bisa lolos darinya."

Alcard mengangguk perlahan. "Sejak dia memimpin, jumlah pengkhianat berkurang drastis. Dia tidak pernah ragu menghukum mereka. Bahkan, dalam beberapa kasus, hukumannya adalah kematian."

Seorang Outcast perempuan yang bersandar di dinding, rambutnya tergerai berantakan, menatap Alcard dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu. "Aku dengar, Oldman bahkan pernah memerintahkan pembunuhan seorang Lord. Benarkah?"

Semua mata tertuju pada Alcard. Ia terdiam sejenak, tampak berpikir sebelum akhirnya mengangguk perlahan. "Benar," katanya dengan suara lebih rendah. "Itu bukan keputusan yang diambil dengan mudah, tapi pada saat itu, kita tidak punya pilihan."

Seorang Outcast pemula lain mengangkat alis. "Ceritakan."

Alcard melirik api unggun sejenak sebelum berbicara kembali. "Ada seorang Lord yang terlalu berani. Dia mencoba menggunakan Outcast sebagai alat. Dia merekrut beberapa dari kita secara diam-diam, menjanjikan kebebasan, kenaikan status, bahkan tanah untuk ditinggali. Tapi pada akhirnya, itu semua hanyalah kebohongan. Dia mengadu kita satu sama lain, memaksa kita saling bertarung, hingga akhirnya kita saling membunuh."

Outcast muda yang tadi bertanya kini terlihat lebih serius. "Lalu apa yang dilakukan Oldman?"

Alcard menatapnya dengan ekspresi datar. "Dia menyusun rencana. Tidak hanya untuk menghentikan kekacauan itu, tetapi juga memastikan Lord itu tidak pernah punya kesempatan untuk mencoba hal yang sama lagi. Kami dikirim dalam misi senyap, bukan untuk peringatan… tapi untuk eksekusi."

Keheningan menyelimuti mereka. Beberapa Outcast pemula menatap Alcard dengan penuh rasa hormat, sementara yang lain tampak berpikir dalam. Mereka tahu bahwa hidup di The Wall berarti menghadapi monster dan bahaya setiap hari, tetapi mereka jarang memikirkan bahwa ancaman terbesar justru datang dari manusia itu sendiri.

"Itu adalah keputusan yang berat," lanjut Alcard. "Tetapi Oldman tahu, jika dia membiarkan hal itu terus terjadi, para Lord akan terus mencoba menghancurkan kita dari dalam. Dia memastikan pesan yang jelas: siapa pun yang mencoba memecah-belah kita akan menghadapi konsekuensi yang mereka tak bisa hindari."

Outcast muda itu menunduk, tampak merenungkan kata-kata Alcard. "Aku kira, menjadi Outcast hanya tentang bertahan dari monster. Aku tidak menyangka kita juga harus bertahan dari manusia."

"Itulah kenyataan yang harus kau terima," sahut Alcard. "Tapi ingat ini: kita tidak punya tanah, tidak punya nama, tapi kita punya satu sama lain. Itulah satu-satunya alasan kita bisa bertahan."

Vern tertawa kecil dan menepuk bahu Alcard. "Kau selalu tahu cara berbicara seolah-olah ini semua masih punya sedikit harapan."

Alcard hanya tersenyum tipis. Malam semakin larut, api unggun mulai meredup, dan satu per satu Outcast mulai kembali ke barak mereka. Namun, kata-kata Alcard masih menggema di benak mereka. Di tempat seperti The Wall, persaudaraan adalah satu-satunya perisai yang bisa mereka andalkan, dan tanpa itu, mereka bukanlah siapa-siapa.

****

 

Langit senja perlahan memudar menjadi kegelapan, menciptakan siluet suram di atas Markas Pusat The Wall. Angin dingin berhembus melewati halaman utama, membawa serta aroma kayu terbakar dari unggun kecil yang masih menyala di sudut barak. Cahaya oranye redup dari matahari yang hampir tenggelam memantulkan bayangan panjang para tahanan yang baru tiba dari Edenvila. Mereka berdiri dalam barisan, tangan mereka masih terikat rantai berat yang berderik setiap kali mereka bergerak, wajah mereka penuh kelelahan, kebingungan, dan ketakutan yang jelas terlihat.

Langkah-langkah berat para Outcast terdengar menggema saat mereka mulai berkumpul di sekitar halaman, bersiap untuk menyaksikan prosesi penerimaan Outcast baru yang telah menjadi rutinitas suram di tempat ini. Di antara mereka, Alcard berdiri bersandar di salah satu tiang kayu besar di tepi halaman, mengamati kelompok tahanan baru dari Edenvila dengan tatapan datar. Matanya menyisir wajah-wajah baru itu, mencoba membaca emosi mereka. Beberapa terlihat pasrah, sementara yang lain masih memiliki percikan perlawanan di mata mereka, seolah berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir.

Di sampingnya, seorang Outcast senior dengan tubuh kekar dan rambut dipenuhi uban melipat tangan di dadanya, memandang barisan tahanan dengan ekspresi dingin. "Lihat mereka," gumamnya, suaranya berat dan dipenuhi keletihan. "Sebagian besar dari mereka bahkan tidak tahu apa yang menunggu mereka. Mereka pikir hidup sebagai Outcast hanya soal bertahan hidup."

Alcard tidak mengalihkan pandangannya dari para tahanan. "Mereka akan segera tahu," ujarnya singkat. "Dan bagi banyak dari mereka, ini akan menjadi nasib yang jauh lebih buruk daripada kematian."

Di tengah kerumunan tahanan, seorang pria tua bertubuh kurus melangkah dengan gerakan gontai. Rambutnya yang telah memutih sebagian tampak berantakan, dan wajahnya memancarkan kelelahan serta kepedihan yang dalam. Pakaiannya lusuh, menunjukkan bahwa ia berasal dari golongan pekerja. Dengan suara lirih, ia mencoba berbicara kepada salah satu penjaga di dekatnya, namun suaranya hampir tenggelam dalam kebisingan rantai yang terus berderik.

Alcard memperhatikannya sejenak sebelum melangkah maju, menyisihkan beberapa tahanan lain yang berdiri berdesakan. Ia berhenti di depan pria itu dan menatapnya dengan tajam. "Apa yang kau lakukan di sini, orang tua?" tanyanya dengan nada datar namun tegas.

Pria itu mendongak perlahan, menatap Alcard dengan mata yang berkabut oleh kesedihan. "Aku... dulunya seorang pengrajin di Edenvila," katanya dengan suara gemetar. "Aku memiliki bengkel kecil di pinggiran kota. Tapi seorang Lord menginginkan tanahku untuk proyeknya. Ketika aku menolak menyerahkannya, mereka menuduhku sebagai pemberontak."

Alcard menyipitkan mata. Ia sudah terlalu sering mendengar cerita seperti ini. "Jadi, mereka membuangmu ke sini, menganggapmu tak lebih dari sampah yang tidak berguna?" katanya dengan nada sinis.

Pria tua itu mengangguk pelan. "Aku kehilangan segalanya. Aku tidak punya pilihan."

Dari kerumunan tahanan, seorang Outcast muda yang baru beberapa bulan bergabung bergumam, "Sama seperti kita semua di sini. Dunia luar memang tidak pernah adil."

Namun, sebelum ada yang sempat menanggapi lebih lanjut, suara lantang tiba-tiba menggema dari sisi lain halaman. Seorang pria muda bertubuh tegap, dengan sorot mata penuh amarah, berdiri dengan rantai yang masih membelenggu pergelangan tangannya. Ia menatap para Outcast di sekelilingnya dengan tatapan menantang.

"Kalian ini apa?" suaranya tajam, menusuk udara senja yang semakin pekat. "Kalian tak lebih dari budak Bloody Potion! Apa bedanya kalian dengan kami, para tahanan ini?"

Beberapa Outcast menoleh, ekspresi mereka berubah tegang. Beberapa bahkan menggenggam gagang pedang mereka, siap untuk bertindak jika pria itu mencoba sesuatu yang lebih.

Pria itu melanjutkan, nadanya semakin tajam. "Kalian hidup di sini, dipaksa bertahan dengan meminum racun yang memperpanjang hidup kalian tapi perlahan membunuh kalian. Kalian bangga dengan itu?"

Alcard, yang sejak tadi diam, akhirnya melangkah mendekat. Sorot mata merah tajamnya seperti mata pisau yang siap mengiris siapa pun yang berdiri di hadapannya. "Kau bicara banyak untuk seseorang yang tidak tahu apa pun tentang hidup di The Wall," katanya dengan suara rendah namun mengancam.

Pria muda itu menyeringai, meskipun ada ketegangan di wajahnya. "Aku tahu cukup banyak," katanya. "Aku seorang prajurit Edenvila, dituduh berkhianat karena menolak membantai desa kecil yang tak bersalah. Aku dikirim ke sini bukan karena aku pengecut, tapi karena aku memiliki kehormatan lebih tinggi dari para Lord yang mengirimku."

Alcard menghentikan langkahnya, menatap pria itu dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Kau mungkin punya kehormatan," katanya dingin, "tapi di sini, kehormatanmu tidak akan menyelamatkanmu."

Kata-kata itu menghantam seperti pukulan telak. Pria itu terdiam, rahangnya mengeras, seolah menahan sesuatu yang ingin ia balas.

Saat itu juga, Oldman muncul dari dalam kantornya, langkahnya perlahan namun penuh otoritas. Semua Outcast yang berada di halaman segera diam, memberikan ruang baginya untuk berbicara. Ia berhenti di tengah lingkaran, menatap para tahanan dengan mata yang penuh ketegasan.

"Selamat datang di The Wall," suaranya menggema, berat dan dingin. "Mulai sekarang, kalian bukan lagi orang bebas. Kalian adalah Outcast. Dan dunia tidak akan peduli apakah kalian hidup atau mati."

Tidak ada satu pun tahanan yang membalas kata-kata itu. Mereka hanya berdiri dalam diam, membiarkan emosi mereka terperangkap dalam sorot mata masing-masing. Beberapa tampak putus asa, yang lain tampak marah, namun sebagian besar hanya terlihat kosong, seolah mereka baru saja kehilangan sisa terakhir harapan mereka.

Seorang Outcast senior mulai membagikan Bloody Potion kepada setiap tahanan, memaksa mereka meneguk cairan merah pekat yang akan mengikat mereka selamanya ke dalam kehidupan di The Wall. Wajah-wajah yang awalnya penuh ketakutan berubah menjadi ekspresi kesakitan ketika efek potion mulai merayapi tubuh mereka.

Alcard, yang sudah cukup melihat, berbalik dan berjalan menjauh dari kerumunan. Ia tidak ingin melihat wajah-wajah baru itu berubah, tidak ingin mengingat siapa saja yang mungkin bertahan dan siapa yang akan mati dalam beberapa bulan ke depan.

Saat malam semakin larut, Alcard berdiri di atas tembok The Wall, menatap kegelapan di selatan. Angin dingin menerpa wajahnya, namun pikirannya sibuk dengan sesuatu yang lain.

"Cevral," gumamnya pelan, nama yang dipenuhi dengan kebencian. "Kau benar-benar menguasai seni menghancurkan hidup orang lain."

****

 

Cahaya matahari yang perlahan meredup di ufuk barat melukis langit dengan semburat jingga keemasan. Markas Pusat The Wall yang sebelumnya penuh dengan sorak-sorai Outcast kini mulai mereda seiring dengan langkah berat para tahanan yang baru diangkat menjadi Outcast, menuju barak mereka yang dingin dan tanpa belas kasihan. Udara sore membawa aroma tanah kering bercampur dengan bau asap unggun, mengingatkan bahwa tempat ini adalah batas terakhir bagi mereka yang telah dibuang oleh dunia luar.

Di sudut yang lebih sepi, Alcard berdiri di atas puncak The Wall, di tempat di mana hanya angin yang menemani. Ia menatap ke depan, ke arah tanah luas yang terbentang di bawahnya, dikelilingi oleh bayang-bayang malam yang mulai menjalar. Di sebelah kirinya, dinding batu raksasa itu menunjukkan tanda-tanda usia, dengan retakan yang telah lama ada, kini dipenuhi lumut dan tanaman liar yang bertahan di celah-celahnya. Bangunan yang dulunya megah ini telah melewati begitu banyak musim tanpa pemeliharaan yang layak, seperti nasib para Outcast yang menjaganya—mereka bertahan, meski perlahan terkikis oleh waktu.

Angin kencang bertiup dari arah selatan, menusuk kulit seperti pisau tipis yang tak terlihat. Alcard memejamkan mata sejenak, membiarkan tubuhnya diterpa udara dingin. Dalam kesunyian yang mengelilinginya, pikirannya perlahan mulai melayang ke masa lalu, ke kehidupan yang telah lama ia tinggalkan.

Bayangan istana Jovalian yang megah melintas dalam benaknya, diikuti oleh kilasan singgasana raja, koridor panjang dengan pilar emas, dan suara derap langkah pasukan kehormatan yang dulu menghormatinya. Namun, yang paling jelas dalam ingatannya adalah senyum putra mahkota—senyum yang menjadi awal dari kehancurannya.

Ia masih ingat dengan jelas saat dirinya dituduh membunuh putra mahkota. Saat itu, ia baru saja kembali dari misi diplomatik yang diperintahkan oleh sang raja sendiri—perjalanan ke Edenvila untuk bertemu dengan para pejabat tinggi kerajaan tersebut. Namun, begitu kembali ke ibukota, ia disambut oleh kabar buruk. Raja telah wafat, dan yang lebih mengejutkan lagi, sang putra mahkota ditemukan terbunuh di dalam kamarnya sendiri.

Yang membuat segalanya menjadi lebih kejam, di jantung tubuh sang pangeran tertancap sebilah pisau kecil—hadiah kerajaan yang selama ini disimpan oleh Alcard sendiri. Pisau yang seharusnya ada di rumahnya, entah bagaimana berakhir di tubuh calon penguasa Jovalian. Ketika ia tiba dan menemukan tubuh pangeran itu, ia langsung menjadi tertuduh, tanpa kesempatan untuk membela diri.

Suara para bangsawan yang menudingnya sebagai pengkhianat masih terngiang di telinganya, disertai dengan sorakan penuh kebencian dari rakyat yang dulu memujanya sebagai pahlawan perang. Namun, penderitaan sejatinya bukanlah tuduhan itu. Penderitaan terbesarnya adalah hukuman yang diberikan kepadanya.

Ia masih bisa mendengar dengan jelas jeritan putus asa istrinya saat tali gantung mulai menarik tubuhnya ke atas. Anak perempuannya yang masih belia meronta, menangis, memanggil namanya dengan suara yang nyaris tak terdengar, sebelum akhirnya tubuh mungil itu terhuyung lemas dalam kematian yang kejam. Dan ia, yang saat itu dibelenggu dan dijaga ketat, tak bisa berbuat apa pun selain menahan teriakan yang membakar tenggorokannya.

"Jika kau benar tidak bersalah," salah satu bangsawan mengejeknya saat itu, "buktikanlah dengan menghentikan tali gantung itu."

Tapi tentu saja, ia tak bisa. Ia hanya bisa menyaksikan dunia merenggut segalanya darinya, merenggut keluarganya, kehormatannya, dan masa depannya.

Setelah eksekusi itu, ia dikirim ke The Wall. Perjalanan menuju pembuangan dipenuhi dengan hinaan dan cemoohan rakyat Jovalian, mereka yang dulu mengelu-elukannya karena keberhasilannya mempertahankan kerajaan dari serangan Edenvila. Kini, mereka mengutuknya sebagai pengkhianat.

"Kau akan habis di sana," seorang pria yang tak ia kenali meludahkan kata-kata dengan penuh kebencian. "Lebih baik mati di situ daripada terus menodai kerajaan Jovalian."

Dendam, rasa putus asa, dan kehancuran bercampur menjadi satu dalam dadanya saat itu. Tak ada yang bisa menghapus luka yang telah ditorehkan dunia kepadanya. Tak ada cara untuk membalas semua pengkhianatan yang ia terima.

Namun, di puncak The Wall, di bawah langit yang mulai gelap, Alcard membuka matanya. Ia kembali ke masa kini, menarik napas panjang untuk mengusir bayangan masa lalu yang terus menghantuinya. Ia tahu, meskipun semua itu sudah berlalu, bekas luka itu tidak akan pernah benar-benar hilang.

Tangannya menggenggam dinding batu yang dingin, merasakan kasar permukaannya di telapak tangan. "Semua sudah berlalu," gumamnya lirih. "Tapi… apakah aku benar-benar bisa berdamai dengan semua ini?"

Ia mengingat kata-kata Oldman, nasihatnya yang selalu diulang ketika ia menunjukkan tanda-tanda terjebak dalam kenangan lamanya.

'Jangan biarkan dendam menghabisimu, Alcard. Itu hanya akan menghabiskan dirimu lebih cepat dari Bloody Potion yang kau minum.'

Dan ia juga mengingat kata-kata terakhir istrinya, tatapan pilu namun penuh harapan, yang seolah memohon kepadanya untuk tetap hidup.

Alcard menegakkan punggungnya, matanya kini lebih tegas dari sebelumnya. Ia sadar, meskipun masa lalunya tak bisa ditebus, ia masih memiliki satu pilihan—terus hidup, bertahan di The Wall, melawan apapun yang datang, bahkan jika itu berarti memikul label Outcast selamanya.

Udara di atas The Wall semakin dingin, angin malam membawa keheningan yang lebih pekat. Senja perlahan memudar, digantikan oleh taburan bintang yang bersinar redup di langit kelam.

Tanpa menoleh lagi, Alcard berbalik dan mulai menuruni tangga. Langkahnya mantap, tidak lagi dibayangi keraguan.

"Aku akan terus berjalan," bisiknya pada dirinya sendiri. "Kalau pun mati, biarlah di sini… menebus semua yang telah terjadi."

****

 

Langit senja mulai memudar, menggantikan sinar keemasan dengan semburat oranye yang memudar ke arah kegelapan. Markas Pusat The Wall tetap sibuk, meski malam hampir tiba. Di berbagai sudut, para Outcast menjalankan tugas mereka tanpa henti—ada yang memperbaiki senjata, ada yang bersiap untuk berjaga malam, dan beberapa baru saja kembali dari patroli dengan wajah lelah yang dipenuhi debu dan darah kering.

Di tengah hiruk-pikuk itu, Alcard berjalan menyusuri lorong yang sempit menuju ruangan Oldman. Langkahnya tetap mantap, tapi pikirannya dipenuhi pertanyaan. Panggilan mendadak dari Oldman tidak pernah menjadi pertanda baik.

Di depan pintu kayu tua yang penuh goresan, Alcard mengetuk dua kali. Suara berat Oldman terdengar dari dalam, "Masuk."

Ia mendorong pintu dan melangkah masuk. Ruangan itu masih sama seperti sebelumnya—sederhana, redup, dengan meja kayu besar yang penuh dengan gulungan peta, tumpukan catatan, dan beberapa botol Bloody Potion yang tersisa. Cahaya lampu minyak menciptakan bayangan panjang di dinding kayu, memberikan kesan bahwa ruangan itu dipenuhi beban waktu.

Di balik meja, Oldman duduk dengan tangan terlipat di atas peta yang sudah lusuh. Wajah tuanya menunjukkan kelelahan, namun sorot matanya tetap tajam. Ia memberi isyarat kepada Alcard untuk menutup pintu sebelum berbicara.

"Ada sesuatu yang harus kau pimpin, Alcard," kata Oldman langsung, tanpa basa-basi. Suaranya sarat dengan kewaspadaan.

Alcard tetap diam, menunggu penjelasan lebih lanjut. Oldman mengambil selembar kertas yang memiliki cap kerajaan Jovalian di sudutnya dan menyerahkannya kepada Alcard.

"Kabar dari utara," lanjutnya. "Situasi politik di Jovalian semakin mendidih. Fraksi pangeran kedua, yang memiliki dukungan militer, sedang bersiap untuk menggulingkan fraksi pangeran ketiga yang saat ini bersekutu dengan Perdana Menteri. Jika perang pecah, dan kau tahu pasti akan terjadi, gelombang tahanan politik dan sisa-sisa pasukan yang kalah akan dikirim ke The Wall."

Alcard menerima kertas itu tanpa membuka lipatannya. Meski wajahnya tetap tenang, pikirannya segera melayang ke masa lalunya di Jovalian—sebuah kenangan yang lebih ingin ia lupakan daripada diingat kembali. Namun, ia tetap mendengarkan.

"Ini lebih buruk dari yang kau kira," Oldman melanjutkan. Ia mengetuk beberapa botol Bloody Potion di meja dengan jarinya. "Jika tahanan yang datang berjumlah besar, maka kebutuhan potion kita akan melonjak. Dan saat ini, stok kita sangat terbatas. Kau tahu apa artinya itu."

Alcard akhirnya berbicara, suaranya rendah tapi tegas. "Berapa banyak yang kita butuhkan?"

Oldman mendesah dalam, menatap peta seolah mencari jawaban di sana. "Setidaknya sepuluh kali lipat dari yang kita miliki sekarang."

"Sepuluh kali lipat?" Meskipun Alcard tidak menampakkan keterkejutan, ia tahu angka itu bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh.

Oldman mengangguk, ekspresinya semakin suram. "Folwestian Bloom dan Rotrofila Root, bahan utama Bloody Potion, semakin sulit didapat. Hutan selatan, satu-satunya tempat di mana kita bisa menemukannya, semakin berbahaya. Monster mutasi terus bertambah, bahkan Orge dan Goblin mutasi mulai membentuk kelompok besar."

Ia mengambil peta lain, yang lebih kecil dan lebih spesifik, lalu membukanya di atas meja. "Ini jalurnya," katanya sambil menunjuk bagian tertentu di selatan. "Kau akan memimpin tim untuk pergi ke sana. Butuh belasan Outcast yang cukup berpengalaman, karena perjalanan ini tidak akan mudah. Meskipun kau tahu, para outcast senior telah menjalankan misi lain, dan hanya menyisakan para outcast yang kurang dari satu tahun di The Wall ini."

Alcard menatap peta itu dengan seksama, menimbang situasi dalam pikirannya. Ia lebih terbiasa bekerja sendiri, tetapi kali ini, misinya terlalu besar untuk ditangani seorang diri. "Baik," jawabnya akhirnya. "Aku akan mengumpulkan tim."

Saat ia berbalik hendak pergi, Oldman tiba-tiba meraih bahunya, menghentikannya sejenak. "Pastikan mereka siap. Perjalanan ini bisa memakan waktu berminggu-minggu. Aku akan siapkan logistik tambahan dan sisa potion yang masih kita miliki."

Alcard mengangguk, tanda bahwa ia mengerti. Namun, sebelum keluar, ia berhenti di ambang pintu dan menoleh sekali lagi. "Tahanan dari Jovalian... jumlah mereka akan sangat besar, ya?"

Oldman menatapnya dalam diam, lalu menghela napas panjang. "Kemungkinan besar lebih dari ratusan. Dan itu baru perkiraan awal."

Alcard menyipitkan mata. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan getir yang menyelinap dalam dirinya. Kerajaan yang dulu pernah ia bela dengan darah dan kehormatan, kini akan mengirimkan lebih banyak jiwa tersesat ke dalam lubang kegelapan The Wall. Seperti dirinya dulu.

"Kalau begitu," gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri, "Aku tidak akan kembali dengan tangan kosong. Aku akan pastikan kita memiliki cukup Bloody Potion untuk menyambut mereka."

Oldman menatapnya dengan penuh keyakinan. Ia tahu Alcard bukan seseorang yang akan gagal dalam tugasnya, meski ia juga tahu bahwa perjalanan ini bisa saja menjadi yang terakhir baginya.

"Jaga dirimu, Alcard. Aku punya firasat buruk," ucapnya akhirnya.

Alcard tak menjawab, hanya mengangguk pelan sebelum akhirnya keluar dari ruangan, membiarkan pintu kayu itu tertutup perlahan di belakangnya. Langkahnya mantap saat ia kembali ke lorong yang remang-remang, pikirannya kini sepenuhnya fokus pada tugas yang ada di depannya.

Di luar, angin malam mulai bertiup, membawa hawa dingin yang menusuk. Tapi bagi Alcard, hawa dingin The Wall bukanlah hal yang baru. Ia hanya satu dari banyaknya tantangan yang harus ia hadapi.

****