Bab 6

Cahaya senja yang meredup mewarnai langit dengan semburat jingga dan ungu, memberikan suasana suram yang begitu familiar bagi The Wall. Angin dingin berhembus lembut, membawa aroma tanah dan dedaunan yang mulai basah oleh embun malam. Di dekat gerbang tua yang mengarah ke hutan selatan, Alcard berdiri bersandar di batang pohon besar, matanya menatap jauh ke cakrawala yang perlahan ditelan kegelapan.

Tempat itu jauh dari keramaian markas, lebih tenang dan tersembunyi, memberikan ruang bagi pikirannya yang terus berkelana ke masa lalu. Sudah sepuluh tahun berlalu sejak ia pertama kali menginjakkan kaki di The Wall, bukan sebagai prajurit atau petualang, melainkan sebagai seorang yang kehilangan segalanya. Rasa marah dan duka pernah mendominasi dirinya, hampir menenggelamkannya dalam keputusasaan. Namun, waktu dan kehidupan di The Wall telah mengubahnya, mengasahnya menjadi seseorang yang berbeda—lebih keras, lebih dingin, tetapi tetap memegang sesuatu yang masih samar baginya: tujuan.

Kenangan tentang Jovalian masih menempel kuat di benaknya, seperti bayangan yang selalu mengikutinya, tak peduli seberapa jauh ia pergi. Ada sesuatu yang janggal tentang kerajaan itu sejak kejatuhannya. Tak ada penobatan raja baru, tak ada pengumuman resmi, hanya Perdana Menteri Drennal Faerwyn yang memegang kendali penuh atas segalanya. Alasan yang digunakan? Menunggu pangeran ketiga cukup dewasa untuk naik takhta. Namun, Alcard tahu lebih baik daripada mempercayai dalih murahan semacam itu. Drennal Faerwyn menginginkan kekuasaan mutlak, dan ia tidak akan menyerahkannya begitu saja.

Ia juga mendengar bisikan-bisikan tentang Edenvila dan Wastadian, dua kerajaan yang diduga diam-diam mendukung sang perdana menteri. Bantuan dalam bentuk dana, pasukan bayangan, dan perlindungan atas semua tindakannya yang keji hanya memperkuat cengkeraman Drennal terhadap Jovalian. Nasib rakyatnya, termasuk keluarganya sendiri, menjadi korban dari permainan politik yang kejam dan tak mengenal belas kasihan.

Kenangan pahit itu kembali menyeruak ke permukaan, begitu tajam hingga terasa seperti belati yang menusuk dadanya. Ia masih bisa mengingat setiap detail dari hari-hari terakhirnya di Jovalian—tuduhan palsu, pengkhianatan yang tak terduga, dan eksekusi keluarganya yang dipertontonkan seperti hiburan bagi massa. Ia menutup mata sejenak, membayangkan kembali wajah istri dan putrinya. Mereka yang tak bersalah, yang hanya ingin hidup dengan damai, harus mati di tangan penguasa yang tamak.

Sorakan pejabat, tawa bengis Drennal Faerwyn, dan jeritan putrinya yang memohon keadilan masih terngiang di telinganya. Ia mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih, menahan amarah yang membara di dalam dadanya.

"Sial..." gumamnya lirih, suaranya hampir tak terdengar.

Namun, amarah itu hanya bisa dipendam. Jovalian kini hanyalah bayangan di masa lalu, dan dirinya bukan lagi seorang jenderal atau prajurit kerajaan. Ia hanyalah seorang Outcast, penjaga The Wall, seseorang yang telah dibuang oleh dunia luar.

Alcard membuka matanya, menghembuskan napas panjang, membiarkan angin dingin menenangkan pikirannya. Ia menatap gerbang tua yang terbuka di depannya—terlihat usang, rapuh, seperti luka lama yang tak kunjung sembuh. Namun, tak ada waktu untuk meratapi masa lalu. Kini, ia punya tugas yang harus dijalankan.

Langkah-langkah terdengar dari kejauhan. Sekelompok Outcast mendekat, membawa perlengkapan sederhana: pedang tumpul, panah yang sudah mulai lapuk, dan pelindung tubuh seadanya. Mereka adalah pemula, yang baru beberapa bulan merasakan kerasnya kehidupan di The Wall.

Alcard tahu, saat ini para Outcast senior telah dikirim ke berbagai penjuru Middle Earth, menjalankan misi-misi berbahaya di luar The Wall. Itu berarti, untuk kali ini, ia harus memimpin sekelompok pemula dalam perjalanan menuju hutan selatan—wilayah yang terkenal berbahaya bahkan bagi para veteran.

Alcard berdiri tegak, membetulkan posisi pedangnya di pinggang. Ia menatap para pemula itu satu per satu, sorot matanya dingin, mengukur kesiapan mereka. Ia tahu mereka takut, ia bisa melihatnya di mata mereka. Tapi di The Wall, ketakutan bukanlah alasan untuk mundur.

"Semoga kalian cukup tangguh untuk bertahan," gumamnya lebih kepada dirinya sendiri.

Ia merapikan sarung tangan kulitnya, memastikan semua perlengkapannya siap. Perjalanan ini bukan sekadar mencari bahan Bloody Potion—ini juga ujian bagi mereka yang baru merasakan pahitnya menjadi Outcast. Hutan selatan tidak memberi ampun bagi yang lengah, dan jika mereka tidak cukup kuat, mereka tidak akan kembali.

Sambil menunggu semua anggota rombongan bersiap, Alcard menarik napas dalam. Jovalian mungkin sudah menjadi bagian dari masa lalunya, tapi intrik dan pengkhianatan tidak pernah benar-benar hilang dari dunia ini. Cepat atau lambat, mereka akan kembali menyeretnya ke pusaran konflik yang ia coba hindari.

Namun, untuk saat ini, tugasnya sudah jelas—memimpin rombongan ini melintasi hutan selatan yang penuh ancaman, dan memastikan mereka kembali dengan sesuatu yang bisa menyelamatkan The Wall.

****

 

Di kaki bagian dalam The Wall, udara terasa berat seolah menekan setiap orang yang berkumpul di sana. Pasukan kecil yang terdiri dari sebelas Outcast—sepuluh pemula dan satu veteran—berdiri dalam lingkaran yang rapat. Sorot mata mereka penuh kewaspadaan, bercampur dengan ketegangan yang samar. Debu kering beterbangan di antara retakan batu yang runtuh, sisa dari pertempuran-pertempuran yang telah lama berlalu, menciptakan suasana yang semakin kelam.

Di tengah lingkaran itu, Alcard berdiri tegak, menjadi pusat perhatian tanpa perlu berusaha. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, matanya yang merah seperti bara memindai satu per satu anggota timnya. Ia mengenakan jubah sederhana yang menyatu dengan bayang-bayang sekitarnya, seolah menjadi bagian dari kegelapan yang selalu menyelimuti The Wall.

Suasana sunyi, hanya terdengar napas berat dari mereka yang bersiap menghadapi perjalanan yang mungkin tak membawa mereka kembali. Alcard akhirnya berbicara, suaranya dalam dan tegas, tidak terburu-buru namun penuh otoritas.

"Misi ini tampak sederhana," ia memulai. "Tapi jangan biarkan itu membodohi kalian."

Ia melirik ke wajah-wajah muda di hadapannya, mencari tanda-tanda keraguan. Beberapa dari mereka menelan ludah, mencoba menyembunyikan kegelisahan mereka.

"Kita berangkat untuk mengumpulkan Folwestian Bloom dan Rotrofila Root—bahan utama Bloody Potion. Tapi jumlah yang dibutuhkan jauh lebih besar dari biasanya, sepuluh kali lipat," lanjutnya. "Ini berarti kita harus masuk lebih dalam ke wilayah selatan, lebih jauh dari yang biasanya dijangkau tim pencari sebelumnya."

Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap sebelum melanjutkan. "Aku satu-satunya senior di misi ini. Itu berarti tidak ada ruang untuk kesalahan, untuk melindungi nyawa kalian semua. Kalian harus saling melindungi. The Wall tidak mengajarkan kita untuk bergantung pada satu orang. Jika kalian ingin bertahan hidup, kalian harus menjaga satu sama lain."

Seorang pemula, seorang pria kurus dengan wajah pucat, mengangkat tangannya ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya, "Kenapa hanya ada satu Outcast senior? Bukankah ini terlalu berbahaya?"

Tanpa mengubah ekspresi, Alcard menatapnya sekilas. "Karena Oldman yang memutuskan begitu," jawabnya datar. "Dan kalian harus belajar bahwa hidup di The Wall berarti bertarung dengan atau tanpa perlindungan senior. Ini bukan tempat bagi mereka yang berharap diselamatkan."

Keheningan sesaat melingkupi kelompok itu. Kata-katanya bukan sekadar peringatan, melainkan kenyataan pahit yang harus mereka terima.

Outcast lain, yang tampak sedikit lebih berani, bertanya lagi, "Kenapa kita membutuhkan begitu banyak bahan potion? Apa ini untuk perang besar?"

Alcard menatapnya tajam sebelum akhirnya menjawab, "Hanya Oldman yang tahu rencana sebenarnya. Kita tidak berada di sini untuk bertanya alasan. Kita hanya bertahan, dan inilah bagian dari itu."

Ketegangan di antara mereka meningkat. Beberapa dari mereka mulai menyadari bahwa ini bukan sekadar misi biasa. Ini adalah perjalanan menuju tempat yang lebih dalam, lebih gelap, dan lebih berbahaya dari yang mereka bayangkan.

Melihat ekspresi ragu di wajah-wajah pemula itu, Alcard menghela napas panjang. Nada suaranya tetap dingin, tetapi kali ini ada sedikit keteguhan di dalamnya.

"Jangan takut mati," katanya. "Takutlah mati tanpa arti. Kita mungkin telah dibuang, tapi kita masih bisa memilih bagaimana kita mati."

Kata-katanya menggantung di udara, menciptakan kesunyian yang lebih berat. Namun, perlahan-lahan, satu per satu dari mereka mulai memahami. Beberapa menggenggam senjata mereka lebih erat, sementara yang lain berdiri lebih tegak.

Akhirnya, Alcard mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, isyarat bahwa mereka siap berangkat. Dengan serempak, para Outcast lain mengangkat senjata mereka—pedang, tombak, belati, dan busur—dan mulai melantunkan semboyan yang telah mengikat mereka semua sebagai satu kesatuan:

"Di dunia yang mengasingkan kami, kami berdiri di antara kegelapan.

Kami tidak memiliki tanah, tidak memiliki nama, hanya memiliki jalan ini.

Kami adalah bayangan di balik tembok ini.

Kami adalah para penjaga yang dilupakan dunia.

Kami adalah Outcast, dan kami akan bertahan, atau mati di jalan kami."

Beberapa dari mereka meneriakkan kalimat terakhir dengan penuh semangat, sementara yang lain hanya bergumam. Namun, di mata mereka, terlihat tekad yang mulai tumbuh.

Alcard menurunkan pedangnya, lalu mengamati mereka untuk terakhir kalinya sebelum berbalik. "Kita berangkat," katanya singkat, namun penuh kepastian.

Tanpa menunggu, ia melangkah ke depan, memimpin rombongan menuju gerbang. Kuda hitamnya yang gagah berjalan dengan tenang, mengikuti pemiliknya yang sudah terbiasa menghadapi bahaya. Para Outcast lain menyusul di belakangnya, membawa perbekalan dan senjata seadanya.

Bayang-bayang mereka memanjang di tanah berbatu, terpantul oleh cahaya matahari senja yang perlahan menghilang di balik cakrawala. Perjalanan ini baru dimulai, tetapi bagi banyak dari mereka, ini mungkin perjalanan terakhir.

Namun tak ada yang kembali, kecuali mereka yang cukup kuat untuk bertahan.

****

 

Udara di hutan selatan terasa lebih berat dari biasanya, penuh dengan kelembaban yang lengket di kulit dan bau tanah basah yang menusuk indra penciuman. Di antara rimbunan pepohonan besar dan akar-akar menjalar yang seakan menunggu untuk menjebak siapa pun yang melangkah ceroboh, suasana mencekam semakin terasa. Tak ada suara burung atau hewan hutan lain—hanya keheningan yang ganjil, seakan seluruh alam berhenti bergerak.

Di barisan terdepan, Alcard duduk tegap di atas kuda hitamnya, matanya yang merah terus mengamati setiap sudut di sekitar mereka. Langkah kuda-kuda yang menapak tanah berlumut terdengar hati-hati, sementara sesekali ranting kering yang terinjak menciptakan bunyi gemeretak pelan, satu-satunya suara yang memecah kesunyian. Para Outcast mengikuti di belakangnya, berjalan dalam formasi yang ketat, wajah mereka menampakkan ketegangan yang sulit disembunyikan.

Namun, ada satu hal yang lebih mengkhawatirkan dari sekadar sunyi yang tak wajar. Kuda-kuda mereka tampak gelisah, telinga mereka bergerak liar, sesekali mengangkat kaki depan dengan resah. Beberapa Outcast berusaha menenangkan hewan tunggangan mereka, namun peluh yang membasahi tubuh kuda serta dengusan berat yang keluar dari hidung mereka menunjukkan bahwa makhluk-makhluk ini merasakan sesuatu yang tak kasat mata.

Seorang Outcast pemula akhirnya tak tahan dan berbisik dengan suara gemetar, "Kenapa kuda-kuda ini bertingkah aneh? Mereka seperti tahu ada sesuatu yang tidak beres."

Alcard tidak segera menjawab. Ia hanya mengangkat satu tangan, memberi isyarat agar semua berhenti. Tanpa ragu, ia turun dari kudanya, berlutut dan menempelkan telapak tangannya ke tanah lembap. Dalam keheningan, ia menutup mata, mendengarkan dengan saksama getaran yang menjalar dari dalam bumi.

"Diam…" katanya, suaranya rendah namun memiliki ketegasan yang tak terbantahkan.

Seketika, seluruh rombongan menahan napas. Tak ada yang bergerak. Bahkan angin pun terasa berhenti bertiup, seolah alam menahan dirinya sendiri dari sesuatu yang akan datang.

Lalu, terdengar suara.

Duk… duk… duk…

Langkah berat menggema dari arah barat hutan. Irama dentuman itu tetap, menghantam tanah dengan kekuatan besar, semakin lama semakin mendekat. Bersamaan dengan itu, suara geraman parau yang dalam dan serak terdengar, menyeret udara seperti bisikan kematian.

Pohon-pohon mulai bergoyang, bukan karena angin, tetapi karena sesuatu yang besar sedang bergerak di balik rimbunan daun lebat. Para Outcast langsung meningkatkan kewaspadaan, tangan mereka mencengkeram erat gagang senjata masing-masing.

Seorang Outcast menggigit bibirnya, menahan rasa takut yang mulai merayap. "Bos… itu apa?" tanyanya, suaranya hampir bergetar.

Alcard tidak menjawab seketika, tetapi ekspresinya menjadi lebih tajam. Ia mengenali ritme langkah itu, getarannya yang khas. Ia sudah menghadapi makhluk ini sebelumnya.

"Orge," gumamnya, nyaris seperti bisikan.

Namun, ketika dua sosok raksasa muncul dari balik pohon yang tumbang, matanya sedikit menyipit. Ini bukan sekadar orge biasa. Kulit mereka lebih gelap, penuh luka kasar yang terlihat seperti bekas mutasi. Urat-urat kehijauan menyebar di sepanjang lengan dan dada mereka, seolah racun mengalir dalam tubuh mereka. Mata merah mereka bersinar suram, menatap rombongan manusia yang berdiri waspada.

"Dan mereka jelas sudah terkontaminasi…" bisik Alcard lebih kepada dirinya sendiri.

Salah satu orge menggeram rendah, mengangkat kepalanya dan mengendus udara, seakan sedang menilai mangsanya. Lalu, ia mengeluarkan raungan keras yang mengguncang udara.

-GRRAAAAHHHH!!!

Suara itu menggema di seluruh hutan, mengguncang dada setiap orang yang mendengarnya. Outcast yang lebih muda hampir mundur secara refleks, tetapi melihat Alcard tetap diam di tempatnya, mereka menahan diri.

Orge kedua, yang lebih besar, mengayunkan senjata raksasa dari batang kayu yang seukuran tubuh manusia dewasa. Dengan gerakan yang tidak terburu-buru, mereka mulai melangkah maju. Setiap pijakan mereka membuat tanah bergetar.

Alcard mengangkat tangannya, memberi isyarat agar tidak ada yang bergerak. Matanya mengawasi pergerakan makhluk itu dengan cermat, mencoba membaca niat mereka. Apakah mereka akan menyerang langsung, atau hanya mencoba mengintimidasi?

Namun, jawabannya segera terlihat.

Orge pertama menyeringai lebar, memperlihatkan taring kuning besarnya, sementara yang kedua mulai mengangkat senjatanya tinggi-tinggi, bersiap untuk menghantam dengan kekuatan penuh.

Getaran langkah mereka semakin kuat.

Tanah bergetar.

Udara terasa lebih dingin.

Para Outcast menggenggam senjata mereka lebih erat. Keringat mulai mengalir di pelipis mereka, meskipun suhu di hutan selatan ini lebih dingin dari biasanya.

Alcard menghela napas pendek, merasakan adrenalin mulai naik dalam dirinya. Matanya menyala lebih terang dalam bayangan senja. Ia tahu bahwa dalam hitungan detik, pertarungan akan pecah.

Sambil tetap memperhatikan lawan di hadapannya, ia berbicara dengan suara rendah namun penuh kepastian.

"Bersiap."

Para Outcast menahan napas.

Pertempuran akan segera dimulai.

****

 

"Ridham! Gunakan tombakmu untuk menyerang kaki mereka, kita harus memperlambat gerakan mereka!" suara Alcard terdengar tegas di tengah kepanikan yang melanda.

"Jarren! Fokus pada mata orge di kanan! Jangan ragu untuk menembak!"

Perintah Alcard mengalir cepat, membuat para Outcast berusaha menyesuaikan diri dengan strategi yang diberikan. Meski beberapa pemula masih tampak ragu dan gemetar, mereka tetap berusaha mengikuti instruksi. Sementara itu, kuda-kuda yang mereka bawa diamankan di bagian belakang, dijaga oleh salah satu Outcast agar tidak panik dan lari ketakutan saat pertempuran dimulai.

Dua orge mutasi itu tidak memberi mereka waktu lebih lama untuk bersiap. Tanpa aba-aba, makhluk-makhluk raksasa itu mengayunkan batang kayu besar yang mereka gunakan sebagai senjata. Udara bergetar akibat kekuatan pukulan mereka, menciptakan hempasan angin kuat yang menerbangkan debu dan dedaunan.

Ridham, yang mengikuti instruksi Alcard, dengan cepat menusukkan tombaknya ke paha salah satu orge. Senjata itu menembus kulit tebal makhluk tersebut, membuatnya menggeram keras, darah hijau kental mulai menetes ke tanah. Orge itu berusaha mengangkat kakinya, tapi rasa sakit membatasi pergerakannya.

Melihat celah itu, Alcard tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia melompat ke depan, bergerak melewati Ridham, dan dengan cepat mengayunkan pedangnya ke lengan orge yang terluka. Tebasan itu cukup dalam untuk melemahkan cengkeramannya pada batang kayu, membuat senjata raksasa itu jatuh dengan suara keras.

Sementara itu, orge kedua menyerang dari sisi kanan, mengayunkan batang kayu raksasanya ke arah beberapa Outcast yang berusaha membentuk pertahanan. Salah satu pemula hampir terkena serangan itu, namun Jarren dengan sigap menariknya mundur. Pada saat yang sama, seorang Outcast lain mengangkat pedang lebarnya, menangkis sebagian dampak pukulan tersebut, meskipun tangannya langsung mati rasa akibat benturan yang terlalu kuat.

Melihat kekacauan yang mulai terjadi, Alcard segera mengambil alih kendali situasi. "Bentuk setengah lingkaran! Jangan biarkan mereka bergerak terlalu bebas!"

Tanpa membuang waktu, para Outcast mengatur posisi mereka kembali. Dengan formasi yang lebih rapat, mereka berhasil memaksa kedua orge berdiri saling membelakangi, membatasi ruang gerak mereka. Jarren, yang melihat kesempatan, dengan cepat menarik busurnya dan membidik. Anak panahnya melesat tepat mengenai pipi orge kedua, membuatnya mengaum marah dan mengalihkan perhatian ke arahnya.

Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Alcard. "Serang dari titik buta mereka!" teriaknya.

Para Outcast segera bereaksi, beberapa dari mereka menusukkan senjata mereka ke bagian pinggang dan sisi tubuh yang terbuka, menambah jumlah luka pada tubuh raksasa itu. Orge yang pertama mulai kehilangan keseimbangan akibat cedera serius di kakinya. Alcard menyadari bahwa inilah saatnya untuk menyelesaikan pertempuran.

"Sekarang!" serunya.

Saat orge itu jatuh berlutut, Alcard bergerak dengan kecepatan tinggi. Ia melompat ke bahu makhluk itu, menancapkan pedangnya dalam-dalam ke lehernya. Orge itu meraung dalam kesakitan, namun kekuatannya mulai menghilang. Dalam hitungan detik, tubuhnya tumbang ke tanah dengan suara dentuman keras, tak lagi bernyawa.

Sementara itu, orge kedua masih berdiri meskipun tubuhnya penuh luka. Salah satu tangannya kini menggenggam senjata kayu dengan sisa tenaga, sementara tangan lainnya menekan perutnya yang robek, mencoba menahan darah yang terus mengalir keluar. Dengan kemarahan membara, ia mulai mengayunkan senjatanya secara acak, tidak lagi peduli pada strategi.

Para Outcast tetap dalam formasi, menunggu celah yang tepat untuk menyerang. Saat orge itu kembali mengayunkan kayunya, mereka semua serentak merunduk, menghindari pukulan tersebut.

Baluk, salah satu Outcast yang cukup tangguh, melihat kesempatan. Dengan cepat, ia mengayunkan pedangnya ke arah kaki orge, menebas tendon di belakang lututnya. Makhluk itu mengerang kesakitan, kehilangan keseimbangan, dan tubuhnya mulai goyah.

Dari belakang, Jarren melepaskan anak panah terakhirnya dengan bidikan yang lebih akurat. Panah itu melesat cepat, menancap di tengkuk orge dengan sempurna.

Makhluk itu berbalik dengan sisa tenaganya, mencoba menyerang Jarren dan beberapa Outcast lain yang berada di barisan belakang. Namun sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, Alcard sudah melesat dengan kecepatan luar biasa. Pedangnya berkilat di bawah cahaya remang, menebas lengan orge dengan presisi mematikan.

Otot-otot di lengannya terputus, membuatnya kehilangan keseimbangan dan menabrak pohon besar di belakangnya. Napasnya tersengal-sengal, tapi ia belum tumbang sepenuhnya.

Alcard tidak membiarkan itu terjadi. Tanpa ragu, ia melompat sekali lagi, mengarahkan pedangnya ke leher makhluk itu. Dalam satu tebasan yang cepat dan kuat, kepalanya terpisah dari tubuhnya. Darah kehijauan menyembur, mengotori tanah di sekitarnya.

Orge kedua tumbang, menyusul rekannya ke dalam kehampaan.

Para Outcast tetap siaga, memastikan tidak ada gerakan lain dari kedua makhluk itu. Napas mereka terengah-engah, tubuh mereka berkeringat meski udara hutan begitu dingin. Beberapa dari mereka mengalami luka ringan akibat benturan atau terkena serpihan, namun secara keseluruhan mereka berhasil keluar dari pertarungan ini dalam kondisi selamat.

Alcard menyapu pandangan ke sekeliling, memastikan semuanya masih berdiri. "Tetap waspada. Suara ini bisa menarik perhatian monster lain."

Para Outcast mengangguk, sebagian dari mereka mulai memeriksa senjata dan memastikan tidak ada yang rusak. Mereka tahu, perjalanan mereka masih panjang. Namun, kemenangan ini membuktikan bahwa mereka mampu bertahan—bahwa meski mereka pemula, di bawah komando yang tepat, mereka bisa menghadapi ancaman besar.

Dengan hati-hati, mereka kembali menyusun formasi, mempersiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan. Pertempuran ini hanyalah awal, dan hutan selatan masih menyimpan bahaya yang lebih besar di kedalaman bayangannya.

****

 

Setelah pertempuran sengit melawan dua orge mutasi, hutan selatan kembali tenggelam dalam kesunyian yang mencekam. Aroma darah yang tertinggal bercampur dengan embusan udara lembap pasca hujan, menciptakan atmosfer yang semakin berat. Para Outcast segera bergegas menyingkirkan tubuh orge ke balik rimbunan semak dan pohon tumbang, berusaha menyembunyikan jejak pertempuran agar tidak menarik perhatian monster lain yang mungkin mengintai dalam kegelapan pepohonan.

Alcard berdiri tegap di depan rombongan, memimpin perjalanan lebih jauh ke dalam hutan. Mata merahnya terus mengawasi setiap gerakan di antara bayangan pepohonan, telinganya tajam menangkap setiap suara, sekecil apa pun. Langkahnya mantap, meski ia tahu bahwa bahaya masih mengintai di setiap sudut jalur yang mereka lalui.

Di belakangnya, beberapa Outcast berhenti sejenak, memeriksa luka-luka ringan yang mereka dapatkan dalam pertempuran sebelumnya. Meskipun hanya goresan dan memar, kelelahan mulai terlihat di wajah mereka. Namun, tidak satu pun yang mengeluh. Mereka paham bahwa misi ini masih jauh dari selesai dan menyerah bukanlah pilihan.

"Kita lanjutkan," kata Alcard, suaranya tajam memecah kesunyian yang menggantung di antara mereka. Tangannya menggenggam kompas kecil yang menunjukkan arah tujuan mereka. Ia memastikan mereka tetap berada di jalur yang benar, meski jalan setapak di depan mereka semakin sulit ditembus oleh akar-akar pohon yang menjalar dan tanah yang mulai berubah menjadi lumpur licin.

Seiring mereka bergerak lebih dalam, hutan menjadi semakin gelap. Kanopi dedaunan lebat menutupi langit, menghalangi sinar matahari untuk mencapai dasar hutan. Suasana semakin suram, seolah hutan itu sendiri menolak kehadiran mereka. Ranting-ranting basah berayun pelan ditiup angin, sementara suara gemerisik dari semak-semak membuat sebagian Outcast semakin waspada.

Langkah Alcard tiba-tiba berhenti di sebuah celah rindang yang dipenuhi tanaman merambat dengan kelopak bunga semi-ungu dan daun kehijauan yang menjulur di sepanjang batang pohon tua. Ia menatapnya sejenak sebelum menunjuk ke arah tanaman itu. "Folwestian Bloom," ucapnya. "Kalian tahu caranya memetiknya. Pastikan akarnya tetap utuh. Kita butuh dua kantong besar."

Tanpa membuang waktu, para Outcast segera bergerak. Mereka mengeluarkan pisau kecil dari sarung masing-masing, mengenakan sarung tangan untuk menghindari getah tanaman yang bisa menyebabkan iritasi, lalu mulai bekerja dengan hati-hati. Suara sayatan lembut terdengar saat kelopak bunga itu dipetik dengan presisi. Kantong-kantong kain mereka perlahan mulai terisi, sementara aroma tanah dan getah menyebar di udara.

Sementara yang lain sibuk mengumpulkan tanaman, Alcard tetap berjaga. Matanya terus mengawasi hutan di sekeliling mereka, meneliti setiap bayangan yang bergerak, memastikan tidak ada makhluk yang mendekat. Ia tidak ingin kejadian seperti serangan orge terulang saat mereka sedang dalam kondisi lengah.

Dari kejauhan, terdengar pekikan burung liar, membuatnya semakin siaga. Ia menoleh ke arah para Outcast dan berbisik tajam, "Hati-hati. Kita masih berada di jalur yang sering dilalui monster dari selatan."

Para Outcast mengangguk, mempercepat pekerjaan mereka, sadar bahwa waktu mereka di tempat ini terbatas. Setelah beberapa waktu, dua kantong besar penuh dengan Folwestian Bloom telah terkumpul. Beberapa dari mereka menghela napas lega, meski tubuh mereka masih tegang akibat ketakutan yang tak sepenuhnya sirna.

"Bagus," ujar Alcard, matanya menyapu hasil kerja mereka dengan kepuasan. "Ini cukup."

Namun, sebelum mereka bisa merasa terlalu lega, ia segera menegaskan, "Tapi ingat, mendapatkan bunga ini jauh lebih mudah dibandingkan bahan yang berikutnya."

Tatapan seriusnya membuat mereka kembali fokus. Ia menatap mereka satu per satu sebelum melanjutkan, "Rotrofila Root hanya tumbuh di kaki Gunung Orcal." Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap di benak mereka sebelum menambahkan, "Itu wilayah yang paling berbahaya. Rumornya, mutasi selatan berada di bawah pengaruh langsung dari aura naga hitam. Medannya berat, dan ancamannya jauh lebih besar."

Para Outcast saling berpandangan, sebagian dari mereka menelan ludah dengan gugup. Rasa takut sempat tergambar di wajah mereka, tetapi bersamaan dengan itu, rasa tanggung jawab sebagai seorang Outcast perlahan mulai menguat dalam hati mereka. Tidak ada jalan lain selain terus maju.

"Kita akan beristirahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan," kata Alcard, memeriksa peta lusuh di tangannya. "Gunakan waktu ini untuk memulihkan tenaga. Perjalanan kita masih panjang."

Mereka tidak tahu berapa lama mereka bisa beristirahat sebelum bahaya kembali menghampiri. Bayangan Gunung Orcal sudah muncul di benak mereka, dan rumor tentang tempat itu bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan. Tempat itu disebut-sebut sebagai sarang mutasi yang terburuk, tempat di mana makhluk-makhluk yang tak seharusnya ada bersembunyi dalam bayangan dan siap menerkam siapa pun yang berani melangkah terlalu jauh ke dalam wilayahnya.

Namun, pilihan mereka sudah ditentukan sejak awal. Tidak ada mundur, tidak ada jalan kembali. Misi ini harus berhasil, demi kelangsungan hidup mereka, demi The Wall.

Mereka duduk di antara akar-akar pohon besar, mencoba mengatur napas dan meredakan ketegangan. Tapi di balik keheningan yang mereka ciptakan, hutan tidak pernah benar-benar diam. Ada sesuatu yang menunggu di balik kegelapan, mengintai langkah mereka yang berikutnya.

****